Ketika mencanangkan proyek Galacticos yang populer itu, Florentino Perez tentu tidak sekadar berjanji untuk memaniskan kampanyenya menuju kursi presiden Real Madrid belaka. Orang ini tahu bahwa untuk, setidaknya, menandingi Barcelona, si proletar Catalan, Madrid perlu memperkuat supremasi mereka di Spanyol dan di dunia.
Sejarah Real Madrid dan Barcelona di sepak bola Spanyol memang sudah terpatri kuat, tapi kontinuitas perlu dipikirkan sebagai cara terbaik untuk mempertahankan tradisi panjang itu dan membawanya menjadi supremasi global yang kuat.
Madrid dan Perez perlu kontinuitas itu untuk tetap mempertahankan citra Madrid sebagai aristokrat ibu kota yang terhormat dan tentu saja, kaya raya. Galacticos jilid pertama akhirnya memenangkan Perez dan ia mewujudkan semua janjinya, bahkan, ia masih memimpin Madrid selama dua periode sampai saat ini. Anda penasaran kenapa? Karena orang Madrid tahu, mereka butuh proyek Galacticos sebagai simbol kekuatan besar mereka sebagai sebuah entitas. Bagi Madrid, ini bukan perkara brand image dan penjualan jersey belaka, ini soal hegemoni.
Walau terkesan gila, menjadi wajar rasanya kenapa tim ini membeli Ricardo Kaka dan Cristiano Ronaldo secara bersamaan pada tahun 2009. Kendati setahun sebelumnya, Eropa tengah mengalami resesi ekonomi parah yang membuat kolaps hampir sebagian besar ekonomi benua biru dan dunia. Dan puncaknya, tentu saja pembelian Gareth Bale dari Tottenham Hotspurs. Zinedine Zidane adalah alasan kenapa kebijakan transfer Madrid sedikit melunak dan mulai berjalan realistis. Tapi apapun itu, transfer Ronaldo dan Bale adalah simbol supremasi Madrid. Mereka menegaskan ke dunia, “Hello world, we are the king.”
Logika yang sama yang kemudian dilakukan Manchester United kala memulangkan kembali Paul Pogba awal musim ini dengan banderol hampir menembus angka 105 juta euro. United dalam lima tahun terakhir tidak berprestasi lebih baik di Eropa dibandingkan Arsenal. United juga hanya memenangkan satu Piala FA, satu Piala Liga dan satu Community Shield dalam tiga tahun terakhir.
Pembelian Pogba, berbeda dengan apa yang dilakukan Perez dan Madrid, adalah langkah awal untuk menggertak dunia bahwa mereka masih salah satu kesebelasan elite di dunia. “Kami punya uang dan kami masih tim besar, terlepas seburuk apapun pencapaian kami dalam beberapa tahun terakhir, kami masih tim elite Eropa”, kiranya itu yang ingin United sampaikan ke dunia dengan transfer Pogba.
Memang menimbulkan pro dan kontra. Menimbulkan polemik dan perdebatan. Tapi langkah United adalah alarm jelas, terutama untuk pesaing mereka di Liga Primer Inggris, bahwa tanpa prestasi signifikan sekalipun, mereka mampu mendatangkan seorang pemain kelas dunia dengan dana transfer yang luar biasa besar. Tentu ini soal brand image, juga soal jersey dan penjualannya, tapi dibalik itu semua, ini masalah gengsi dan supremasi. Sesederhana itu.
Dua contoh di atas yang akan menggiringmu ke paragraf ini dan apapun tim lokal yang kamu dukung di Indonesia, langkah Persib Bandung mendatangkan Michael Essien adalah berita yang harus kamu akui secara sadar, sangat mengejutkan publik sepak bola nasional kita.
Essien, kendati akan berusia 35 tahun pada tahun ini dan punya riwayat cedera yang panjang, ia sudah diakui dan diingat publik global sebagai salah satu gelandang tengah terbaik dunia di masanya. Tanpa mengurangi rasa hormat kepada Mario Kempes dan Roger Milla, nama Essien sedikit lebih populer dibanding keduanya.
Kempes adalah juara dunia sekaligus pemain terbaik Piala Dunia 1978, tapi kesebelasan populer yang pernah ia perkuat hanya Valencia. Milla pun kendati tampil cemerlang di Piala Dunia 1990 dan 1994, kariernya di klub hanya berputar di sekitar Prancis sebelum akhirnya pensiun di Pelita Jaya.
Essien, walau tak memenangkan Piala Dunia seperti Kempes, adalah gelandang tengah populer di generasi awal 2000-an. Generasi milenial seperti saya juga Anda yang berusia 20-an awal, tentu mengingat jelas siapa Essien. Bagaimana sepak terjangnya di Chelsea, kedekatan personalnya dengan Jose Mourinho, periode singkat kariernya di Real Madrid, hingga kapabilitas bermainnya yang luar biasa sebagai gelandang tengah. Statusnya sebagai eks pemain bintang di klub teras Eropa adalah salah satu nilai penting kenapa Persib Bandung mendatangkan mantan penggawa timnas Ghana ini.
Ada banyak tim klasik dengan tradisi kuat di Indonesia. Walau Persib adalah salah satu di antara tim dengan tradisi tersebut, upaya mendatangkan Essien adalah langkah maju yang dilakukan Persib untuk menunjukkan kepada tim lain tentang supremasi mereka. Seperti saya tulis di awal, ini bukan perkara brand atau penjualan jersey belaka. Ada simbol supremasi yang perlu ditunjukkan Persib untuk menunjukkan siapa tim nomor satu saat ini di Indonesia. Dan setidaknya, melihat respons publik dalam dua hari belakangan, kita tahu pasti upaya Persib sukses besar.
Persipura boleh mendominasi sepak bola nasional kita dengan banyak catatan gelar yang gemilang juga permainan yang bagus dan stabil. Persebaya mungkin mampu mencuri atensi masyarakat dengan kembalinya mereka usai tidur panjang akibat pembekuan dari PSSI. Dan Arema FC bebas saja melakukan konvoi juara mereka selepas Piala Presiden 2017. Tapi Persib seakan menutup semua pencapaian tim-tim tersebut dengan satu gerakan sederhana: mengontrak Michael Essien.
Selain menunjukkan supremasi Persib sebagai tim besar, langkah ini juga menunjukkan profesionalitas Persib perihal cara mereka mengurus finansial tim. Anda tidak akan mempertanyakan kapabilitas finansial sebuah tim lokal Indonesia yang mampu mengontrak pemain asing dengan nilai konon menyentuh angka 8,5 sampai 11 miliar setahunnya. Di tengah isu gaji yang telat untuk para pemain, ketidakjelasan nilai kontrak pemain, ketidakpastian kapan liga akan mulai digulirkan, Persib berani menggebrak dengan langkah signifikan yang mengejutkan.
Mendatangkan Essien mungkin tidak secara langsung membuat Persib menjadi juara ketika kelak liga mulai dijalankan. Dan ini faktanya: Manchester United masih tercecer di peringkat enam kendati mereka sukses mendatangkan Paul Pogba. Persib mungkin akan bernasib sama dengan United dan Essien akan dikritik sebagaimana publik Inggris mempertanyakan nilai transfer Pogba yang overpriced.
Tapi satu yang pasti, Persib sudah menunjukkan supremasinya. Di zaman modern ini, orang menaruh hormat pada supremasi. Meraih gelar memang membawa supremasi, tapi kalau kamu mampu meraih supremasi tertinggi tanpa meraih gelar, orang akan lebih merasa hormat dan takzim. Itulah kenapa Manchester United, kendati masih betah berada di peringkat enam, suporternya masih tetap banyak dan loyal.
Isidorus Rio – Editor Football Tribe Indonesia