Seperti halnya mimpi seluruh anak-anak di Jawa Barat yang bermain sepak bola, impian masa kecil saya adalah bisa bermain untuk kesebelasan kebanggaan daerah kami, Persib Bandung.
Saya mencoba meretas impian tersebut dengan bergabung ke sekolah sepak bola terbaik di daerah ini, UNI. Sekolah sepak bola tersebut memang sudah terkenal melahirkan bakat-bakat hebat. Para pahlawan dari masa lalu seperti Herry Kiswanto, Deni Syamsudin dan Yaris Riyadi berasal dari sana.
Tapi segala sesuatunya tidak semudah seperti bayangan banyak orang. Bahkan untuk saya sendiri. Ketika anak-anak lain bisa dengan mudah mendapatkan perlengkapan sepak bola mereka seperti sepatu, kaus kaki, dan lain-lain, saya mesti menunggu dulu cukup lama. Maklum, orang tua saya bukan orang yang begitu berada. Apalagi waktu itu bukan hanya saya yang sedang mencoba menggapai impian di sepak bola. Tetapi juga abang saya.
Soal jarak juga menjadi sesuatu yang sulit. Saya mesti menempuh jarak sekitar 27 kilometer jauhnya dari Jatinangor, tempat tinggal saya, hanya sekadar untuk bisa berlatih di SSB yang terletak di kota Bandung.
Ayah biasa mengantar sekaligus menjemput saya dan abang. Terkadang kami juga menumpang truk yang sedang mengarah ke Bandung dan mencari yang mengarah ke Jatinangor untuk pulang. Ada kalanya ketika ayah saya tidak bisa menjemput, kami dengan kaki-kaki kecil kami, yang sudah lelah selepas latihan atau bertanding, terpaksa berjalan kaki dari Bandung ke Jatinangor.
Saya terus berusaha dan berusaha semaksimal mungkin. Saya tidak ingin keadaan saya kemudian menyulitkan saya untuk bisa terus maju.
Selepas dari UNI, ketika datang tawaran dari Persib U-18, saya senang sekali. Karena mendambakan bermain di tim Persib Bandung, mendapatkan tawaran dari tim muda mereka saja rasanya bahagia bukan main. Karena dengan bermain di sana, rasanya saya berada di jalur yang tepat untuk mencapai impian saya. Tentu saja saya mengiyakan tawaran tersebut. Tidak mungkin tidak.
Bergabung ke Persib U-18 menjadi tahapan baru dalam hidup saya. Levelnya tentu berbeda ketimbang dulu ketika saya masih di SSB. Kelompok ini adalah pilihan terbaik dari yang terbaik. Persaingannya tentu lebih ketat ketimbang sebelumnya. Pemain-pemain yang saya hadapi di kompetisi usia dini, kini menjadi rekan sekaligus rival saya.
Salah satunya adalah seorang pemain yang posisinya sama dengan saya sebagai penyerang. Perilakunya memang agak aneh dan meledak-ledak, tetapi saya akui jika ia pemain yang punya kualitas. Nama pemain ini adalah Ferdinand Sinaga.
Di tengah ketatnya persaingan, yang saya pikirkan adalah soal berkerja keras. Saya tidak begitu mempermasalahkan hal-hal lain. Saya berlatih, saya bermain, sesuai apa yang pelatih instruksikan. Saya pikir saya telah melakukan segalanya. Karena bergabung dengan Persib adalah impian masa kecil saya, tentunya saya rela melakukan apapun. Sampai tibalah saat itu. Saat-saat penilaian akhir dari tim pelatih untuk bisa promosi ke tim senior Maung Bandung.
Di sini saya merasakan adanya beberapa sikap pelatih yang janggal, terutama setiap saya tanya soal kepastian promosi ke tim utama. Bahkan ketika saya tanya apa permainan saya dirasa kurang untuk masuk tim utama, jawaban mereka tidak jelas. Jawaban mereka tidak memuaskan saya.
Di waktu itu memang saya pun dihubungi oleh tim lain. Tetapi saya memilih untuk bertahan. Soal impian masa kecil itulah yang membuat saya terus bertahan meskipun semakin lama tidak tampak titik terang. Saya tetap berlatih dan tetap bermain. Ketidakjelasan ini bahkan berlangsung kurang lebih selama satu tahun. Status saya tidak jelas selama waktu itu. Saya tidak tahu apa yang mesti saya lakukan.
Sampai suatu ketika ada kejadian yang betul-betul membuat perasaan saya sakit. Kabar soal saya dihubungi tim lain kemudian sampai ke telinga pelatih tim muda Persib waktu itu, Yusuf Bachtiar.
Di sebuah latihan pagi, ketika saya baru saja datang, pelatih kemudian berteriak, “Ngapain lagi kamu disini? Sudah pergi saja sana!”
Tentu saya terkejut dengan ucapan tersebut. Tiba-tiba sekali. Saya merasa tidak melakukan apapun yang salah. Saya kemudian memilih untuk langsung pulang saja ke rumah. Di perjalanan saya termenung dan tercekat karena masih berusaha mencerna apa yang terjadi.
Kepala dan hati saya betul-betul panas. Bayangkan saja, seorang anak muda yang bahkan belum genap berusia 20 tahun, sudah merasakan diusir seperti sedemikian rupa. Padahal rasanya sudah melakukan segalanya. Impian seorang anak muda hancur hari itu.
Tetapi saya merasa tidak ada waktu untuk terus berada dalam kesedihan. Saya mesti maju terus dan bangkit. Akhirnya datang tawaran bermain untuk Porda Cianjur yang kemudian saya terima. Dan di sinilah yang menjadi titik balik hidup dan karier sepak bola saya.
Pelita Jaya yang waktu itu sempat melakukan uji tanding melawan Porda Cianjur menyatakan minatnya kepada saya. Yang mengejutkan adalah mereka bukan menawarkan saya bermain di tim muda, melainkan langsung bermain di tim senior. Gaji saya waktu itu lima ratus ribu rupiah dan akan meningkat menjadi satu juta andai saya bermain bagus. Itu terjadi beberapa bulan setelah Piala Dunia 2006 di Jerman usai. Kontrak profesional pertama saya.
Setelahnya saya mendapatkan banyak kesempatan. Bermain untuk timnas di usia muda, sampai sempat menimba ilmu di Brasil bersama klub Boavista. Rekan-rekan tim di sana memanggil saya “John” karena kesulitan menyebut nama saya. Saya selama satu tahun berada di sana. Banyak ilmu yang saya dapatkan dari negara sepak bola ini.
Saya memutuskan untuk mencari pengalaman ketika mengalami masa pinjaman di Sriwijaya FC. Di sana saya bertemu pemain-pemain besar seperti Arif Suyono, Keith Kayamba dan Ponaryo Astaman. Di tempat baru ini lagi-lagi saya mendapatkan tambahan pengalaman dan ilmu baru.
Ketika Mitra Kukar sedang memulai proyek Galacticos mereka, saya termasuk pemain yang kemudian direkrut. Selama tiga tahun di sana, saya mengalami banyak hal yang menyenangkan. Saya betul-betul menikmati setiap waktu bermain di sana. Bahkan ketika akhirnya pelatih kemudian memutuskan untuk memasang saya sebagai bek tengah.
Dan selama tahun-tahun tersebut, Persib terus menghubungi saya. Sayang, seringnya tidak terjadi kelanjutan atau upaya serius untuk membawa saya kembali pulang ke Bandung.
Selama tiga tahun bermain di Mitra, Nabil Husein, owner Pusamania Borneo FC (PBFC) terus menghubungi saya. Ia bilang ia sangat ingin saya bermain untuk timnya. Sampai akhirnya pada tahun 2013, tepat saat kontrak saya habis, saya kemudian menerima pinangan PBFC.
Di tim ibu kota Kalimantan Timur inilah saya mendapatkan kesempatan untuk bertemu Persib di laga yang saya akui sebagai salah satu yang tersulit dalam karier saya: semifinal Piala Presiden 2015. Pada laga pertama, tim saya unggul dengan skor 3-2. Pertemuan kedua dilaksanakan di Bandung, kota di mana karier saya dimulai.
Persib membutuhkan setidaknya selisih satu gol untuk melaju ke partai final. Kondisi memanas karena pelatih PBFC waktu itu, Iwan Setiawan, melakukan serangan kepada tim Persib melalui komentar-komentarnya sebelum pertandingan.
Tetapi saya kemudian berhasil mencetak gol terlebih dahulu untuk tim. Menerima bola lambung dari Boaz Solossa ke jantung pertahanan Persib, saya yang berlari melepaskan diri dari pengamatan para pemain bertahan lawan kemudian mencetak gol.
Seketika bola bersarang, pikiran saya juga ikut melayang. Banyak sekali yang saya ingin keluarkan, saya ingin bicarakan. Semua rasanya terungkap melalui gol tersebut yang saya cetak di depan puluhan ribu Bobotoh.
Yang terjadi kemudian, saya akui awalnya tidak memikirkan dampak buruknya. Saya melakukan selebrasi ke depan para penggemar Persib sambil menari-nari bersama rekan setim yang lain.
Para Bobotoh dan suporter Persib yang lain kepanasan dengan apa yang saya lakukan. Cacian dan makian justru membuat saya semakin bersemangat untuk membuktikan kepada mereka.
Namun saya baru sadar belakangan, cacian dan makian dari para penggemar tersebut ternyata juga melukai ibu dan keponakan saya yang waktu itu sedang menonton langsung di stadion. Mereka juga ikut terkena cacian dan ungkapan kasar serta intimidasi verbal lain untuk saya, yang akhirnya membuat ibu saya menangis.
Andai Persib Bandung kalah dan tidak lolos ke final malam itu, saya tidak berani membayangkan apa yang terjadi kepada keluarga saya yang ada di tribun penonton. Ketika baru tahu kabar tersebut, saya begitu emosional dan siap meledak. Itulah yang menjadi latar belakang kenapa ada respons yang saya akui berlebihan ketika beberapa suporter mengejek saya di media sosial. Hingga akhirnya saya geram dan menantang mereka untuk berduel saja.
Saya hanya kesal atas perlakuan mereka terhadap keluarga, terutama kepada ibu saya. Saya tidak pernah berniat membuat masalah atau membuat permusuhan dengan orang lain. Yang saya lakukan di depan para Bobotoh dan tim Persib sendiri waktu itu lebih kepada ekspresi emosional.
Maksud saya adalah, setiap putra daerah yang bertanding melawan tim daerah mereka sendiri pasti punya semangat berlipat. Selain membuktikan diri dan menyadarkan siapa yang mereka lewatkan, sekaligus menunjukan bahwa sebenarnya ada keinginan besar untuk kembali pulang ke kampung halaman, membela tim tanah kelahiran, menjadi bagian dari sejarah Persib Bandung. Dan itu mimpi semua anak yang lahir di Jawa Barat, termasuk saya.
***
Di awal musim, sebelum kompetisi baru dimulai setelah Indonesia resmi lepas sanksi FIFA, kini giliran saya yang menawarkan diri. Saya menawarkan diri untuk Persib bisa menggunakan tenaga saya. Namun jawaban klub adalah mereka sudah sangat berkecukupan di sektor penyerang dan tidak berniat menambah pemain lagi di posisi tersebut.
Selepas kejadian di awal musim kompetisi baru tersebut, sejauh ini saya belum ada pikiran untuk kembali. Awal musim kemarin Persib bilang sudah cukup pemain di posisi penyerang, meskipun kenyataannya sekarang, mereka kini tengah mencari pemain baru di posisi tersebut.
“Tetapi saya tidak pernah menutup kemungkinan. Mungkin suatu hari nanti saya kembali. Mungkin saja.” – Jajang Mulyana
Author: Aun Rahman (@aunrrahman)
Penikmat sepak bola dalam negeri yang (masih) percaya Indonesia mampu tampil di Piala Dunia