Dunia Asia

Jelang Laga Pertama Indonesia di SEA Games: Kenapa Selalu Thailand?

“Kenapa harus Thailand? Kok Thailand mulu sih? Belum apa-apa udah lawan Thailand! Yah, pasrah deh kalau lawan Thailand.”

Saya yakin kalimat seperti itu atau yang menyerupainya pasti keluar dari bibir sebagian besar para pendukung timnas Garuda, saat melihat jadwal pertandingan Indonesia U-22 di SEA Games tahun ini. Indonesia, yang kembali menargetkan medali emas di ajang ini, harus mendapat ujian berat di laga perdana.

Thailand, Negeri Gajah Putih yang terkenal dengan pagodanya, memang selalu menjadi momok bagi negara manapun di level Asia Tenggara. Akan tetapi, sepertinya Indonesia adalah satu-satunya negara ASEAN yang paling sering “diganggu” oleh Thailand di ajang sepak bola.

Frasa “diganggu” yang saya maksud di sini adalah keberhasilan Thailand menyingkirkan timnas kita, baik senior maupun junior, dalam perebutan trofi juara. Di tingkat senior, negara yang mayoritas rakyatnya beragama Buddha ini telah mengangkangi timnas kita tercinta tiga kali di partai final, yakni tahun 2000, 2002, dan 2016 kemarin.

Selebihnya, kemenangan Indonesia atas Thailand yang terbaru hanya mampu dibuat saat perebutan tempat ketiga Piala Tiger 1998 lewat adu penalti, menang tipis 1-0 di Piala Merdeka, dan secara dramatis mengalahkan Suree Sukha dan kawan-kawan 2-1 lewat dua gol penalti Bambang Pamungkas di penyisihan grup Piala AFF 2010.

Secara keseluruhan, kedua tim telah berjumpa 76 kali, dengan 14 di antaranya berakhir imbang dan Indonesia hanya mampu menang di 25 pertemuan. Artinya, persentase kemenangan timnas Garuda hanya sebesar 32,8 persen saat papan skor di stadion memunculkan bendera Indonesia dan Thailand.

Ironis, karena secara individu sebenarnya kualitas pemain kita tidak kalah dengan para pemain di negara yang bahasa resminya berhuruf mlungker-mlungker seperti aksara Jawa itu.

Mereka boleh berbangga memiliki Chanathip Songkrasin yang bermain di Liga Jepang, tapi kita juga punya Stefano Lilipaly yang berkiprah di kasta kedua Liga Belanda sebelum bergabung dengan Bali United. Mereka boleh mengelu-elukan nama Chenrop Samphaodi yang disebut-sebut sebagai pemain paling berbakat di SEA Games kali ini, tapi kita juga punya Ezra Walian yang alumnus Jong Ajax dan sedang trial di West Ham United.

Sedikit perbandingan itu telah menunjukkan bahwa Indonesia sebenarnya juga tim kuat di ASEAN. Hampir di setiap turnamen akbar se-Asia Tenggara, bendera merah putih selalu masuk dalam daftar kandidat juara. Artinya, kita sebenarnya juga menjadi momok bagi Thailand dan tim-tim lain. Akan tetapi, kenapa kemungkinan kemenangan kita tak sampai 50 persen saat bertemu Thailand?

Kemungkinan, aura inferior menyelimuti para penggawa timnas kita sejak mereka berada satu lorong dengan para pemain Thailand. Rasa minder itu kemudian berujung pada demam panggung (apa lagi jika laga pertama), dan seperti yang sudah sering kita saksikan sebelumnya, Indonesia kemudian kebobolan lebih dulu yang biasanya berawal dari kesalahan elementer pemain kita.

Sudah bertahun-tahun lamanya penyakit itu selalu kambuh. Terkadang kita menggebrak di awal, tapi gagal berujung gol, sedangkan Thailand hanya butuh satu umpan silang atau satu umpan terobosan untuk menjebol gawang Indonesia dan membuat kata yaelah, aduh, yaah, payah, atau yang sedikit lebih kasar, goblog keluar secara spontan dari mulut kita.

Agar hal itu tak kembali terulang di laga sore esok, Garuda Muda harus tampil tenang, tetap fokus pada skema yang telah disusun Luis Milla. Tak peduli apapun prediksi para pengamat dan cemoohan para suporter, kalian harus tetap fokus! Jangan gegabah, lakukan apapun dengan kepala dingin, karena ingatlah satu hal: Mereka juga takut pada kalian!

#GarudaBisa!

Author: Aditya Jaya Iswara (@joyoisworo)
Milanisti paruh waktu yang berharap Andriy Shevchenko kembali muda dan membawa AC Milan juara Liga Champions Eropa lagi.