Sebagai olahraga profesional, sepak bola memberikan sarana bagi mereka yang berbakat untuk mencari nafkah di lapangan hijau. Karena disematkan kata “profesional”, maka para pemain terikat kontrak dan perjanjian-perjanjian yang mengikat.
Tak bisa kita kita mungkiri, pemain sepak bola telah menjadi komoditas yang bisa diperjualbelikan dalam rantai industri global. Globalisasi dan teknologi (teknologi informasi dan transportasi) juga membuat para agen dan pemandu bakat tersebar ke seantero dunia.
Dengan jaringan yang luas inilah, pesepak bola menjadi komoditas dalam rantai bisnis transnasional. Di balik profesionalitas yang dijunjung, skema ini juga memiliki sisi gelapnya tersendiri. Sebutlah misalnya jual-beli manusia (human trafficking), eksploitasi anak, hingga ketidakjelasan kontrak.
Uniknya, konsep ‘pesepak bola sebagai komoditas’ ini juga dirasakan para pemain. Diwawancarai oleh jurnalis David Conn (1997), eks penyerang Newcastle United, Les Ferdinand, berkata, “Di mata klub, Anda hanyalah komoditas. Mereka bisa dengan sekejap menjual Anda ke klub lain.”
Terlepas dari itu semua, sepak bola telah menyediakan akses bagi manusia-manusia atletis untuk mencari nafkah. Apalagi status mereka kini sudah selayaknya figur publik. Popularitas membuat mereka bisa mendulang uang di ranah-ranah komersial di luar lapangan.
Pun juga, bukankah langkah kaki para perantau ini yang membuat sepak bola menjadi populer? Lewat kolonialisme, Inggris menjadi bangsa pertama yang menyebarkan sepak bola profesional.
Selepas Perang Dunia ke-II, permainan yang telah dimainkan dikembangkan lagi oleh sosok-sosok perantau. Tak sedikit dari mereka yang sukses, lalu merevolusi tim yang dihuni, atau bahkan sepak bola secara umum.
Jack Reynolds (Inggris) di Ajax Amsterdam, László Kubala (Hungaria) dan Johan Cruyff (Belanda) di Barcelona, atau Helenio Herrera (Argentina) di Internazionale Milan, adalah segelintir contoh para perantau yang meninggalkan jejak mendalam di negeri rantauan.
Sebuah pusat studi sepak bola bernama International Centre for Sport Studies (CIES) Football Observatory melakukan riset yang merangkum persebaran para pemain bola yang merantau ke luar negaranya.
Lembaga asal Swiss ini menerangkan bahwa para ekspatriat ini (pesepak bola perantau) bukanlah fenomena baru. Tetapi skalanya mengalami pembengkakan selama tiga dasawarsa terakhir. Dalam penelitian ini, CIES Football Observatory menghimpun data dari 93 negara yang mencakup 193 liga profesional.
Studi ini mencatat dan mempelajari data yang meliputi seluruh konfederasi FIFA, yaitu AFC (Asia), CAF (Afrika), CONCACAF (Amerika Utara dan Tengah), CONMEBOL (Amerika Selatan), OFC (Oseania), dan tentunya, UEFA (Eropa).
Selain mendata para pemain yang merantau, mereka juga menyoroti ke negara mana para pemain ini berlabuh. Temuan semacam ini bisa mengonfirmasi berbagai anggapan, salah satunya yang mengatakan bahwa para pemain Brasil yang bermain di Inggris jarang mengalami kesuksesan.
Menjadi negara yang paling banyak mengekspor pemain (1.202), Inggris bahkan tak masuk dalam 10 besar negara-negara tujuan pemain Brasil. Pemain Brasil paling banyak berkiprah di Portugal (221 pemain), Italia (71), dan Jepang (54).
CIES Football Observatory juga mengukur nilai rata-rata usia pemain asing atau perantau ini. Temuan ini bisa saja dielaborasikan lebih mendalam, dengan pertanyaan seperti, “mengapa pemain Spanyol berani merantau sejak usianya belum menginjak 25 tahun?”
Berikut ini adalah 10 besar negara-negara pengekspor pemain sepak bola terbanyak:
No. | Negara | Jumlah Pemain Ekspatriat |
1. | Brasil | 1.202 |
2. | Prancis | 781 |
3. | Argentina | 753 |
4 | Serbia | 460 |
5. | Inggris | 451 |
6. | Spanyol | 362 |
7. | Jerman | 335 |
8. | Kroasia | 323 |
9. | Nigeria | 292 |
10. | Uruguay | 288 |
Melihat data di atas, maka benua yang paling banyak menempatkan negaranya di 10 besar adalah Eropa dengan 6 negara. Disusul kemudian oleh 2 negara dari benua Amerika (Brasil, Argentina, dan Uruguay), lalu satu negara Afrika yang disumbang Nigeria.
Lewat penelitian yang dapat dibaca di sini, bisa menjadi inspirasi bagi konfederasi atau federasi sepak bola, yang melibatkan para akademisi dari berbagai disiplin ilmu.
Ada sebuah omongan yang mengatakan para pemain Inggris terlalu enggan hijrah ke luar negeri, sehingga para pemainnya tak memiliki mental yang kuat. Anggapan tersebut kemudian menjurus menjadi penyebab jumudnya prestasi tim nasional Inggris di kontes-kontes sepak bola.
Nyatanya anggapan tersebut dimentahkan oleh penelitian ini. Italia, yang telah memenangi empat Piala Dunia, bahkan tidak masuk di 10 besar negara pengekspor tertinggi. Italia bahkan menempati urutan ke-23 dengan total 150 pemain yang mencari nafkah di luar Italia.
Tentu ini semua membutuhkan konteks. Sebagaimana statistik permainan, data yang CIES Football Observatory himpun hanya sebatas angka bila tidak dikontekstualisasikan.
Dari kesepuluh negara dengan pemain ekspatriat terbanyak, ada tiga negara yang belum menjuarai Piala Dunia, yaitu Serbia, Kroasia dan Nigeria. Hal ini menandakan bahwa banyaknya pemain yang merantau ke luar negeri belum tentu menggenjot prestasi sepak bola mereka di ajang internasional.
Dari 50 negara yang mereka himpun, federasi AFC diwakili oleh Jepang (peringkat ke-28 dengan 130 pemain), Korea Selatan (peringkat ke-35 dengan 100 pemain), dan Australia (peringkat ke-36 dengan 97 pemain). Fakta ini menandakan bahwa pengembangan sepak bola mereka berjalan sukses, sehingga para pemainnya dilirik klub-klub asing.
Sebuah pekerjaan rumah bagi sepak bola Indonesia, mengingat sepak bola kita telah lebih dulu populer ketimbang tiga negara di atas, bukan begitu?
Author: Fajar Martha (@fjrmrt)
Esais dan narablog Arsenal FC di indocannon.wordpress.com