Baron de Montesquieu mengatakan: “Liberty is threatened if the same person (or agency) concentrates all three or two powers in his hand.” Baginya kekuasaan mesti dibatasi supaya tidak menimbulkan kekuasaan yang absolut, yang rawan penindasan lagi kekerasan.
Terkait dengan hal tersebut, pemikir kenamaan Prancis ini memisahkan kekuasaan negara menjadi tiga fungsi yang berbeda, yaitu fungsi kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Pemisahan kekuasaan ala Montesquieu ini kemudian juga dikenal dengan istilah trias politica dan digunakan di banyak negara penganut demokrasi sejak abad pencerahan hingga hari ini.
Masih terkait dengan idenya tentang pemisahan kekuasaan, Montesquieu juga melahirkan diskursus yang dikenal dengan istilah check and balances. Prinsipnya ialah saling kontrol agar tidak terjadi overlapping kewenangan antar fungsi kekuasaan negara.
Saling kontrol disini dimaksudkan guna mencegah penyelewangan kekuasaan untuk kepentingan-kepentingan tertentu yang dapat menguntungkan satu pihak dan belum tentu menguntungkan pihak lainnya. Prinsip saling kontrol juga dimaksudkan untuk menghindari terkonsentrasinya kekuasaan dalam satu fungsi kekuasaan sehingga mendominasi fungsi kekuasaan lainnya.
Dalam dimensi waktu yang berbeda, Lord Acton, seorang guru besar sejarah modern di Universitas Cambridge, Inggris yang hidup di abad ke-19 juga sempat memberikan perhatiannya terhadap kekuasaan yang mendominasi lagi absolut. Dalam adagiumnya yang terkenal ia mengatakan: “Power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely.” Baginya kekuasaan adalah jalan masuk untuk melakukan korupsi, terlebih lagi kekuasaan yang absolut.
Berangkat dari pemikiran-pemikiran di atas, kita mengetahui bahwa kekuasaan memiliki potensi untuk disalahgunakan. Tidak hanya di dalam institusi negara, namun juga di institusi lainnya, termasuk institusi sepak bola.
Dalam konteks sepak bola nasional, setelah diterpa konflik yang berujung skorsing FIFA, belum lama ini PSSI telah memiliki sosok baru di pucuk kekuasaan tertinggi organisasi. Namun hal tersebut tidak serta merta mengurangi potensi timbulnya penyelewengan kekuasaan di federasi.
Letnan Jenderal Edy Rahmayadi sang Ketua Umum terpilih adalah sosok yang benar-benar baru di kepengurusan PSSI pusat. Namun tidak demikian dengan pembantu-pembantunya di jajaran executive comittee (exco). Sebut saja Joko Driyono, Iwan Budianto, Gusti Randa, dan Johar Lin Eng yang telah menjadi bagian PSSI di rezim-rezim sebelumnya. Sayangnya, selain masih dihiasi muka-muka lama, kebijakan PSSI di era jenderal bintang tiga ini juga tidak jauh berbeda dari era-era sebelumnya.
Cara-cara lawas nampaknya masih digunakan. Rangkap jabatan menjadi sesuatu yang paling kentara. Beberapa nama dari exco terpilih tercatat masih memiliki jabatan strategis sepak bola selain di kepengurusan PSSI pusat.
Diantaranya adalah Joko Driyono (CEO PT LI dan PT GTS), Iwan Budianto (CEO Arema Cronus), Yoyok Sukawi (CEO PSIS), Pieter Tanuri (Presiden Bali United), Johar Ling Eng (Ketua Asprov PSSI Jawa Tengah), Gusti Randa (Ketua Asprov PSSI DKI Jakarta) dan lain sebagainya.
Baru-baru ini terdengar kabar bahwa Kepala Staf Ketua Umum PSSI Iwan Budianto akan tetap memegang jabatan strategisnya di luar PSSI sebagai CEO Arema Cronus. IB, sapaan akrabnya juga sempat digadang-gadang Ketua Umum PSSI bakal mengisi pos CEO PT. Liga Indonesia Baru (operator kompetisi).
Sulit membayangkan bagaimana IB selaku exco PSSI memberikan mandat kepada dirinya sendiri sebagai operator kompetisi untuk memverifikasi Arema Cronus yang merupakan klub binaannya. Netralitasnya tentu akan dipertanyakan meski IB sendiri yakin dirinya akan mampu bersikap netral. Baginya netralitas bukan datang dari jabatan, melainkan dari hati. Menarik betul, ya?
Namun bila benar IB bakal memegang tiga jabatan strategis sekaligus, apa yang dikhawatirkan Montesquieu bisa saja dialami oleh PSSI, yaitu terkonsentrasinya kekuasaan oleh satu pihak yang dapat menimbulkan kekuasaan yang absolut. Lord Acton pun sudah mengatakan bahwa kekuasaan yang absolut cenderung korup secara absolut. Bila sudah begitu akan sulit melihat terlaksananya prinsip check and balances di PSSI.
Lagi pula rangkap jabatan, apalagi hingga tiga jabatan strategis sekaligus tentu bertolak belakang dengan visi Ketua Umum baru yang ingin menjadikan PSSI sebagai federasi yang profesional dan bermartabat.
Jangankan berharap untuk profesional, IB justru sewaktu-waktu bisa terjebak dalam pusaran konflik kepentingan atau bahkan penyalahgunaan kekuasaan. Akan ada pihak-pihak yang diuntungkan dan dirugikan bila hal tersebut dibiarkan.
Dalam rilis resminya, PSSI memang buru-buru meredam isu ditunjuknya IB sebagai CEO perusahaan operator kompetisi untuk musim ini. PSSI mengatakan bahwa IB baru dipastikan ditunjuk menjadi ketua pelaksana turnamen awal musim, Piala Presiden 2017.
Sementara mengenai susunan direksi dan pengurus PT. Liga Indonesia Baru masih belum ditentukan dan akan segera dipublikasikan. Namun ini berarti IB atau exco PSSI lainnya yang sebelumnya telah diketahui rangkap jabatan masih mungkin ditugasi mengisi salah satu pos di jajaran direksi atau kepengurusan PT. Liga Indonesia Baru.
Isu rangkap jabatan di PSSI ini tentu telah menimbulkan keresahan di kalangan pecinta sepak bola nasional. Mumpung masih di awal kepemimpinannya, rasanya belum terlambat bagi Letjen Edy Rahmayadi untuk mempertimbangkan sejumlah revisi pada statuta PSSI.
Salah satunya adalah mewajibkan exco dan pengurus PSSI pusat terpilih untuk menanggalkan jabatan strategis sepak bola lainnya baik itu di klub maupun Asprov. Hal tersebut akan membuat mereka dapat bekerja lebih fokus, profesional, dan tentunya bermartabat seperti keinginan Ketua Umum.
Mengenai operator kompetisi, PSSI sebaiknya memberikan mandat kepada perusahaan independen untuk menyelenggarakan liga, alias bukan membentuk perusahaan sendiri dimana personalianya juga merupakan orang-orang PSSI.
Dalam konteks ini PSSI sebagai pemberi mandat berfungsi untuk memsupervisi, terutama pada hal-hal yang menyangkut regulasi dan hukum sepak bola. Posisi operator kompetisi cukup krusial karena menjadi salah satu instrumen PSSI untuk menilai atau memverifikasi kesiapan klub-klub peserta kompetisi. Oleh karena itu sifatnya harus independen lagi netral.
Kesimpulannya, rangkap jabatan sangat berpotensi menimbulkan konflik kepentingan dan akan mempengaruhi pengambilan keputusan yang berkaitan dengan pembangunan sepak bola nasional. Dengan menggunakan logika berbahasa plus meminjam nama ‘Budi’ yang sering kita jumpai di buku pelajaran Bahasa Indonesia sebagai nama samaran, cerita rangkap jabatan di PSSI akan terangkum dalam sebuah kalimat berbunyi: ‘Budi meminta Budi untuk menilai Budi’. Budi dalam kalimat tersebut adalah orang yang sama. Aneh, bukan? Sungguh Budi yang absolut.
Author: Ganes Alyosha (@ganesalyosha)
Karyawan swasta, lulusan FISIP UI, dan sempat menjadi manajer salah satu SSB di Senayan yang bubar karena pemiliknya putus cinta dengan pacar pesepak bolanya.