Selama lebih dari satu abad, konstelasi sepak bola di zona Amerika Latin menjadi rebutan triumvirat Argentina, Brasil dan Uruguay. Tiga negara yang wilayahnya berbatasan satu sama lain ini begitu rajin meraih prestasi (baik di ajang Piala Dunia, Copa America hingga Olimpiade). Padahal, di wilayah yang berafiliasi kepada CONMEBOL ini, masih terdapat tujuh negara lain.
Dalam sepak bola, kita memang tak bisa menepikan dominasi sebuah klub ataupun negara. Dan apa yang terjadi di zona Amerika Latin adalah sebuah keniscayaan yang tak bisa dibantah oleh siapapun.
Walau begitu, kans untuk mendobrak dominasi tersebut akan selalu ada bahkan terbuka lebar. Karena bagaimanapun juga, sebuah dominasi selalu punya masa kedaluwarsa. Jika tidak, tentu saja kita takkan melihat negara-negara lain seperti Bolivia, Cile, Kolombia, Paraguay dan Peru sanggup merengkuh prestasi tertinggi, dengan menjadi kampiun di ajang Copa America, misalnya.
Berbicara tentang sepak bola Amerika Latin di luar hegemoni trio Argentina, Brasil dan Uruguay tentu sangat menarik. Dan salah satu negara yang akhir-akhir ini konsisten menyedot atensi publik adalah Cile.
Seperti kebanyakan negara lain di Amerika Latin, pada awalnya Cile tak lebih dari sekadar cameo dari “film” sepak bola yang dibintangi Argentina, Brasil dan Uruguay. Peran mereka begitu minim dan jauh dari sorotan kamera. Aksi terbaik mereka mungkin hanyalah peringkat ketiga di Piala Dunia 1962 (Cile saat itu menjadi tuan rumah kejuaraan), runner-up Copa America 1955, 1956, 1979 dan 1987 serta medali perunggu di Olimpiade Sydney 2000.
Bahkan saat negara ini mampu memproduksi bintang sepak bola sekelas Marcelo Salas, Nelson Tapia dan Ivan Zamorano, prestasi di ajang antarnegara pun nyaris nol besar. Pun ketika angkatan Reinaldo Navia dan David Pizarro jadi tumpuan utama.
Peruntungan tim nasional berjuluk La Roja ini mulai membaik usai federasi sepak bola Cile (FFC) menunjuk lelaki “gila” asal Argentina bernama Marcelo Bielsa menjadi nakhoda anyar pada tahun 2007 silam.
Pelatih kawakan yang kini menangani kesebelasan asal Prancis, Lille, berhasil membangun sebuah fondasi kokoh bagi timnas Cile. Seperti biasa, Cile yang dahulu tampil “biasa-biasa” saja dibimbing Bielsa untuk bermain lebih ofensif, efektif dan efisien. Menjadi skuat yang handal dalam melakukan pressing dan lihai memanfaatkan ruang adalah beberapa atribut yang Bielsa tanamkan dalam-dalam kepada anak asuhnya di timnas Cile.
Benar saja, wajah timnas Cile berubah drastis sejak ditukangi oleh pelatih dengan julukan El Loco (Si Gila) tersebut. Mentalitas mereka tak keburu ambruk andai berjumpa penguasa zona Amerika Latin atau negara dari kontinen lain di atas lapangan. Sebaliknya, penampilan La Roja besutan Bielsa justru penuh gairah dan determinasi.
Berkebalikan dengan Pep Guardiola atau Jose Mourinho yang kecerdasan taktikalnya kerap dibarengi datangnya trofi demi trofi, tak demikian dengan Bielsa. Sepanjang empat tahun menangani La Roja, prestasi terbaik yang bisa dihadiahkan Bielsa cuma lolos perdelapan-final di Piala Dunia 2010 dan lolos perempat-final di Copa America 2011.
Akan tetapi apa yang Bielsa letakkan sebagai fondasi ketika itu benar-benar membuahkan hasil beberapa tahun kemudian. Adalah Jorge Sampaoli, murid Bielsa, yang sukses mengubah citra La Roja menjadi lebih mentereng dan harum di mata publik. Lelaki plontos dari Argentina tersebut mereplikasi dan menyempurnakan apa yang diwariskan gurunya di timnas Cile.
Ditambah dengan keberadaan pemain berkualitas dalam diri Charles Aranguiz, Claudio Bravo, Mauricio Isla, Gary Medel, Alexis Sanchez, Arturo Vidal dan Jorge Valdivia, Sampaoli tentu memiliki modal yang begitu sempurna. Ya, timnas Cile di era saat ini memang digadang-gadang sebagai generasi emas dalam sejarah sepak bola mereka.
Hasil racikan Sampaoli pun sungguh mengagumkan, Cile dibawanya memenangi titel Copa America 2015 setelah menumbangkan Argentina di babak final melalui adu penalti. Sejarah berhasil ditorehkan Sampaoli, namanya pun harum di pelosok negeri.
Sayangnya, enam bulan sesudah membawa Bravo dan kolega meraih gelar prestisius itu, lelaki berkepala plontos tersebut memilih untuk meletakkan jabatannya lantaran ingin mencicipi petualangan baru dengan melatih klub asal Spanyol, Sevilla per musim panas 2016.
Di tengah situasi yang cukup pelik pada saat itu, FFC menunjuk lelaki asal Argentina lain dalam wujud Juan Antonio Pizzi untuk menjadi juru taktik baru buat La Roja. Meski rekam jejaknya sebagai pelatih tak terlalu mentereng di level klub, ide-ide Pizzi yang mirip dengan Bielsa dan Sampaoli membuat pihak federasi yakin jika pilihan mereka tidak salah.
Tanpa diduga, Pizzi sukses membuktikan kapabilitasnya dengan membawa Cile meraih silverware bergengsi keduanya di ajang Copa America setelah keluar sebagai kampiun di Copa America Centenario 2016. Pada laga pamungkas, La Roja kembali membungkam Argentina via babak tos-tosan.
Partai final itu sendiri pasti menjadi salah satu laga puncak yang takkan pernah bisa dilupakan salah satu “pesepak bola dari planet lain” bernama Lionel Messi di sepanjang hidupnya.
Prestasi cemerlang di dua turnamen, utamanya di Copa America 2015, itu pula yang lantas memberi Cile satu tiket buat berkompetisi di ajang Piala Konfederasi 2017 sebagai wakil zona CONMEBOL.
Sedikit trivia, dalam rentang tujuh tahun terakhir, Cile merupakan salah satu timnas yang punya waktu istirahat paling sedikit selama libur musim panas. Pasalnya, mereka selalu tampil di ajang-ajang mayor antarnegara. Mulai dari Piala Dunia 2010, Copa America 2011, Piala Dunia 2014, Copa America 2015, Copa America Centenario 2016 dan tentu saja Piala Konfederasi 2017.
Deretan tersebut bakal bertambah padat jika Cile kembali mentas di Piala Dunia 2018 serta Copa America 2019 mendatang. Praktis, Alexis dan kawan-kawan hanya bisa santai di musim panas 2012 dan 2013 yang lalu karena tak ada kejuaraan antarnegara yang diikuti.
Di ajang Piala Konfederasi 2017 sendiri, bursa taruhan menempatkan Cile sebagai tim ketiga yang punya kans terbesar menjadi kampiun. Mereka berada di bawah dua tim asal Eropa yang jadi favorit utama, Jerman dan Portugal. Meski begitu, memandang remeh La Roja adalah kebodohan yang tak bisa ditolerir.
Kampanye Cile di Piala Konfederasi 2017 juga berlangsung ciamik setelah pada laga pembuka dini hari kemarin (19/6), mereka sukses mengalahkan utusan Afrika, Kamerun, dengan kedudukan akhir 2-0.
Menyebut kemenangan tersebut sebagai pertanda bahwa Cile bakal mengejutkan di Piala Konfederasi 2017 mungkin terdengar prematur. Tapi setidaknya, kenyataan tersebut membuktikan apa yang saya ungkapkan di bagian awal artikel jika Cile bukan lagi cameo di “film” sepak bola, baik di kawasan Amerika Latin maupun dunia. Pizzi bersama generasi emas yang mereka miliki saat ini, berpotensi menghadirkan prestasi-prestasi hebat lainnya.
Author: Budi Windekind (@Windekind_Budi)
Interista gaek yang tak hanya menggemari sepak bola tapi juga american football, balap, basket hingga gulat profesional