Kala menyebut nama-nama pesepak bola terbaik yang pernah dimiliki tim nasional Belanda, mungkin yang paling sering muncul di benak kita adalah Johan Cruyff dan Marco Van Basten. Saya pun bisa memaklumi hal tersebut karena dua sosok ini merupakan bintang utama bagi De Oranje di eranya masing-masing.
Kalaupun ada nama-nama lain yang muncul, pastilah tak jauh-jauh dari sosok Ruud Gullit, Ronald Koeman, Ruud Krol dan Johan Neeskens. Padahal bila ditelusuri lebih jauh, masih ada banyak pemain jempolan yang pernah lahir di negeri keju ini namun kerap terlupakan. Salah satunya adalah Petrus Johanes “Piet” Keizer.
Keizer adalah satu dari sekian pemain yang berstatus one man club lantaran karier sepak bolanya diawali dan diakhiri di satu klub saja, Ajax Amsterdam. Sebagai bocah yang lahir dan besar di Amsterdam serta menggemari sepak bola, mengenakan jersey Ajax sebagai salah satu pemainnya merupakan sebuah impian yang terus hidup di dalam pikiran.
Di awal 60-an, Keizer bergabung dengan kubu De Godenzonen di usia yang masih belia. Namun perlahan-lahan, Keizer bisa membuktikan kapasitas yang dimilikinya demi memperoleh satu tempat di tim senior. Di tim ini pula Keizer mengenal sosok yang kemudian menjadi rekan sehatinya, Johan Cruyff.
Dari situ Keizer terus menancapkan kukunya sebagai pemain andalan De Godenzonen walau terus ditangani pelatih yang berbeda-beda. Kilau sempurna Keizer sebagai pemain yang bagus makin terlihat usai kedatangan Rinus Michels sebagai pelatih anyar Ajax di pertengahan tahun 60-an.
Kolaborasi Cruyff dan Keizer merupakan salah satu senjatan utama Michels saat itu. Keduanya bahkan dikenal sebagai “duet raja” di lini serang Ajax. Bersama Cruyff dan Keizer pula, sistem Totaalvoetbal yang dikembangkan Michels menemui titik puncaknya. Sejumlah gelar prestisius menjadi bukti yang tak terbantahkan.
Berposisi sebagai winger kiri, Keizer melengkapi peran Cruyff yang jadi penyerang utama dengan role sebagai false nine di lini depan Ajax. Dalam kerja sama erat dan kental macam begitu, sosok yang mempopulerkan teknik scissor feint ini didengungkan publik sebagai inisiator sementara Cruyff bertindak sebagai eksekutor.
Cruyff dan Keizer kerap mempecundangi lawan-lawan mereka lewat sentuhan satu-dua guna merangsek ke kotak penalti. Tak jarang juga, Keizer begitu liat mengoyak sektor kanan pertahanan lawan lantas mengirim umpan lambung yang begitu cantik. Laju bola tersebut seakan sudah diprogram sedemikian rupa agar tepat mengarah ke kepala dan dapat dengan mudah disundul untuk menciptakan gol.
Pasangan ini juga yang kemudian membantu Ajax meraih titel demi titel di salah satu periode emas De Godenzonen sepanjang sejarah. Total, di era 60-an dan 70-an Ajax berhasil menjuarai Eredivisie sebanyak enam kali, menggondol Piala Belanda/Piala KNVB di lima kesempatan, beroleh tiga trofi Piala/Liga Champions Eropa dan masing-masing sekali membawa pulang gelar Piala Super Eropa serta Piala Interkontinental.
Walau bergelimang gelar, bukan berarti Keizer lepas dari beberapa permasalahan dalam kariernya. Satu yang paling membekas di ingatan adalah cedera kepala parah yang didapatnya di pertengahan 60-an akibat bertabrakan dengan Andre Pijlman. Insiden tersebut membuat Keizer harus beristirahat cukup lama akibat keretakan di tengkoraknya.
Sayangnya relasi apik diantara Cruyff dan Keizer sempat menemui onak berduri ketika di awal musim 1973/1974, pelatih anyar Ajax ketika itu, George Knobbel, memutuskan untuk mengadakan voting rahasia tentang siapa yang pantas menjadi kapten tim.
Secara mengejutkan, Keizer mendapat suara lebih banyak ketimbang Cruyff. Hal ini juga yang kemudian membuat Cruyff merasa dikhianati rekan-rekan setimnya sebelum akhirnya memilih untuk hengkang ke Barcelona.
Rinus Michels yang meninggalkan Ajax di musim panas 1971 demi membesut Barcelona, mendapat mandat untuk menjadi pelatih timnas Belanda di pagelaran Piala Dunia 1974. Tanpa ragu, Michels pun memanggil Keizer untuk dipersiapkan sebagai tandem Cruyff seperti saat ketiganya bersama-sama di Ajax.
Sang hoofdtrainer berharap jika keduanya bisa menjadi tulang punggung Belanda di kejuaraan tersebut. Sayangnya, usia Keizer saat itu sudah mencapai 31 tahun dan dinilai mulai lamban.
Meski tetap dibawa ke Jerman Barat, Keizer hanya tampil satu kali di ajang tersebut. Posisinya sebagai winger kiri digantikan sosok yang jauh lebih berenergi dan spartan dalam diri Rob Rensenbrink.
Walau kemudian muncul pula sebuah gosip jika Cruyff yang masih kesal atas kejadian voting kapten itu memengaruhi Michels untuk lebih memprioritaskan Rensenbrink sebagai pemain utama.
Timnas Belanda sendiri harus pulang dengan kepala tertunduk ketika itu lantaran gagal menjadi juara. Walau di kemudian hari, bahkan hingga saat ini, kegagalan timnas Belanda dan Totaalvoetbal-nya di Piala Dunia 1974 sama sekali tak dianggap sebagai aib.
Pada tahun yang sama pula, Keizer memutuskan buat mengakhiri kariernya sebagai pesepak bola tanpa sebuah alasan yang pasti. Dan seperti yang saya tuliskan di paragraf sebelumnya, Keizer saat itu baru berumur 31 tahun. Usia yang masih produktif untuk ukuran atlet sepak bola.
Keizer tercatat membela Ajax di 490 partai pada seluruh kejuaraan resmi serta menyumbangkan 189 gol dalam rentang 1961-1974. Ia juga mengemas 34 caps serta 11 gol buat timnas De Oranje.
Satu hal yang membuat saya begitu tertarik kepada sosok yang satu ini adalah pernyataan yang dibuat oleh dua sosok, mereka adalah kolumnis kenamaan Belanda, Nico Scheepmaker dan eks rekan setim Cruyff dan Keizer di Ajax, Velibor Vasovic.
“Cruyff is the best but Keizer is better one”, ungkap Scheepmaker.
Sementara Vasovic bercerita tentang pengalamannya sebelum bergabung dengan Ajax di tahun 1966. Kala itu dirinya menyaksikan langsung sebuah laga yang dimainkan Cruyff dan kawan-kawan.
“Aku terpesona melihat pergerakan Cruyff muda di lapangan. Selang beberapa saat kemudian ada seorang fan Ajax yang menegurku dan berkata jika pemain terbaik klub ini saat itu adalah pemain yang berposisi sebagai winger kiri. Pemain yang dimaksud fan tersebut adalah Keizer”, terang Vasovic seperti dikutip dari backpagefootball.com.
Vasovic pada awalnya memang tidak percaya sampai dirinya menyaksikan laga tersebut hingga usai. “Jika klub ini memiliki sosok pemain yang lebih baik dari Cruyff. Sudah pasti Keizer-lah orangnya”, tutupnya.
Andai saja ada mesin waktu, dengan senang hati saya akan menjelajah waktu guna melihat dengan mata kepala saya sendiri bagaimana sosok Keizer bermain di atas lapangan hijau sehingga dirinya disebut lebih baik dari Cruyff.
Pascapensiun sebagai pemain, Keizer sempat bekerja untuk Ajax sebagai pemandu bakat, direktur teknik dan konsultan. Dan kemarin (10/2), sebuah kabar duka datang dari sosok yang telah berusia 73 tahun tersebut. Keizer menghembuskan nafas terakhirnya usai berjuang keras melawan kanker paru-paru yang lama dideritanya.
Uniknya, penyakit yang sama juga membuat eks duet mautnya, Cruyff, mangkat pada Maret 2016 silam.
Usai lama tak berduet, kini tiba saatnya untuk Cruyff dan Keizer dapat memainkan bola lewat sentuhan satu-dua bersama-sama lagi seperti dulu. Tidak di stadion Amsterdam Arena, namun di lapangan yang lebih megah dan indah di surga sana.
Rest In Peace, Keizer.
Author: Budi Windekind (@Windekind_Budi)
Interista gaek yang tak hanya menggemari sepak bola tapi juga american football, balap, basket hingga gulat profesional