Nasional Bola

Colly Misrun: Antara Tentara dan Sepak Bola

Colly Misrun, nama yang terdengar asing bagi para pencinta sepak bola era sekarang. Wajar, karena pemain berkulit sawo matang yang satu ini menjalani periode emasnya di akhir era Perserikatan.

Berstatus sebagai penyerang andalan Ayam Kinantan di era 1990-an akhir, Colly bersama pelatih Suimin Diharja, membawa PSMS Medan melaju hingga babak 8 besar di Ligina VI dan menjadi juara Wilayah Barat sekaligus menjadi semifinalis Ligina VII. Berkat ketajamannya, pria yang dulunya bercita-cita jadi tentara ini diboyong PSM Makassar pada musim 2002/2003 yang menjadi rekor transfer termahal kala itu.

Sebelum menjadi prajurit di lapangan hijau, Colly memang sempat mengutarakan niatnya untuk menjadi prajurit di medan perang. Momen itu terjadi ketika Colly tamat SMP, namun keinginannya langsung ditolak oleh sang ayah yang berprofesi sebagai prajurit Angkatan Darat.

Meski cita-citanya gagal tercapai, kedisiplinan yang diajarkan sang ayah membuatnya tumbuh sebagai pemuda yang penurut, tidak mudah memberontak. Hal mana yang terus ia bawa ketika menjadi pesepak bola. Colly, walau memiliki karakter keras, jarang berkonfrontasi dengan wasit maupun pemain lawan.

Sebelum memperkuat PSMS Medan, Colly sebenarnya pernah ditawari menjadi tentara oleh Agum Gumelar. Itu terjadi saat dirinya baru saja selesai tampil di turnamen Piala Marahalim 1995, namun Colly menolaknya karena masih terikat kontrak dengan klub semi-profesional, Harimau Tapanuli (Hartap).

Syarat yang diajukan Agum saat itu memang cukup dilematis karena mengharuskan Colly bergabung dengan Persatuan Sepak Bola Angkatan Darat (PSAD) di Makassar dan langsung dihadiahi seragam TNI jika bersedia bermain di sana.

Keputusan yang sangat tepat, karena sejak bermain apik di Hartap, kariernya terus menanjak. Selain PSMS Medan, pemain yang telah mengantongi lisensi kepelatihan C AFC ini tercatat juga pernah membela PSS Sleman (2003) dan PSB Bogor di Divisi Satu tahun 2010. Ia juga pernah dipanggil membela timnas di awal tahun 2000-an.

Berjuang di belakang layar

Ketika tak lagi aktif sebagai pemain, Colly lebih banyak bertugas di pinggir lapangan. Ia memprakarsai kelahiran kembali SSB Harimau Tapanuli pada 2014 bersama Viktor Hutabarat, Zulkifli dan Petrus.

Nama Harimau Tapanuli alias Hartap memang memiliki memori manis di perjalanan karier Colly yang panjang. Di klub itulah ia bertemu dengan Jhoni Pardede, manajer klub yang sangat ia segani karena keseriusannya dalam mengurus klub tidak main-main. Di Hartap pula ia berteman dekat dengan Yusrizal, bek kanan yang kemudian menjadi “rivalnya” saat sama-sama bekerja di belakang layar PSMS Medan versi PT. Liga Indonesia (LI).

Cerita singkatnya begini. Di tahun 2013, PSMS mengalami dualisme kepemilikan dan Colly beserta Yusrizal bekerja di PSMS Medan versi PT. LI atau yang lebih dikenal dengan PSMS ISL. Bagaimana dengan PSMS yang satunya? Skuat PSMS IPL yang diperkuat Saktiawan Sinaga itu merupakan PSMS Medan versi PT. LPIS (Liga Prima Indonesia Sportindo). Keduanya sama-sama bermain di Divisi Utama, namun beda kompetisi.

Colly saat itu merupakan asisten pelatih PSMS ISL dan Yusrizal menjabat sebagai Wakil Sekretaris Umum di klub yang sama. Ketika gaji pemain PSMS ISL tertunggak berbulan-bulan, Colly meminta kejelasan pada manajemen kapan hak mereka akan dilunasi.

Namun jajaran petinggi PSMS yang diwakili Yusrizal terus menerus berkelit dan meminta para pemain untuk menyelesaikan kompetisi terlebih dahulu, baru kemudian gaji akan dibayarkan. Kasus penunggakan gaji yang sempat membuat para penggawa PSMS terlantar di Monas itu kabarnya masih berlanjut hingga Mei 2017 kemarin.

Colly Misrun, meski gagal menjadi prajurit di medan laga, ia berhasil mengharumkan nama bangsa dan kota kelahirannya di lapangan bola. Kedisiplinan serta semangat pantang menyerah yang ia tunjukkan seharusnya ditiru oleh para pemain masa kini yang terlalu mudah terguling-guling walau hanya tersentuh jari kelingking.

Author: Aditya Jaya Iswara (@joyoisworo)
Milanisti paruh waktu yang berharap Andriy Shevchenko kembali muda dan membawa AC Milan juara Liga Champions Eropa lagi.