Setelannya necis, sama seperti kala dia berada di pinggir lapangan ketika menemani anak-anak asuhannya. Di antara pembicara diskusi, pelatih berusia muda ini bergaya laiknya eksekutif muda: kemeja slim-fit berwarna putih, dengan celana bahan berwarna hitam yang menyelaraskan sepatu pantofel. Rambutnya yang tipis ia sisir ke belakang, tanpa lupa ia minyaki.
Muda, klimis dan necis. Itu kesan yang tampak jika kita hanya melihatnya sekilas. Kesan yang langsung berubah ketika kita mendengarnya berbicara. Lugas tak berbelit. Kedua matanya menatap lawan bicara dengan yakin, namun tetap memberi kesan bersahabat. Sosok ini bernama Ricky Nelson, pelatih U-21 Pusamania Borneo FC (PBFC) yang pada Piala Presiden 2017 membawa skuat B Pesut Etam ke partai puncak.
Sore itu Ricky hadir di Jakarta dalam rangka menjadi salah satu pemateri seminar yang membahas filosofi permainan Luis Milla. Ia menjadi salah satu pemateri selain Danurwindo (direktur teknik PSSI) dan Noval Aziz (peneliti taktik Kickoff Indonesia dan pelatih FC UNY).
Di seminar yang diselenggarakan atas kerjasama Bola.com dan Kick-Off Indonesia ini, saya mencuri waktunya untuk mengadakan wawancara singkat dengan pelatih yang memiliki lisensi DFB dan AFC ini.
Pandangannya tentang sepak bola
Saat tiba gilirannya untuk memaparkan materi, saya menjadi sadar bahwa pria ini memiliki pengetahuan yang luas, serta tidak gagap dengan perkembangan taktik terkini.
Dengan tegas Ricky berkata ke hadirin bahwa tipe penyerang klasik, poacher yang hanya berkenan menunggu bola harus disingkirkan dari permainan saat ini. Penyerang PBFC di Piala Presiden lalu pun ia pakai karena mau mengikuti instruksinya, yaitu membantu tim dalam melakukan pertahanan.
“Sepak bola sebenarnya hanya soal (perimbangan) jumlah pemain. Sepuluh pemain (ofensif) akan mengungguli sembilan pemain (defensif) lawan,” kata Ricky yang menjawab pertanyaan salah satu peserta seminar.
Ricky juga membedah secara ringkas permainan timnas saat menghadapi Myanmar. Ia membaginya menjadi tiga fase, yaitu build-up play, finishing phase, dan defending line. Meski takluk, catatan positif dari Ricky di pertandingan tersebut adalah timnas sudah memiliki opsi jitu dalam hal transisi permainan, lewat kecepatan Febri Hariyadi di sayap kanan.
Dua hari sebelumnya, saya berjanjian dengan coach Ricky, yang ia sanggupi tanpa keraguan secuil pun. Kesan mudah dijangkau, meski bergaya parlente, makin gamblang selesai acara. Peserta yang berebut meminta foto bersamanya ia ladeni dengan penuh senyum. Sesekali ia menepuk pundak mereka sambil bertanya beberapa hal. Ada pula beberapa rekan wartawan atau kolega seprofesi yang bertanya kabar. Semuanya ia ladeni dengan hangat dan terbuka.
Awalnya saya sedikit ragu. Bisa saja jadwalnya menjadi padat dan tiba-tiba membatalkan wawancara. Terlebih saat itu ia kerap meladeni lawan bicara dengan kalimat seperti ‘nanti kita bicarakan lagi, ya’, yang saya tafsirkan bahwa ia akan sibuk.
Ketakutan saya tidak terwujud. Saya hanya menegurnya sedikit, dan ia langsung teringat dengan janji yang ia berikan lewat SMS.
Antusiasmenya masih tinggi. Padahal ia baru saja melakukan kegiatan serius selama sekitar tiga jam. Ia seolah-olah memberi gesture ‘beri saya pertanyaan tersulit, akan saya ladeni’. Di antara orang-orang yang berkerumun, kami pun melangsungkan wawancara.
Football Tribe (FT): Mendengar nama Ricky Nelson, maka yang terbayang adalah sosok keras kepala yang ngotot memakai jas di bibir lapangan, tak peduli iklim tropis Indonesia. Saya membayangkan diri Anda sebagai seorang idealis. Apa benar demikian?
Ricky Nelson (RN): Saya lebih suka menyebutnya sebagai konsep. Konsep menyeluruh yang harus memperhatikan setiap detail. Ini memang hal kecil, tapi saya perluas ke hal-hal teknis saat menangani tim saya. Contohnya, mungkin saya adalah pelatih yang paling banyak melakukan team meeting. Para pemain saya mengakui hal tersebut. Dengan memakai jas, saya ingin memberi kesan bahwa kita nggak bisa nyepelein hal kecil.
FT: Bagaimana sebenarnya filosofi sepak bola Anda?
RN: Menang (sambil tersenyum lebar). Kemenangan adalah filosofi saya. Dengan begitu, saya bisa leluasa memakai berbagai pendekatan, tergantung lawan yang saya hadapi.
FT: Anda tidak peduli dengan sepak bola Indah?
RN: Bagi saya dengan kemenangan, suporter akan senang, tak peduli bagaimana gaya bermain timnya. Apalagi jika sampai juara. Sepak bola dimainkan dengan tiga tujuan, menang, kalah, atau seri. Begitu, bukan? Pada akhirnya, kemenangan akan membuat semua orang senang. Ketika menang, apapun menjadi indah!
FT: Sebelum takluk atas Arema di partai final, tim yang Anda besut tampil dengan pertahanan yang begitu baik. Apa pertahanan memang menjadi fokus Anda?
RN: Sebenarnya nggak juga. Yang saya inginkan adalah bagaimana anak-anak mampu bermain sebagai organisasi..
FT: Sebagai kolektif?
RN: Iya, secara kolektif. Saya akui, kekalahan telak tersebut menjadi antiklimaks. Salah perkiraan saya. Semuanya kembali lagi ke konsep, termasuk intensitas team meeting itu.
Prospek bersama PBFC
Selain Ricky, owner PBFC juga berusia muda. Sangat muda bahkan. Sosok tersebut bernama Nabil Husein, yang berangkat dari posisi sebagai penggemar tim yang juga bernama Borneo FC tersebut. Coach Ricky mengaku bahwa faktor pemilik yang berusia muda turut memudahkannya dalam menjalankan amanat sebagai pelatih U-21.
FT: Bagaimana Anda bisa menjadi pelatih U-21 PBFC?
RN: Sebelumnya saya melamar ke Sriwijaya FC, banyak juga tim Liga 2 yang meminati saya. Bahkan, tatkala saya telah resmi menjadi milik PBFC, pihak Persija menawari saya untuk menjadi asisten pelatih (Stefano ‘Teco’ Cugurra).
FT: Bagaimana prospek dan proyeksi tim senior dan junior PBFC?
RN: Peringkat tiga liga musim ini. Sehingga nantinya kita bisa berlaga di Piala Champions Asia. Oleh karena itu pula saya ditugasi menjadi pelatih U-21, karena syarat dari AFC untuk tim yang berlaga adalah wajib memiliki skuat akademi. Saya merasa tertantang. Selain sarana latihan, kami juga serius mencari bakat-bakat sepak bola dari seluruh daerah di Indonesia.
FT: Apa pendapat Anda tentang keberadaan putra daerah di suatu klub?
RN: Penting, sebagai stimulus bagi antusiasme suporter. Tetapi tidak menjadi nomor satu. Maksudnya, kalau ada ya syukur, tidak ada ya tak menjadi masalah. Di Kalimantan ini sulit mencari pemain bola. Makanya seperti yang saya bilang tadi, kami berencana menyebar talent scout di berbagai daerah, yang dipantau dengan baik. Nantinya akan kami seleksi kembali di Kalimantan. Ini belum resmi, sih, ya. Baru Juli nanti kami mau mengadakan pertemuan dengan para scout tersebut. Saya nggak mau kalau nggak ada kumpul, supaya visinya juga selaras.
FT: PSSI seperti memaksakan Liga 2 untuk memakai pemain muda, tetapi kompetisi reguler untuk U-21 pun belum jelas akan seperti apa. Bagaimana Anda menyiasatinya jika kompetisi reguler U-21 atau U-19 tidak ada?
RN: Solusi untuk mengisi kekosongan tersebut ya bikin kompetisi sendiri. Meski sangat disayangkan ya, jika nggak ada. Karena turnamen tentu beda dengan format liga.
FT: Lalu nantinya?
RN: Kami di PBFC jelas akan memanfaatkan U-21 dengan maksimal. Jika tidak bisa mengisi skuat utama, ya kami akan mencari cara agar satu pemain bisa kami jual..
FT: Sudah sampai seperti itu?
RN: Oh, jelas. Itu pula yang saya suka dari kepemimpinan Nabil, meski tentu saja ada pula kekurangan yang saya pikir bisa diperbaiki.
FT: Sebentar, coach, ini boleh saya tulis?
RN: Ya boleh, dong! (tertawa). Kelebihan dari sosok muda seperti beliau ya terciptanya kultur manajemen yang cair. Saya bisa menemuinya dengan mudah. Apa lagi dia berangkat dari fans kan ya. Saya bisa meminta sesuatu kepada dia tanpa proses yang berbelit. Berbeda dengan klub-klub bekas perserikatan, yang birokrat banget. Direksi pun jarang bisa ditemui. Kekurangannya, beliau sosok yang moody. Mungkin karena secara emosional dia masih muda kan. Dia baru empat tahun membawahi PBFC. Dan itu sudah kita kemukakan juga ke dia. Cair, lah.
FT: Ah, senang sekali bisa berbincang lama dengan Anda. Sebagai orang yang menangani pemain-pemain muda, apa pesan Anda untuk mereka?
RN: Bermainlah dengan otak. Pemain zaman sekarang harus pintar atau cerdas. Dulu tuh ada ungkapan kalau kamu nggak pintar tapi punya bakat (bermain bola), kamu kejar karier di sepak bola. Sekarang itu sudah nggak berlaku lagi. Jadilah pemain yang cerdas!
***
Saya membenahi perangkat yang saya bawa. Selepas saya wawancara, coach Ricky langsung dihampiri seseorang yang lantas mengajaknya berbincang. Dalam hati, saya merasa PBFC harus bangga telah memiliki sosoknya sebagai pelatih U-21.
Maju terus, coach!
Author: Fajar Martha
Esais dan narablog Arsenal FC di indocannon.wordpress.com