Negatif, sebuah stigma yang muncul di benak banyak kalangan bila mendengar kata Bonek. Pendapat ini bahkan telah berlangsung turun temurun, dari generasi ke generasi, sebab telah bertahun-tahun juga nama Bonek selalu, selalu dan selalu lekat dengan kesan urakan, seenaknya dan sering bikin masalah.
Kata “selalu” yang saya tuliskan sebanyak tiga kali di paragraf pertama tersebut bukan kesalahan ketik, tapi sebuah penekanan nyata bahwa hingga detik ini, citra pendukung setia Persebaya Surabaya masih dianggap buruk oleh banyak orang, bahkan oleh mereka yang tidak menggemari sepak bola sekalipun.
Saya masih ingat, suatu ketika saya pernah bertanya kepada ibu saya yang asli Bojonegoro mengenai pandangannya tentang Bonek. Tanpa banyak basa-basi, Ibu saya memberi jawaban ringkas dan sangat jelas.
“Bonek iku kosro”.
Dalam bahasa Jawa dialek Suroboyo-an, kata kosro sendiri kurang lebih bermakna sembrono atau kasar dan sering dipakai untuk menunjukkan karakter individu ataupun kelompok tertentu. Dan Bonek, kerapkali dapat ‘predikat’ ini.
Manusia, sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna memiliki semua sumber daya yang bisa digunakannya untuk menilai sesuatu. Sumber daya yang saya maksud tak lain tak bukan adalah indera dan nurani. Melihat dengan mata, mendengar dengan telinga dan merasakan dengan hati.
Dengan indera-indera tersebut pula masyarakat lantas menilai tindak-tanduk Bonek. Segala hal yang dilihat, didengar dan dirasakan dari Bonek itu kemudian dikumpulkan dalam bingkai informasi yang diolah di dalam otak dan melahirkan sejumlah persepsi yang kemudian dijadikan landasan guna memberi citra tertentu bagi Bonek.
Hal demikian pula yang membuat ibu saya menyebut Bonek dengan kata kosro tadi. Padahal sejak menikah dengan ayah saya di tahun 1980-an, ibu juga menetap di Surabaya. Sialnya, citra Bonek menjadi tidak sedap bukan disebabkan pihak lain, melainkan dari tingkah-polah Bonek sendiri.
Bagaimana mungkin stigma negatif tidak melekat jika banyak sekali perbuatan Bonek yang membuat orang lain merasa terganggu dan kesal?
Sebagai contoh, ketika Persebaya bermain di kandang, Bonek yang berikrar akan mendukung Persebaya, nyatanya malah menolak membeli tiket pertandingan. Mereka lebih memilih untuk memanjat tembok stadion supaya bisa menonton dengan gratis walau nyawa taruhannya. Stadion dan lingkungan sekitarnya yang harus dijaga kebersihan dan kerapiannya malah kerap dirusak dengan serangkaian perbuatan vandalisme.
Kelakuan buruk juga ditunjukkan Bonek saat Persebaya harus bertandang ke markas lawan. Saya mengerti jika Bonek ingin berada di setiap tiap Persebaya berlaga guna memberi dukungan. Tapi bila tak membayar tiket kereta api saat melakoni perjalanan, lalu memalak pedagang di sekitar stadion agar mendapat rokok serta makanan, maka itu semua adalah kesalahan.
Sungguh, perbuatan macam itu membuat siapapun tak pantas mendaku sebagai Bonek dan mendukung Persebaya. Ketahuilah bahwa Persebaya juga pasti kena imbas akibat serangkaian perilaku negatif macam itu.
Dalam buku yang ditulis Fajar Junaedi, “Bonek: Komunitas Suporter Pertama dan Terbesar di Indonesia”, telah disebutkan bahwa nama Bonek merupakan akronim dari bondho dan nekat. Bondho berakar dari bahasa Jawa dan bermakna memiliki bekal atau modal. Sementara nekat merupakan kata sifat yang artinya sangat berani, baik dalam bahasa Jawa maupun bahasa Indonesia. Semuanya tentu bermakna positif yakni pendukung Persebaya yang memiliki bekal (uang) dan punya keberanian tinggi saat memberi dukungan.
Sayangnya, seiring berjalannya waktu makna tersebut justru terkaburkan dengan perilaku buruk yang ditunjukkan Bonek. Alhasil, mereka pun lebih identik dengan sebutan bondho nekat alias hanya bermodal nekat semata ketika mendukung Persebaya entah di kandang atau saat bertandang. Bonek layaknya kaum proletar yang tak punya apa-apa dan wajib berbuat onar guna mendukung klub yang dicintainya.
Persoalan-persoalan seperti ini pada akhirnya juga mendorong media untuk terus memberitakan hal-hal negatif tentang Bonek. Meski resistensi terhadap media juga gencar dilakukan namun harus diketahui bahwa dalam lingkaran media, terdapat sebuah adagium populer bahwa bad news is always a good one.
Sesuatu yang buruk memang kerap dijadikan bahan jualan media untuk diinformasikan kepada khalayak luas. Tentu saja hal ini yang kemudian membuat lahirnya sebuah opini masyarakat tentang sesuatu. Semakin sering Bonek berbuat hal-hal buruk, semakin buruk pula citra mereka di mata banyak orang. Padahal, tak semua Bonek berbuat demikian. Namun citra buruk yang melekat pasti akan berimbas kepada seluruh Bonek yang ada.
Bertempat di Ruang Semanggi, Graha Pena, Surabaya, pada kamis (16/2) kemarin, manajemen anyar Persebaya yang digawangi Azrul Ananda mengadakan sebuah pertemuan. Banyak sekali Bonek yang hadir pada acara tersebut, baik yang berasal dari Surabaya maupun kota-kota lainnya.
Terdapat beberapa wacana menarik yang dituangkan oleh sang presiden klub. Salah satunya adalah proses rebranding Bonek. Secara harfiah rebranding punya makna proses pembaharuan atas suatu merek. Maka rebranding Bonek yang dimaksud manajemen Persebaya tentu saja memperbaharui merek atau citra dari pendukung setia mereka, Bonek.
Seperti yang telah saya sebutkan di bagian awal tulisan ini, sampai sekarang Bonek masih lekat dengan stigma negatif. Bahkan saat Bonek melakukan hal-hal positif sekalipun, anggapan bahwa mereka adalah suporter yang tidak sopan, kasar dan kerap berbuat onar tak benar-benar bisa hilang di dalam pikiran masyarakat luas.
Langkah awal proses rebranding itu sendiri dilakukan dengan menambah satu kata baru dari akronim Bonek. Kata itu sendiri memiliki makna yang sangat positif yakni kreatif. Sehingga mulai saat ini dan seterusnya, Bonek merupakan singkatan dari bondho, nekat dan kreatif.
Bagi saya pribadi, ini merupakan langkah brilian dan sangat positif untuk mengubah citra Bonek perlahan-lahan. Melalui rebranding itu pula, Azrul yang juga Chief Executive Officer (CEO) salah satu media terbesar di Indonesia, Jawa Pos, memiliki harapan tinggi jika pendukung klub yang dipimpinnya saat ini akan menjadi kelompok suporter yang lebih baik.
Oleh karena itu, para pendukung Persebaya di seantero negeri mesti memanfaatkan momentum ini terus berbenah agar menjadi kelompok suporter yang santun, kreatif dan jauh dari hal-hal buruk. Terlebih, manajemen Persebaya sendiri telah menyiapkan beberapa agenda yang bisa digunakan dan dimanfaatkan Bonek untuk mengubah citra mereka di masyarakat.
Mulai saat ini, jangan lagi datang ke stadion bila tak mau membeli tiket, sebab roda operasional Persebaya juga pasti akan bergantung dari penjualan tiket di laga-laga kandang. Membeli tiket berarti Bonek ikut berperan atas keberlangsungan tim ini.
Hentikan aksi-aksi vandalisme seperti merusak pintu stadion atau mencoret-coret tembok stadion. Karena hal semacam itu hanya akan merusak keindahan dan merugikan banyak pihak. Andai tak memiliki dana yang benar-benar cukup, tak perlu memaksakan diri buat melakoni awaydays. Sehingga kelak tak ada lagi cerita-cerita memalukan bahwa Bonek tidak mbayar tiket kereta api atau memalak para pedagang supaya bisa makan.
Tentu tak masuk akal bukan jika Bonek menuntut klub kesayangannya untuk berbenah dari waktu ke waktu namun mereka sendiri justru tak ingin berubah dan keluar dari stigma negatif yang sudah lama sekali melekat.
Ingatlah kembali masa-masa sulit ketika Persebaya dilarang mentas di kancah sepak bola nasional dalam rentang 2011-2016 kemarin. Betapa tak enaknya menyaksikan kawan-kawan di bagian Indonesia yang lain dapat dengan mudah mendukung klub kesayangannya sementara sepak bola di Surabaya seolah mati suri dalam waktu yang tidak menentu.
Ingat juga bahwa ada banyak tenaga, waktu dan materi yang harus Bonek korbankan supaya bisa menyaksikan Bajul Ijo kembali bertanding di kompetisi nasional. Respek dari banyak kalangan pun mengalir deras saat itu. Maka jangan sekali-kali mencoreng perjuangan itu dengan perilaku buruk.
Selayaknya suami yang mencintai istrinya, saya percaya jika cinta Bonek terhadap Persebaya pun begitu kuat. Dan seperti suami yang akan berusaha sebaik-baiknya menjaga nama baiknya sendiri maupun istrinya, sudah seharusnya pula Bonek melakukan hal serupa untuk Persebaya. Karena segala hal yang diperbuat Bonek, entah itu baik ataupun buruk, akan selalu berkaitan dengan diri mereka sendiri dan klub yang mereka cintai.
Ayo berubah, rek! Salam Satu Nyali. Wani!
Author: Budi Windekind (@Windekind_Budi)
Interista gaek yang tak hanya menggemari sepak bola tapi juga american football, balap, basket hingga gulat profesional