Remuk redam di bawah asuhan Steve McClaren membuat manajemen Newcastle United pusing tujuh keliling saat mengarungi Liga Primer Inggris musim 2015/2016 kemarin. Alih-alih jadi salah satu tim yang punya potensi untuk bersaing memperebutkan tiket ke Eropa, Newcastle malah terpuruk di papan bawah klasemen. Padahal, manajemen telah menghabiskan dana hampir 82 juta paun guna memboyong pemain-pemain anyar.
Takut jika Newcastle akan terdegradasi, pihak manajemen pun lantas menyingkirkan McClaren. Eks pelatih Valencia, Liverpool, Internazionale Milano dan Chelsea asal Spanyol yang punya curriculum vitae bagus, Rafael Benitez, didapuk sebagai pengganti. Rafa jelas dibebani target untuk membawa The Magpies lolos dari degradasi.
Sayang, upaya tersebut gagal karena Aleksandar Mitrovic dan kawan-kawan cuma mengoleksi 37 angka di akhir musim, berselisih dua poin dari Sunderland yang finis di posisi ke-17 (batas aman dari jerat relegasi). Kenyataan tersebut membuat pipi suporter setia Newcastle dibanjiri air mata.
Beruntung, Rafa yang telah dikontrak selama tiga musim memilih untuk bertahan di Stadion St. James Park. Namun nahas, beberapa penggawa andalan The Magpies yang tak berkenan merumput di Divisi Championship memilih untuk hijrah. Sebut saja Papiss Cisse, Daryl Janmaat, Moussa Sissoko dan Georginio Wijnaldum.
Akan tetapi, penjualan mereka juga mendatangkan nominal yang cukup signifikan buat Newcastle (sekitar 65 juta paun). Dana gemuk tersebut lantas diinvestasikan untuk nama-nama baru semisal Ciaran Clark, Dwight Gayle, Grant Hanley dan Matt Ritchie yang menghabiskan kocek sebesar 32,5 juta paun.
Berbekal nama-nama baru itu plus sejumlah penggawa lawas yang memilih bertahan (Jack Colback, Yoan Gouffran, Jamaal Lascelles, Mitrovic dan Jonjo Shelvey), Rafa bertekad untuk mengembalikan Newcastle ke Liga Primer Inggris secepatnya.
Namun sepasang kekalahan yang diderita The Magpies dalam dua partai perdana di Divisi Championship membuat publik mencibir ambisi Rafa tersebut. Sebagai pelatih kelas dunia, kemampuan dan pengalaman Rafa pun sukses membuat anak asuhnya bangkit di laga-laga berikutnya.
Ditopang ketajaman Gayle dan Ritchie, Newcastle bahkan sempat mencatat delapan kemenangan beruntun (pekan ke-10 hingga pekan ke-17) sehingga mengatrol posisi mereka ke puncak klasemen.
Walau begitu, jalan The Magpies untuk promosi ke Liga Primer Inggris tak benar-benar mulus lantaran sempat diterpa hasil-hasil minor karena tumbang atau seri melawan klub-klub yang di atas kertas bisa dibekuk. Apalagi Brighton Hove & Albion dan Huddersfield Town muncul sebagai kesebelasan yang konsisten mengancam The Magpies dalam memperebutkan sepasang tiket promosi otomatis ke Liga Primer Inggris.
Sampai pekan ke-42 alias hanya menyisakan empat partai lagi, tim yang berdiri pada 9 Desember 1892 ini nangkring di posisi kedua klasemen sementara dengan koleksi 85 angka. Tertinggal empat poin dari Brighton dan hanya berjarak delapan angka dari Huddersfield yang membuntuti di tempat ketiga (namun masih belum memainkan laga pekan ke-42 saat tulisan ini dibuat).
Sialnya, performa Mitrovic dan kawan-kawan kembali menurun di dua partai terakhir meski kondisi semakin terasa genting. Secara tak terduga mereka keok di tangan Sheffield Wednesday dan hanya mengais satu poin tatkala bersua Leeds United. Bila tak segera kembali ke jalur kemenangan, bukan tak mungkin Newcastle justru akan terlempar dari dua besar dan mesti ikut babak play-off.
Jalan yang seharusnya mudah, mendadak menjadi terasa terjal bagi Rafa dan Newcastle.
Author: Budi Windekind (@Windekind_Budi)
Interista gaek yang tak hanya menggemari sepak bola tapi juga american football, balap, basket hingga gulat profesional