Kolom

Maaf Nike, Tapi Musim Ini Milik Adidas

Stade de France, 10 Juli 2016, bukan hanya jadi saksi kejayaan Portugal di tanah Prancis, tetapi juga menandai all-Nike final. Pada partai puncak Piala Eropa 2016 itu, baik Portugal maupun Prancis menggunakan jersey yang disponsori Nike. Capaian ini seakan jadi pembalasan dendam atas rivalnya, Adidas.

Pada turnamen akbar sebelumnya, Piala Dunia 2014, Nike seakan tak dapat panggung setelah dua wakilnya yang sempat diunggulkan, Brasil dan Belanda, kalah di semifinal oleh duo Adidas, Argentina dan sang juara, Jerman. Sayangnya keunggulan Nike tak lama. Hampir setahun setelah final Euro 2016, keadaannya kembali berbalik.

Produsen perlengkapan olahraga asal Amerika Serikat itu tak kuasa menahan hegemoni rival utamanya, Adidas, di berbagai liga di Eropa yang bisa dibilang kiblatnya sepak bola dunia. Tim-tim yang disponsori Adidas keluar sebagai juara di hampir lima liga besar benua biru.

Di Liga Primer Inggris, Chelsea sukses memberikan hadiah perpisahan istimewa dengan Adidas. Sementara di Italia, hegemoni Juventus belum terbantahkan. Kebangkitan dialami Real Madrid pada ajang La Liga Spanyol. Bayern Muenchen, meski sempat diganggu representasi anyar Nike di Jerman, RasenBallsport Leipzig, tetap bisa jadi juara Bundesliga 1.

Eredivisie malah mementaskan pertarungan sengit duo Adidas di puncak klasemen, Feyenoord Rotterdam dan AFC Ajax hingga speelronde terakhir. Di beberapa liga minor macam Superlig Turki hingga Primeira Portugal pun, Adidas jadi pemimpinnya, masing-masing lewat Besiktas dan Benfica. Keunggulan Nike praktis hanya terjadi di Ligue 1 di mana langganan juara, Paris Saint-Germain (PSG), dikandaskan AS Monaco.

Sementara itu ‘kekalahan’ paling menyakitkan Nike pada musim ini bisa jadi dialami andalannya, Barcelona. Sebagai tim dengan nilai sponsor kostum tertinggi sejagat dengan kontrak lebih dari 100 juta euro per tahun, Blaugrana gagal merengkuh trofi La Liga dan Liga Champions di tangan tim yang didukung Adidas. Padahal musim lalu, Neymar dan kawan-kawan jadi ujung tombak perusahaan asal Oregon itu di konstelasi sepak bola Eropa.

Di La Liga, Blaugrana dipastikan gagal mempertahankan trofi usai rival utamanya sekaligus tim yang disponsori Adidas, Real Madrid, menang di jornada pamungkas kontra Malaga, akhir pekan lalu. Sementara di Liga Champions Eropa, Barcelona yang sempat melakukan comeback sensasional atas PSG, disingkirkan Juventus.

I Bianconeri sendiri terus menancapkan hegemoninya di sepak bola Italia dengan merengkuh Scudetto keenamnya secara beruntun. Kedigdayaan Gianluigi Buffon cs diwarnai dengan transisi sponsor kostum per musim panas 2015 itu. Sadar akan potensi dominasi Juventus, Adidas berani menggelontorkan dana 139,5 juta euro atau Rp1,2 triliun, sekaligus menggantikan posisi Nike.

Brand yang identik dengan logo swoosh itu masih belum bisa kembali berjaya di Negeri Pizza mengingat dua tim besar yang disponsorinya, AS Roma dan Internazionale Milano, tak jua bangkit ke permukaan. Juventus, bersama Adidas, bahkan kini bersiap naik ke tingkatan selanjutnya.

Adidas dipastikan jadi ‘raja’ kompetisi antarklub Eropa bahkan sebelum laga final dipentaskan. Pasalnya finalis di dua ajang terbesar, Liga Champions dan Liga Europa, semuanya disokong brand trigaris ini.

Di Liga Champions ada juara bertahan yang tengah mengincar gelar ke-12, Real Madrid kontra Juventus. Final ini seakan mengulangi apa yang terjadi di Piala Dunia 2014, kala itu dua wakil Adidas sama-sama melaju dengan mengalahkan tim yang disponsori Nike. Madrid sukses jungkalkan rival sekota, Atletico Madrid, sementara Juventus masih terlalu tangguh untuk Monaco.

Sementara itu pada partai puncak Liga Europa, ada Ajax yang akan menghadapi wakil Liga Primer, Manchester United. Pada ajang ini, semua semifinalis bahkan mengenakan kostum yang disuplai Adidas, mulai dari Ajax dan United, hingga Olympique Lyon dan Celta Vigo. Trofi Liga Europa bisa jadi awal pembuktian nilai kontrak United bersama Adidas.

Red Devils yang menempati urutan kedua daftar tim dengan nilai kontrak sponsor kostum tertinggi memang awalnya dijagokan untuk kembali merajai tanah Inggris lewat kombinasi manajer Jose Mourinho dan sentuhan midas Zlatan Ibrahimovic. Meski akhirnya United menempati urutan keenam, Adidas tetap bisa tersenyum.

Hal ini mengingat Chelsea juga masih mengenakan kostum dengan aksen tiga garis di sisi kostumnya. Adidas menggantkan posisi PUMA yang musim lalu bersama Leicester City secara mengejutkan keluar sebagai juara. Terlepas dari semua ini, bukan berarti Nike sudah kehilangan tajinya di tim-tim juara. Di luar Eropa, swoosh bersama Australia menjadi juara Piala Asia 2015, dan pada Copa America Centenario 2016, merengkuh kesuksesan pertama bareng timnas Cile.

Kedua negara ini, plus Portugal dan Selandia Baru, bakal jadi andalan Nike pada ajang Piala Konfederasi 2017. Nike jadi penyumbang wakil terbanyak dengan empat tim nasional yang disponsorinya, berbanding tiga oleh Adidas, berkat kehadiran Jerman, Rusia, dan Meksiko, sementara sisanya PUMA lewat Kamerun.

Mampukah Nike memanfaatkan Piala Konfederasi 2017 sebagai ajang kebangkitan tim yang disponsorinya? Atau Adidas yang kembali menghantui musim mereka?

Author: Perdana Nugroho
Penulis bisa ditemui di akun Twitter @harnugroho