“But now the biggest part is all about the image and not the art/ Fashion before passion!/ And at nights, it makes me mad that I should have to ask:/ What happened to the passion?” – “What Happened?” – H20
Di balik segala romantismenya (klub yang dijalankan dengan semangat kolektivisme, permainan cantik dari para pemain muda, fan culture yang penuh gelora) yang membuat kita cemburu, baru 12 tahun yang lalu Borussia Dortmund hampir menyatakan klub mereka bangkrut.
Jika keputusan itu diambil, Dortmund otomatis langsung nyusruk ke kompetisi amatir dan hikayat penuh inspirasi mereka tidak mungkin kita nikmati. Dengan bantuan suporter, pihak klub mampu meyakinkan mereka untuk berinvestasi di klub berseragam kuning-hitam ini, sambil memberitahu bahwa investasi tersebut bersifat jangka panjang.
Dortmund adalah manifestasi dan representasi paling sempurna bagaimana sepak bola Jerman bertransformasi secara radikal serta memikat banyak pihak. Tiap tahun, ada sekitar 1.000 turis Inggris yang datang ke Dortmund hanya demi merasakan atmosfir sepak bola khas Die Schwarzgelben.
Bagaimana mungkin orang-orang yang mengaku sebagai bangsa penemu sepak bola itu ‘melarikan diri’ ke Jerman? Tidak, Anda tidak salah baca. Fakta di atas membuat Inggris seperti dikalahkan Jerman berkali-kali: sering takluk di kancah sepak bola internasional, diajari mereka bagaimana mengelola klub, dan minggat dari Uni Eropa lewat referendum Brexit (Jerman adalah pemimpin Uni Eropa).
Anda mungkin telah membaca kisah tentang Dortmund dari berbagai sumber, saya pikir saya tidak perlu berpanjang kata lagi mengenai hal ini. Jika boleh berkesimpulan, Dortmund, beserta setiap entitas yang menyertainya, adalah pukulan telak bagi suatu ‘kepalsuan’ di industri sepak bola.
‘Passion before fashion!’ teriak Toby Morse dari unit hardcore New York, H20. Kita hidup di saat perbedaan antara kesejatian (profunduty) dan kepalsuan (shallowness) hanya berjarak setipis kondom. Gaya hidup membuat nilai-nilai yang dulu luhur dikooptasi korporat dan konsumen kalangan kelas menengah. Anda bisa menemukannya di berbagai sendi kehidupan yang Anda sukai, mulai dari musik, gaya hidup vegetarian, hingga sepak bola.
Dengan ini, sikap suporter Dortmund terhadap RB Leipzig bisa kita mafhumi. Bukan berarti saya mendukung beberapa tindak kekerasan yang mereka lakukan, tetapi mereka adalah garda terdepan pembela nilai-nilai sejati dan ‘tradisional’ sepak bola.
Di laga versus si musuh bersama, Dinding Kuning Dortmund mengerahkan seluruh kemampuannya memrovokasi tim tamu. Ada sebuah spanduk yang berbunyi, ‘bir itu passion, Red Bull cuma fashion’.
Ada pula yang menuntut Ralf Rangnick, direktur olah raga RB Leipzig, untuk gantung diri. Laga yang berlangsung pada 4 Februari 2017 tersebut akhirnya dimenangkan Dortmund dengan skor 1-0.
Kelakuan suporter Dortmund akhirnya membuat mereka dihukum otoritas sepak bola Jerman: Sudtribune tempat Yellow Wall biasa menonton harus kosong di laga melawan Wolfsburg. Mereka juga dikenai denda sebesar 100 ribu euro.
***
Roy Keane, gelandang karismatik Manchester United pernah mengeluarkan komentar kesohor. Ia merutuki sepinya Old Trafford kala Setan Merah menjamu Dynamo Kiev di tahun 2000:
“Di laga tandang, suporter kita fantastis, saya nilai mereka sebagai suporter hardcore. Tapi di kandang sendiri, mereka lebih asyik dengan minuman-minumannya, dan mungkin juga roti lapis, sehingga membuat mereka tidak memerhatikan apa yang terjadi di lapangan. Saya rasa beberapa orang yang datang ke Old Trafford tidak mampu mengeja kata ‘sepak bola’, apa lagi memahaminya.”
Tujuh belas tahun sejak komentarnya tersebut, atmosfir di Inggris bisa dikatakan tidak banyak berubah. Saya sering dongkol melihat suasana Emirates Stadium yang sehening perpustakaan. Buat apa datang ke stadion kalau hanya duduk manis, mulut dikunci rapat tak mau bernyanyi? What happened to the passion?
The Yellow Wall adalah buah dari kecermatan pihak manajemen dalam menjalankan klub. Suporter tidak boleh merasa dirinya sebatas konsumen. Harga tiket dan bir tidak boleh terlalu mahal. Per 2011, harga tiket musiman (season ticket) termurah Arsenal berada di angka 985 paun. Berapa harga yang harus Anda rogoh untuk menjadi pemegang tiket musiman di Dortmund? 160 paun. Ada jarak hampir 800 paun. Itu jarak signifikan.
Maka ketika mereka berhasil menggaet Jurgen Klopp, menjadi Deutscher Meister dua kali berturut-turut, serta tampil di final Liga Champions Eropa, semua itu seperti bonus belaka. Kejayaan tidak sebanding dengan rasa yang disemai tiap minggu. Ini soal rasa, bung dan nona!
Di kala Liga Primer Inggris masih memeragakan sepak bola yang gitu-gitu aja, lalu membajak Klopp, Shinji Kagawa, Henrikh Mkhitaryan, serta Ilkay Gundogan, Dortmund tetap berdaya lenting di segi kekuatan finansial dan, ini yang terpenting, ketepatan dalam merekrut wajah-wajah baru.
Thomas Tuchel, meski belum mampu menyamai Klopp, menjadi prospek terpanas belakangan ini. Namanya kerap masuk bursa pelatih calon penerus Arsene Wenger. Lalu di segi pemain-pemain baru: Ah, siapa yang tidak terpana melihat kemampuan Dortmund merekrut nama-nama muda dengan skill aduhai seperti Ousmane Dembele, Julian Weigl, atau Christian Pulisic?
Orang-orang di balik Dortmund bertanggungjawab kepada suporter, baik di segi permainan maupun kebijakan. Pelatih dan pemain datang silih berganti, namun yang tetap selalu ada kala Dortmund berlaga adalah mereka: warga kota yang mungkin hanya berprofesi sebagai pegawai rendahan, yang rela menyisihkan gaji demi bersukaria bersama Dortmund di akhir pekan.
Sementara di Inggris, pelatih dan para direktur teknik bertanggung jawab kepada valuasi klub dan prestasi finansial. Lihat betapa bahagianya mereka saat United berhasil menjalin kerjasama dengan Adidas. Sekarang, di saat posisi mereka tak beranjak juga ke empat besar, Adidas dengan selow mengancam akan mengurangi subsisi sebesar 25%. Kegagalan mentas di Liga Champions adalah sesuatu yang tidak bisa ditolerir.
Jika klub lebih peduli dengan sponsor ketimbang suporter, tidak aneh jika dukungan mereka di stadion menjadi seperti hubungan Rusia dengan Ukraina dewasa ini: beku.
Bastian Schweinsteiger kala berbaju Bayern Munchen pernah berkomentar bahwa dibanding skuat Dortmund, ia lebih takut kepada Yellow Wall. Klopp, saya membayangkan dia mengatakan ini sambil membelai-belai janggutnya, berkata bahwa saat kita memasuki Signal-Iduna dari ruang ganti, atmosfir yang diberikan Yellow Wall membuat kita seperti terlahir kembali.
Datang ke stadion bukan semata kunjungan untuk melepas rindu belaka. Di tribun selatan yang menampung 24.500 suporter inilah Yellow Wall bertransfigurasi menjadi arena peleburan identitas dan latar belakang sosio-ekonomi. Inilah tempat para suporter menjalin makna yang sama: bagian dari nama besar Borussia Dortmund, lalu mewujudkannya lewat aksi koregorafi memukau dan nyanyian tanpa henti.
Sementara di Chelsea, pihak klub harus menyediakan bendera plastik di tiap kursi hanya agar penonton mau mengibarkannya. Di Emirates Stadium, Arsenal harus menyewa jasa orang demi mau mengibarkan panji The Gunners, itu pun hanya saat mereka mencetak gol.
Oh, ironi! Kalau sudah begini, frasa ‘suporter plastik’ yang kerap mereka layangkan kepada para suporter layar kaca di Asia (seperti Anda dan saya) lebih pantas disematkan ke jidat mereka.
Kandang Dortmund yang bernama asli Westfalenstadion juga menjadi stadion yang paling banyak dikunjungi orang menurut laporan Sports Venues 2016. Total ada 1,36 juta orang yang memasuki stadion ini di musim 2014-15. Jumlah tersebut hanya kalah dari klub American football (NFL), Dallas Cowboys.
***
Setelah mengalahkan Leipzig awal bulan ini, performa Dortmund sedikit kendor. Mereka tidak dapat menang di tiga pertandingan terakhir di segala ajang kompetisi. Di Bundesliga, jarak mereka dengan Bayern Munchen terlampau jauh, sementara Hoffenheim membayangi dengan ketat.
Skuat Dortmund baru saja ditinggal bintang mereka, Mkhitaryan dan Mats Hummels. Wajar kiranya bila Tuchel agak kesulitan mengejar dominasi Die Roten.
Uniknya, para suporter di Sudtribune kerap mengoreksi kelemahan mereka di tiap laga. Bukan performa tim, tapi performa ‘skuat’ Yellow Wall dalam mendukung anak-anak Dortmund di stadion.
Menurut penuturan Uli Hesse kepada Goal.com, mereka memiliki pandangan bahwa yang mereka kerjakan di tribun harus sama kerasnya dengan para pemain di lapangan:
“Ketika saya berbicara dengan beberapa grup ultras untuk keperluan buku saya yang mengulas tentang fans mereka menoleh dan bilang: ‘Kita cukup baik di laga ini, kita tidak tampil bagus di laga itu. Kita harus kembangkan ini.’ Mereka berbicara tentang penampilan mereka (di tribun), bukan para pemain. Mereka memiliki sikap ‘Kita berkontribusi sama kerasnya dengan para pemain.’”
Jelas, laga melawan Wolfsburg tadi malam terasa aneh. Seaneh menyaksikan Donald Trump tanpa Anda merasa kesal. Ada yang mengganjal meski Signal-Iduna tetap riuh. Tidak ada gelora itu: lompatan para suporter beserta pernak-pernik mulai dari syal, bendera hingga banner yang menjadi ciri khas era baru Dortmund.
Di atas lapangan, Marco Reus dan kawan-kawan mampu menunaikan tugas dengan baik. Mereka berhasil menang tiga gol tanpa balas, yang membuat mereka unggul secara selisih gol dengan Hoffenheim. Ini bisa jadi pertanda baik untuk leg kedua melawan Benfica (mereka kalah 1-0), dan perempat final DFB Pokal.
Lalu ke mana perginya ke-24.500 suporter yang dilarang hadir?
Mereka memilih untuk mendukung tim Dortmund B yang berlaga di kompetisi Regionalliga, yang dijadwalkan bertandang ke klub Rot-Weiß Oberhausen. Mereka memang segila itu.
Namun sayang, hasrat mereka mendukung klub pujaan kembali terhambat. Bukan karena pemerintah daerah takut dengan kelakuan mereka. Kota tersebut sedang kedatangan tamu politik, PM Turki Binali Yildirim, yang sedang gencar mengampanyekan reformasi konstitusi Turki terkait semakin menggilanya Recep Erdogan. Politisi Turki memang sering berkampanye di Jerman, terkait banyaknya warga Turki yang menetap di sana.
Apapun itu, Yellow Wall akan terus menyertai Dortmund, selama klub dijalankan dengan sudut pandang passion, bukan fashion.
Author: Fajar Martha
Esais dan narablog Arsenal FC di indocannon.wordpress.com