Layaknya kapal yang melaju kencang kemudian secara tiba-tiba dihantam gelombang badai, begitulah kiranya yang dialami sepak bola Cina. Liga Super Cina mengalami masalah besar di tengah perkembangan masif mereka sejak tahun lalu.
Kabar terbaru, sebanyak 13 klub mengalami krisis keuangan. Permasalahan utama yang menerpa adalah klub-klub tersebut kesulitan membayar gaji pemain. Belanja gila-gilaan yang dilakukan banyak klub Cina pada tahun 2016, memberi efek besar pada saat sekarang. Sudah hampir 2 bulan, rata-rata pemain tidak dibayarkan gajinya.
Beberapa tim-tim top Liga Super Cina seperti Shanghai Shenhua, Hebei China Fortune dan Shanghai SIPG, turut masuk dalam daftar klub yang mengalami krisis. Parahnya lagi, diketahui tidak hanya klub kompetisi level tertinggi saja yang keuangannya amburadul. Beberapa klub di level kedua dan ketiga juga turut menunggak gaji pemain.
Kasus di Lazio bersama Sergio Cragnotti
Soal transfer gila-gilaan yang kemudian berpengaruh kepada keuangan klub sebenarnya sudah terjadi berulang kali terutama di era modern sepak bola. Salah satu contoh terbaik tentunya adalah yang terjadi dengan Lazio pada era 1990-an dengan aktor utamanya adalah Sergio Cragnotti.
Cragnotti sempat menjadi taipan dengan perusahaan makanan miliknya, Cirio. Punya sifat yang tak biasa layaknya orang-orang dengan rekening luar biasa, Cragnotti dikenal arogan, dingin dan sulit dijadikan teman. Ia juga pernah memberi nama anjingnya, Christian Vieri, saking sukanya ia pada penyerang tersebut. Terinspirasi oleh kesuksesan Silvio Berlusconi bersama Milan, Cragnotti kemudian memutuskan untuk membeli Lazio pada tahun 1992.
Paul Gascoine adalah pembelian besar pertama Cragnotti. Meskipun sang gelandang legendaris asal Inggris tersebut bisa dibilang tidak memiliki waktu yang begitu bagus di Italia, sehingga kemudian dijual kembali. Setelah serangkaian pembelian besar dan kesuksesan meraih Coppa Italia pada tahun 1998, Cragnotti sudah mencium aroma kesuksesan dan terus kerajingan membeli pemain-pemain bintang dengan harga selangit.
Pada periode tersebut yang dilakukan oleh Cragnotti bisa dibilang sangat luar biasa. Ia pernah menyatukan nama-nama besar seperti Marcelo Salas, Pavel Nedved, Sinisa Mihajlovic, Dejan Stankovic, Sergio Conceicao dan bakat-bakat hebat Italia seperti Attilo Lombardo, Roberto Mancini, Christian Vieri, Giuseppe Favalli, dan tentunya sang tampan, Alessandro Nesta, dalam sebuah tim. Tim impian versi Cragnotti, yang juga diimpikan oleh seluruh penggemar Lazio.
Emas segunung akan habis apabila terus dikeruk. Cragnotti dan akuntannya tidak memperhitungkan apa yang mereka lakukan ketika melakukan transfer besar-besaran. Meskipun Scudetto di musim 1999/2000 tampak seperti harga yang pantas, secara keseluruhan, Cragnotti melakukan kesalahan yang fatal. Serupa dengan apa yang terjadi kepada klub-klub peserta Liga Super Cina saat ini.
Transfer besar-besaran yang dilakukan Cragnotti kemudian berpengaruh kepada keuangan perusahaan miliknya, Cirio. Sempat secara perlahan menjual sahamnya kepada pihak lain untuk mengurangi kerugian, pada tahun 2002, Cragnotti dan Cirio dinyatakan kolaps dan memiliki hutang sebesar 1,1 juta euro kepada investor. Cragnotti kemudian menjual Lazio pada tahun 2003.
Lazio kemudian mesti menjual para pemain bintang mereka. Salah satu yang fenomenal tentu adalah penjualan Pavel Nedved dengan transfer sebesar 40 juta euro dan Juan Sebastian Veron ke Manchester United dengan 30 juta euro. Harga transfer yang terhitung besar pada saat itu. Meskipun sempat meraih beberapa prestasi, harus diakui apabila sampai saat ini Lazio belum bisa mencapai level yang sama ketika mereka masih dikuasai oleh Cragnotti.
Sebenarnya para pemilik klub di Liga Super Cina bisa belajar banyak dari kisah lain yang dialami oleh Thaksin Shinawatra. Kisah mantan perdana menteri Thailand tersebut ketika mengakuisisi Manchester City harusnya bisa jadi pembelajaran. Thaksin membeli City dari publik dengan harga kira-kira 81 juta paun.
Masih segar dalam ingatan bagaimana 10 tahun lalu, Thaksin mengakuisisi City kemudian melakukan perubahan besar-besaran kepada klub tersebut. City yang awalnya selalu berada di bawah bayang-bayang rival sekota mereka, Manchester United, tiba-tiba bisa mendaratkan pemain bintang.
Robinho, Elano Blumer, Geovanni, Pablo Zabaleta, Vincent Kompany dan Valeri Bojinov, menjadi pemain-pemain bintang yang didaratkan ke City di era Thaksin.
Nasib Thaksin bisa dibilang jauh lebih beruntung ketimbang Cragnotti. Memang kabarnya ia menjual City ke pengusaha Timur Tengah dikarenakan situasi politik dirinya di negaranya Thailand tidak begitu baik. Namun. Ada pula yang menyebutkan bahwa keuangannya mulai bermasalah sejak mengakuisisi City, bahkan terancam kolaps.
Beruntungnya Thaksin, ketika ia kesulitan dan berusaha menjual klub, ada pihak yang kemudian bersedia membelinya. Jauh berbeda dengan apa yang saat itu dialami oleh Cragnotti.
Kisah yang dialami oleh Cragnotti dan Thaksin adalah pelajaran bagi seluruh pengusaha atau siapapun yang hendak mengakuisisi klub atau terlibat di sepak bola secara keseluruhan. Dan kisah Cragnotti serta Thaksin mestinya sudah diketahui oleh tim asal kota mode yang pada musim kompetisi kali ini sudah melakukan banyak pembelian pemain baru.
Sir Alex Ferguson sendiri pernah berujar bahwa membeli sebuah klub sebenarnya lebih mahal dari yang Anda kira.