Raut wajah kecewa tak bisa disembunyikan Pep Guardiola begitu mendengar wasit asal Italia, Gianluca Rocchi, meniup peluit panjang tanda usainya partai second leg di babak 16 besar Liga Champions 2016/2017 yang mempertemukan klub asuhannya, Manchester City, dengan wakil Prancis, AS Monaco (16/3). Langkah kakinya menuju ruang ganti pun terlihat gontai.
Papan skor di stadion Louis II petang itu menampilkan skor akhir 3-1 bagi kemenangan Monaco. Hasil tersebut membuat agregat kedua tim sama kuat, 6-6 (first leg berakhir dengan kedudukan 5-3 bagi keunggulan The Citizens). Akan tetapi David Silva dan kawan-kawan mesti angkat koper dari kejuaraan antarklub paling bergengsi di benua biru itu akibat kalah agresivitas gol tandang.
Padahal, banyak kalangan yang menyebut apabila kekuatan kubu Manchester biru masih satu level di atas Monaco asuhan Leonardo Jardim. Sehingga prediksi awal pun menyebut jika The Citizens takkan kesulitan mengangkangi Les Monegasques. Lalu, apakah keberhasilan Monaco kemarin adalah kebetulan belaka? Jangan buru-buru menganggukkan kepala.
Setelah diakuisisi oleh miliuner asal Rusia, Dmitry Rybolovlev, pada tahun 2011 kemarin, Monaco yang tengah terpuruk akibat krisis finansial akut mulai bermetamorfosis. Sang taipan industri kimia tersebut mempunyai visi mengembalikan status Monaco sebagai salah satu raksasa di kancah sepak bola negeri anggur.
Dalam konstelasi sepak bola Prancis, Monaco merupakan satu dari sedikit klub yang bergelimang kesuksesan lewat koleksi tujuh gelar juara Ligue 1, lima gelar Piala Prancis, satu gelar Piala Liga dan bahkan pernah menjadi runner-up di ajang Liga Champions musim 2003/2004 silam.
Bermodal fulus melimpah milik Rybolovlev, Monaco terus mempercantik diri. Termasuk menghabiskan dana hingga 140 juta euro pada musim panas 2013 yang lalu usai promosi ke Ligue 1. Sejak saat itu pula, Les Monegasques amat konsisten beredar di papan atas Ligue 1, tak pernah keluar dari tiga besar, walau belum sanggup menyaingi kedigdayaan klub ibu kota, Paris Saint-Germain (PSG) yang selalu keluar sebagai juara.
Namun seiring berjalannya waktu, Rybolovlev seakan sadar bila terus menggelontorkan uang ekstra demi mendatangkan pemain-pemain bintang adalah cara yang salah. Monaco tak perlu meniru langkah PSG yang setiap tahun menghamburkan dana puluhan bahkan ratusan juta euro demi membangun sebuah tim super. Gaya seperti itu justru akan membuat kondisi keuangan Les Monegasques kembali kolaps seperti yang terjadi kala Rybolovlev belum mengambil saham Monaco.
Situasi tersebut akhirnya membuat manajemen Monaco mencari metode alternatif. Terlebih dibanding seluruh tim yang berlaga di Ligue 1, pemasukan yang didapat Los Monegasques dari setiap laga kandang terbilang minim akibat rataan penonton yang rutin mengunjungi stadion Louis II cukup rendah, hanya 9.000 orang dari kapasitas stadion yang mencapai 16.500 bangku.
Hingga akhirnya, sebuah kebijakan baru diambil pihak manajemen. Mereka yakin bahwa membeli pemain-pemain muda dengan harga miring dan mempromosikan bibit-bibit potensial jebolan akademi merupakan opsi terbaik tanpa mengorbankan sisi kompetitif skuat ini secara umum.
Benar saja, mulai musim panas 2014 manajemen Monaco tak lagi mengirim cek dengan nominal gemuk buat membeli pemain. Sasaran mereka pun beralih dari pemain bintang kepada sosok-sosok muda potensial dan belum dikenal khalayak luas semisal Tiemoue Bakayoko (dari Rennes), Gabriel Boschilia (Sao Paulo), Fabinho (Rio Ave), Thomas Lemar (Caen), Benjamin Mendy (Marseille), Djibril Sidibe (Lille) dan Bernardo Silva (Benfica).
Sementara sektor akademi meluluskan Irvin Cardona (top skor klub di ajang UEFA Youth League), Abdou Diallo, Kylian Mbappe, Kevin N’Doram dan Almamy Toure. Nama-nama tersebut, utamanya Mbappe, bahkan cukup sering diturunkan oleh pelatih Les Monegasques asal Portugal, Leonardo Jardim, untuk merumput di musim 2016/2017 kali ini.
Sedikit trivia, akademi Monaco sendiri tergolong handal dalam menelurkan maupun mengasah bakat-bakat muda yang di kemudian hari jadi rebutan klub-klub mapan di penjuru Eropa. Gael Givet, Thierry Henry, Layvin Kurzawa, Emmanuel Petit, Claude Puel dan Lilian Thuram adalah beberapa contoh nyatanya.
Kolumnis asal Prancis, Mohamed Mohamed, dalam review-nya di statsbomb.com juga meyakini jika Lemar dan Mbappe adalah dua penggawa muda yang akan bersinar terang di musim ini.
Banyaknya penggawa belia yang ada di skuat utama Monaco juga membuat rataan usia tim besutan Jardim berada pada komposisi yang ideal. Berdasarkan data yang dihimpun dari transfermarkt.co.uk., skuat Los Monegasques musim ini memiliki rataan umur 25,2 tahun.
Berbekal pemain-pemain muda inilah, Jardim kemudian meramu sebuah sistem permainan yang ciamik sehingga Monaco bisa terus bersaing. Baik di kompetisi lokal (Ligue 1, Piala Prancis dan Piala Liga) maupun regional sekelas Liga Champions. Hebatnya, di empat kompetisi tersebut Los Monegasques masih menyimpan asa untuk menjadi kampiun.
Dalam pola 4-4-2 kesukaannya, Jardim selalu mengandalkan Mendy dan Sidibe untuk menempati pos fullback kiri dan kanan di barisan belakang. Sementara Bakayoko dan Fabinho, bergantian dengan figur senior macam Joao Moutinho, didapuk sebagai dua gelandang tengah.
Lemar dan Silva yang punya agresivitas dan kecepatan ditempatkan sebagai gelandang sayap modern yang tak canggung untuk menusuk langsung ke kotak penalti. Dan di sektor depan, nama Mbappe selalu dipilih Jardim untuk menjadi satu dari tombak kembar Monaco, entah bersama Valere Germain atau Radamel Falcao.
Menit bermain yang cukup banyak diberikan oleh Jardim pada akhirnya membuat para penggawa belia tersebut punya kesempatan besar untuk terus mengembangkan kemampuan sekaligus menimba pengalaman. Kontribusi yang mereka tunjukkan musim ini bagi Les Monegasques adalah bukti sahih yang tak mungkin dibantah.
Apa yang diperlihatkan Monaco musim ini sepatutnya membuat banyak pihak mesti bercermin. Harus diakui, kualitas Liga Prancis secara umum masih berada di bawah Liga Inggris, Liga Italia, Liga Jerman maupun Liga Spanyol. Namun di tengah dominasi tim kaya yang gemar berfoya-foya dengan mencomot para bintang berharga fantastis, realitanya Monaco tetap bisa membangun skuat yang kompetitif dengan investasi murah meriah.
Performa yang ditampilkan Jardim dan skuat belianya sejauh ini sudah barang tentu menarik atensi banyak orang. Ada banyak klub berkocek tebal yang siap memboyong nama-nama potensial milik Monaco dengan banderol sepadan.
Namun saya pribadi berharap jika anak-anak muda itu tak buru-buru hijrah dari stadion Louis II supaya kesempatan bermain yang mereka dapatkan tak serta merta menyusut begitu mengenakan kostum kesebelasan yang lain. Entah bagaimana caranya, manajemen Monaco juga harus bisa menahan diri untuk tidak tergiur dengan fulus yang disodorkan tim-tim lain.
Siapa tahu, dengan mempertahankan mayoritas skuat mudanya ini untuk beberapa tahun ke depan, Monaco bakal sanggup mendongkel PSG yang tampak begitu nyaman merajai sepak bola Prancis dalam kurun empat musim terakhir.
Tak menutup kemungkinan juga bila nanti Monaco bisa kembali menghentak di kompetisi antarklub Eropa atau bahkan menjuarainya. Dan bisa saja dimulai dari musim ini, bukan?
Author: Budi Windekind (@Windekind_Budi)
Interista gaek yang tak hanya menggemari sepak bola tapi juga american football, balap, basket hingga gulat profesional