Sebagai ibu kota dan sekaligus kota terbesar di Jerman, Berlin sempat terbelah oleh sebuah tembok panjang dan memisahkan wilayah barat dan timur. Seiring awal kejatuhan pemerintah Jerman Timur, riwayat Tembok Berlin juga berakhir sekitar akhir 1989 hingga sepanjang tahun 1990. Empat tahun setelah kehancuran tersebut, Berlin jadi saksi lahirnya tembok baru.
Akan tetapi tembok yang dimaksud bukan berupa bangunan, melainkan seorang anak laki-laki yang kelak jadi salah satu pemain belakang terbaik di 1.Bundesliga. John Anthony Brooks Jr., jadi sosok kelahiran Berlin yang belakangan jadi idola suporter klub kotanya, Hertha BSC. Namanya kerap didengungkan suporter Die Alte Dame di Olympiastadion.
Duet Brooks dan Sebastian Langkamp jadi salah satu resep sukses Hertha musim 2016/2017 ini. Skuat asuhan Pál Dárdai itu jadi tim terakhir yang merengkuh tiket ke Liga Europa musim depan. Meski kalah pada spieltag terakhir 1.Bundesliga dari Bayern Leverkusen, perolehan poin Brooks dan kawan-kawan tetap mengungguli Freiburg, Werder Bremen, dan Borussia Mönchengladbach.
Sayangnya, kisah kelugasan Brooks dalam mengawal pertahanan Die Alte Dame kini hanya tinggal kenangan. Setelah menghabiskan enam tahun karier profesionalnya hanya di Hertha, Brooks memilih untuk pindah ke lain hati. Hijrah 230 kilometer ke arah barat, pemain bertinggi badan 193 sentimeter itu akan memulai hidup baru bersama sesama kontestan 1.Bundesliga, VfL Wolfsburg. Berbeda dengan sebelumnya, kehilangan tembok di Berlin kali ini diwarnai dengan sedikit kepedihan.
Pria Amerika termahal
Sadar potensi besar yang masih tersimpan pada diri Brooks, manajemen Hertha tak lantas melepasnya dengan mudah ke klub asal wilayah Lower Saxony itu meski ada indikasi bahwa sang pemain yang menghendaki transfer terjadi. Wolfsburg dipaksa membayar mahal senilai 20 juta euro untuk mendapatkan jasanya. Nilai tersebut akhirnya menciptakan sebuah rekor sensasional.
Meski lahir di Berlin dan belum pernah tinggal lama di luar negeri, Brooks sejatinya berkebangsaan Amerika Serikat. Dia mengikuti garis keturunan ayahnya yang berasal dari Chicago, sebelum pindah ke Jerman dan menikahi wanita lokal. Pada usia yang masih relatif muda, 24 tahun, Brooks mencatatkan namanya sebagai pria Amerika Serikat termahal dalam sejarah sepak bola di negaranya.
Harga 20 juta euro bahkan senilai dua kali lipat rekor sebelumnya yang dipegang Jozy Altidore saat pindah dari AZ Alkmaar ke Sunderland, empat tahun lalu. “Tak mudah meninggalkan kampung halaman, tetapi setelah berbicara dengan manajemen Hertha, saya memutuskan untuk bergabung ke Wolfsburg. Saya ingin berkontribusi akan kesuksesan klub,” ungkap Brooks kepada situs resmi Die Wölfe.
Alasan Brooks lantas jadi pertanyaan banyak pihak. Peraih 31 caps bersama timnas senior AS ini lebih memilih hijrah ke klub yang baru saja lolos dari jeratan degradasi alih-alih tampil di Eropa musim depan. Namun, Brooks ternyata punya alasan lain. Stabilitas finansial dan materi pemain Wolfsburg dianggap selevel di atas Die Alta Dame.
Musim 2014/2015 misalnya, tim yang kala itu diasuh Dieter Hecking tersebut sukses merengkuh gelar DFB-Pokal dan finis di urutan kedua 1.Bundesliga. Di Eropa, Wolfsburg melaju hingga perempat-final Liga Europa sebelum dikandaskan Napoli.
Semusim berselang, Die Wölfe sempat jadi kejutan di Liga Champions saat kalahkan Real Madrid dua gol tanpa balas pada laga pertama perempat-final, meski tetap tersingkir usai kandas pada laga kedua di Santiago Bernabeu.
Anomali yang terjadi musim ini disinyalir tak mengubah keputusan Brooks yang disebut-sebut telah bulat sejak awal tahun 2017. Lini belakang Wolfsburg yang compang-camping musim ini lewat duet Robin Knoche dan Jeffrey Bruma, coba diperbaiki dengan kehadiran Brooks. Mampukah Brooks tetap jadi tembok kokoh di Volkswagen Arena?
Author: Perdana Nugroho
Penulis bisa ditemui di akun Twitter @harnugroho