Nasional Bola

Persikad Depok: Menanti Raungan Serigala Margonda di Kancah Sepak Bola Nasional

Depok adalah kota satelit bagi Jakarta dan sebuah fakta dari zaman kolonial menambah status spesial kota yang masuk dalam provinsi Jawa Barat ini. Depok sejak 28 Juni 1714 telah memiliki sistem pemerintahan sendiri (Gemeente Bestuur Depok), dan menyelenggarakan pemilu setiap tiga tahun sekali.

Nama Margonda yang identik dengan kemacetan itu pun diambil dari salah satu pahlawan era kemerdekaan. Ketika Indonesia menyatakan kemerdekaan, Depok menolak mengakui dan tetap mempertahankan negara mereka sehingga wilayahnya diserbu pejuang kemerdekaan Indonesia.

Waktu pun berlalu, kota ini akhirnya masuk ke wilayah Indonesia. Jakarta yang begitu tersentralisasi sebagai pusat segalanya membuat Depok tumbuh menjadi kota penyangga, seperti Bekasi atau Tangerang.

Semangat lokalitas pun disemai di ranah sepak bola. Pada tahun 1990, Drs. H. Yuyun Wirasaputra mendirikan Persikad (Persatuan Sepak Bola Kota Administrasi Depok) Depok, dengan harapan warga kota ini dapat memiliki tumpuan dan harapan sepak bolanya sendiri.

Wilayah-wilayah yang berada di pinggiran Jakarta seperti Depok atau Cikarang memang kerap terbelah. Banyak penggemar sepak bola di sana yang mengasosiasikan diri dengan Persija Jakarta. Selain itu, faktor geografis membuat warganya juga menjadi pendukung Persib Bandung. Di satu kampung di Cikarang, misalnya, saya mendapati ada dua basis pendukung dari Persib dan Persija.

Perlahan, Persikad mencoba menegaskan identitas kota. Banyak upaya dari suporter agar warga kota mendukung kesebelasan yang ada di kotanya, alih-alih mendukung klub yang terletak jauh dari tempat tinggal mereka. Narasi ini dapat kita temui pula di klub-klub seperti Persita Tangerang, Persika Karawang, atau Persikabo Bogor.

Sayang, semangat tersebut juga berjalan beriringan dengan kehendak elite mendulang untung di kancah sepak bola. Konflik dualisme kepemilikan pun menjadi berita yang tak habis-habis. Banyak klub berpindah tangan, sehingga membuat suporter kecewa.

Kita pun menjadi familiar dengan klub-klub yang berpindah lokasi berkali-kali, termasuk Persikad. Klub ini pernah ‘diakuisisi’ oleh Pemerintah Purwakarta sehingga menjadi Persikad Purwakarta. Menurut anggapan pemilik modal (swasta maupun pemerintah), membangun klub dari nol dianggap suatu kesia-siaan, sehingga memilih jalan instan seperti ini.

Setelah menerima sanksi dari FIFA, PSSI pun berbenah. Mereka pun berniat menjalankan lagi kompetisi sepak bola di negeri ini. Go-Jek Traveloka Liga 1 dan Indofood Liga 2 pun dihelat. Persikad masuk sebagai salah satu tim yang berlaga di Liga 2, meski klub mereka masih dilanda dualisme kepemimpinan.

Seperti yang ditulis Fakhri Aziz Humaidi di Indosoccer.id, pihak Adi Gunaya berkeberatan dengan manajemen Persikad yang dipimpin Acep Ashari dan Lilik Nugroho. Persikad yang kini bernaung di bawah PT. Persikad Paricara Dharma dianggap Adi belum memenuhi kesepakatan seperti pelunasan utang serta tunggakan gaji pemain.

Proses pengalihan ini juga melibatkan Walikota Depok, Mohammad Idris, yang bertindak sebagai perantara. Di tulisan Fakhri tersebut, Pak Walikota sempat memberikan pernyataan bahwa pemilik sah Persikad ada di pihak Acep dan Lilik.

Suporter pun turut memberikan resistensi terhadap konflik ini. Persikad terus dilanda konflik di tataran manajemen, padahal suporter begitu antusias mendukung Serigala Margonda. Menurut data yang penulis himpun, Persikad telah dilanda karut-marut seperti ini sejak 2009, yang melibatkan berbagai pihak dan kepentingan.

Segalanya terjadi begitu kabur dan suporter terus diseret oleh permainan tingkat elite. Pihak yang berebut seperti tak memiliki visi dan menganggap persoalan akan selesai setelah klub jatuh ke tangan mereka. Ambil contoh berikut: klub yang sejatinya bermarkas di Stadion Merpati ini harus menjalani partai kandang di Cilegon (Stadion Krakatau Steel) karena stadion mereka dianggap belum lolos verifikasi dari penyelenggara liga.

Ini adalah rintangan berat bagi pemain dan terutama suporter. Antara Depok dan Cilegon berjarak kira-kira 120 kilometer dan harus menempuh waktu perjalanan dua jam lebih. Ini mengingatkan saya dengan perjuangan suporter Brighton & Hove Albion yang mengalami kebangkrutan, sehingga harus berkali-kali berpindah stadion.

Brighton membutuhkan waktu 20 tahun, sehingga akhirnya menuai hasil manis musim ini. Untuk pertama kali dalam sejarah klub, mereka berhasil promosi ke Liga Primer Inggris setelah musim ini menjadi runner-up divisi Championship.

Serigala Margonda memiliki potensi untuk menjadi kantong sepak bola. Jika memiliki stadion, tidak menutup kemungkinan akan membuat stadion tersebut dipakai tim nasional, atau dipergunakan untuk kepentingan komersial seperti konser.

Tapi ini tentu pekerjaan rumah yang berat, apalagi sekarang klub tidak boleh disuplai oleh dana APBD. Manajemen yang sekarang berwenang harus memikirkan kemandirian finansial agar klub tak lagi diombang-ambing masalah. Manajemen harus bersinergi dengan suporter, agar tercipta budaya sepak bola yang berkelanjutan.

Di Liga 2, Persikad tergabung di Grup 2. Sampai kini, mereka masih berada di posisi 5 klasemen, dengan hasil 1 kemenangan, 1 seri, dan 2 kekalahan. Mengaumlah, Serigala Margonda!

Author: Fajar Martha (@fjrmrt)
Esais dan narablog Arsenal FC di indocannon.wordpress.com