Di era 1980-an hingga 1990-an, Liga Italia Serie A merupakan kompetisi paling mentereng di penjuru Bumi. Ada banyak faktor mengapa ketika itu Serie A menjadi primadona. Salah satunya adalah membludaknya bintang-bintang sepak bola kelas wahid yang bermain di kesebelasan-kesebelasan Serie A.
Penggemar sepak bola tentu takkan lupa soal trio Belanda (Ruud Gullit-Frank Rijkaard-Marco Van Basten) yang jadi tulang punggung di AC Milan. Pun begitu dengan triumvirat asal Jerman (Andreas Brehme-Juergen Klinsmann-Lothar Matthaeus) yang membela panji rival sekota, Internazionale Milano.
Lalu ada juga Diego Armando Maradona yang melegenda bersama Napoli serta barisan pemain papan atas asal Italia semisal Roberto Baggio, Roberto Mancini, Gianluca Pagliuca, Salvatore Schillaci sampai Gianluca Vialli yang tersebar di beberapa tim lain seperti Fiorentina, Juventus dan Sampdoria.
Membicarakan era keemasan Serie A di periode tersebut rasanya takkan afdol bila tidak membahas soal Maradona dan Napoli. Kehadiran sosok fenomenal tersebut sanggup mengubah peruntungan I Partenopei, julukan Napoli, dari klub semenjana jadi salah satu kekuatan yang mesti disegani.
Setidaknya ada lima titel yang berhasil didapat klub dari selatan Italia tersebut semasa dibela Maradona. Kelima gelar itu antara lain dua buah Scudetto (1986/1987 dan 1989/1990) serta masing-masing satu trofi Piala Italia (1986/1987), Piala Super Italia (1990) dan Piala UEFA (1988/1989).
Ironisnya, usai kepergian Maradona ke Sevilla di musim panas 1992 setelah menjalani sanksi larangan bermain selama 15 bulan akibat kedapatan mengonsumsi kokain, Napoli seolah kehilangan arah. Alhasil, prestasi klub pun ikut melorot dan perlahan-lahan jadi salah satu klub yoyo alias gemar naik turun divisi.
Lebih nahas lagi, di tahun 2004 Napoli dinyatakan bangkrut akibat tak mampu melunasi utangnya yang menggunung. Konon, utang tersebut jumlahnya mencapai ratusan juta euro. Hingga akhirnya, sosok produser film kenamaan asal Roma, Aurelio De Laurentiis, mengambil alih kendali kesebelasan yang berkandang di Stadion San Paolo ini.
Sejak saat itu, pelan tapi pasti, Napoli berhasil merangkak naik sekaligus mengembalikan statusnya jadi salah satu tim yang perlu diperhatikan. Dan musim 2007/2008 jadi momen di mana I Partenopei bisa kembali mencicipi nikmatnya berlaga di Serie A setelah absen kurang lebih selama lima musim.
Menyadari bahwa Serie A takkan semudah Serie B atau Serie C (kini Lega Pro), De Laurentiis memberi suntikan dana yang cukup besar untuk membenahi skuat agar semakin kompetitif. Salah satu nama yang didatangkan presiden yang kerap disapa ADL itu adalah gelandang asal Slowakia kepunyaan Brescia, Marek Hamsik.
Harga yang mesti dibayarkan manajemen I Partenopei demi mengamankan jasa Hamsik ketika itu terbilang sangat murah, hanya 5,5 juta euro. Luar biasanya, performa Hamsik berseragam Napoli di musim perdana pun begitu memukau. Walau berposisi sebagai gelandang, dirinya menjadi top skor klub di kancah Serie A dengan 9 gol, unggul satu gol dari Ezequiel Lavezzi dan Marcelo Zalayeta, duo penyerang andalan Napoli saat itu. Amat sangat wajar bila ADL merasa investasinya terhadap Hamsik sama sekali tidak salah.
Dan seiring waktu, Hamsik pun semakin memperkokoh statusnya sebagai pilar di skuat Napoli. Sosoknya seolah tak tergantikan walau ada beberapa pergantian pelatih yang terjadi. Mulai dari Edoardo Reja, Roberto Donadoni, Walter Mazzarri, Rafael Benitez sampai kini ditangani oleh Maurizio Sarri.
Buktinya, kelima juru taktik tersebut selalu memberi satu tempat di sektor tengah I Partenopei kepada figur yang mudah dikenali saat bertanding karena rambut mohawk-nya itu. Hal ini terbilang lumrah karena Hamsik memang salah satu gelandang yang punya kemampuan sangat komplet sehingga bisa dimanfaatkan oleh para pelatih dalam berbagai skema permainan yang mereka usung.
Hamsik bisa bermain lebih dalam, dekat dengan sektor pertahanan untuk menginisiasi serangan dari bawah. Di lain kesempatan, Hamsik pun bisa beroperasi lebih ke depan alias berdiri tepat di belakang penyerang guna mengacak-acak pertahanan lawan sekaligus memanfaatkan bola pantul yang disediakan penghuni lini depan guna mencetak gol.
Teruntuk posisi yang saya jelaskan belakangan, Hamsik sendiri menyebut bahwa pos gelandang serang merupakan posisi favoritnya. Saat bermain di posisi ini juga, tak jarang ada gol-gol yang berhasil dibukukannya. Terlebih, mayoritas gol yang lahir dari Hamsik kerap dibuat dengan cara yang tak biasa, utamanya tendangan keras atau melengkung dari luar kotak penalti.
Bicara tentang gol, Hamsik sendiri kini duduk sebagai pencetak gol terbanyak kedua di sepanjang sejarah klub dengan torehan 111 gol, cuma berselisih empat gol saja dari koleksi Diego Maradona. Angka tersebut jelas fantastis mengingat posisi Hamsik yang ‘hanya’ seorang gelandang. Namun di sisi lain, torehan tersebut menunjukkan bahwa kualitas pemain yang memiliki koleksi 95 caps dan 20 gol bagi timnas Slowakia ini memang brilian.
Aksi-aksi ciamik pria yang jadi kapten tim sejak musim 2013/2014 ini juga yang punya peran signifikan buat sepasang gelar Piala Italia yang sukses diboyong Napoli pada musim 2011/2012 dan 2013/2014 kemarin. Keberadaan Hamsik pun turut memberi sumbangsih atas konsistensi Napoli beredar di papan atas Serie A selama beberapa musim terakhir.
Saat usianya yang masih 29 tahun, Hamsik sudah berdiri di peringkat ketiga soal jumlah penampilan terbanyak berseragam Napoli. Berdasarkan data yang dihimpun via transfermarkt.co.uk., selama satu dekade mengenakan seragam biru khas I Partenopei, Hamsik telah bermain sebanyak 443 kali di semua ajang. Jumlah itu hanya kalah dari Giuseppe Bruscolotti dan Antonio Juliano yang beriringan ada di posisi satu dan dua pesepak bola yang paling banyak bermain untuk Napoli dengan catatan masing-masing 511 dan 505 pertandingan.
Asalkan tak dicomot klub lain seperti beberapa kompatriotnya (Edinson Cavani, Manolo Gabbiadini, Gonzalo Higuain dan Lavezzi), Hamsik yang masih memiliki kontrak dengan Napoli sampai musim panas 2020 mendatang tentu punya kans untuk menempatkan dirinya sebagai legenda baru Napoli.
Memecahkan rekor gol Maradona tentu bukan perkara sulit buat Hamsik yang memang cukup beringas dalam urusan menjebol gawang lawan. Pun begitu dengan rekor penampilan Bruscolotti yang telah bertahan selama tiga dekade terakhir, bila tak ada gangguan cedera tentu mudah saja bagi Hamsik untuk melewatinya.
Saya sendiri yakin bila rekor gol Maradona bisa dilangkahi Hamsik musim ini walau Serie A hanya tersisa delapan pekan saja. Bagi Hamsik sendiri catatan impresif tersebut bisa menjadi motivasi tersendiri selain membawa klub yang dibelanya memetik kemenangan agar lolos ke Liga Champions musim depan. Dan jika hal tersebut sukses dilakukannya, amat pantas rasanya jika tifosi Napoli menyambut Hamsik sebagai raja dan legenda baru mereka.
Author: Budi Windekind (@Windekind_Budi)
Interista gaek yang tak hanya menggemari sepak bola tapi juga american football, balap, basket hingga gulat profesional