Pencinta sepak bola mana yang tidak kenal sosok bernama Giampaolo Pozzo? Lelaki asal Italia ini adalah seorang pengusaha yang terkenal berkat statusnya sebagai pemilik tiga klub sekaligus. Kesebelasan-kesebelasan tersebut antara lain Udinese Calcio di Italia, Granada C.F di Spanyol dan Watford F.C di Inggris. Walau ketiganya bukan klub papan atas, namun semuanya berlaga di liga tertinggi di negaranya.
Udinese menjadi klub pertama yang diakuisisi Pozzo pada 1986 silam, sementara Watford jadi tim terakhir yang dibelinya di tahun 2012 kemarin. Granada sendiri menjadi milik Pozzo per 2009 sebelum akhirnya dilego kepada pengusaha asal Cina di tahun 2016 lalu.
Mempunyai lebih dari satu klub sepak bola rupanya sama sekali tak menyulitkan Pozzo menjalankan roda operasional. Tapi tentu saja, sang taipan tak melakukannya seorang diri, ada banyak orang kepercayaan Pozzo yang duduk di manajemen klub miliknya. Salah satunya adalah Gino Pozzo, putranya yang kini diberi mandat untuk menjalankan Watford.
Keberadaan klub-klub tersebut pada akhirnya juga semakin memudahkan langkah Pozzo dalam mengumpulkan pemain-pemain bertalenta prima namun tak terpantau oleh pencari bakat tim-tim raksasa. Tentu aneh jika Anda, para pencinta sepak bola, tidak mengenal sosok semisal Marcio Amoroso, Abel Balbo, Medhi Benatia, Thomas Helveg, Vincenzo Iaquinta, Samir Handanovic hingga Alexis Sanchez.
Nama-nama tersebut merupakan hasil olahan para pemandu bakat Udinese yang berkeliling ke seluruh penjuru dunia guna mencari berlian-berlian mentah (baca: pemain bertalenta) untuk kemudian ditempa dan diasah hingga matang lalu dijual dengan harga menjulang. Sebagai contoh, penjualan Alexis, Benatia dan Handanovic berhasil mendatangkan dana segar sekitar 50 juta euro. Angka yang cukup besar, bukan?
Sepak terjang Pozzo itu juga yang barangkali menginspirasi pengusaha asal Indonesia, Nirwan Bakrie, yang memang dikenal sangat menggilai sepak bola dengan mengakuisisi sejumlah klub-klub sepak bola lewat konglomerasi besar milik keluarganya, Grup Bakrie.
Tak main-main, klub yang diakuisisi berasal dari luar Indonesia, yakni Brisbane Roar dari Australia dan Cercle Sportif (C.S) Vise asal Belgia. Sementara di Indonesia, Grup Bakrie sendiri identik dengan klub Pelita Jaya.
Saat melakukan proses akuisisi, Brisbane Roar sedang tampil di A-League, kasta teratas di sepak bola negeri kanguru. Sementara Vise, saat itu tengah berlaga di Divisi Dua Liga Belgia.
Masyarakat Indonesia pun menyambut hangat langkah yang dibuat oleh Grup Bakrie. Asa bahwa kelak klub-klub tersebut bakal menjadi medium bagi talenta-talenta Indonesia mengembangkan kemampuannya di level yang lebih tinggi pun menggelegak. Meski sebagian pihak merasa sangsi dengan hal tersebut.
Menariknya, ketimbang mengirim pemain-pemain belia tanah air ke Brisbane Roar yang letaknya relatif lebih dekat dengan Indonesia guna menimba ilmu, Grup Bakrie justru mengirim beberapa talenta muda Indonesia ke Vise. Beberapa nama pemain muda tersebut adalah Alfin Tuasalamony, Syamsir Alam, Yandi Sofyan dan Yericho Christiantoko.
Keempatnya adalah jebolan program SAD (Sociedad Anonima Deportivo) yang berlaga di Uruguay. PSSI sendiri dapat melaksanakan program ini kabarnya karena sokongan dana dari Grup Bakrie. Tim SAD itu sendiri berisi pemain-pemain yang berusia di bawah 17 tahun.
Di musim 2011/2012, Vise dimanajeri oleh pelatih asal Italia, Loris Dominissini. Ketika itu klub berjuluk The Geese ini berhasil finis di peringkat ke-9 klasemen akhir Divisi Dua. Vise finis dengan torehan 44 angka hasil dari 12 kali menang, 8 laga imbang dan 14 kali tumbang dari 34 pertandingan. Sementara dari keempat pemain Indonesia tersebut, kabarnya hanya Alfin dan Yandi yang kerap dimainkan oleh Dominissini. Sedangkan kedua rekannya jarang mendapat kesempatan tampil.
Jelang musim 2012/2013 bergulir, Vise melantik pelatih baru yang masih berasal dari Italia, Manuele Domenicali, guna menggantikan Dominissini. Pihak klub tentu berharap jika Domenicali bakal sanggup memperbaiki performa The Geese sekaligus bersaing memperebutkan tiket promosi.
Sayangnya, harapan cuma tinggal harapan, karena posisi Vise di klasemen akhir musim tersebut justru semakin anjlok. Tim yang memainkan laga kandangnya di stadion de la Cite de l’Oie ini hanya menyelesaikan musim di peringkat ke-15 dengan koleksi 33 poin. Dari 34 laga, rekor menang-seri-kalah Vise adalah 8-9-17. Beruntung, perolehan angka tersebut sudah cukup untuk menghindarkan mereka dari relegasi ke Divisi Tiga.
Dan seperti yang terjadi sebelumnya, praktis hanya Alfin yang secara berkala turun sebagai pemain utama dalam racikan Domenicali. Sementara menit bermain Yandi menyusut jauh. Syamsir dan Yericho pun akrab sebagai penghangat bangku cadangan.
Akan tetapi, musim berikutnya pemain-pemain Indonesia ini tak melanjutkan kariernya bersama The Geese. Alfin, Syamsir, Yandi dan Yericho mudik ke tanah air untuk tampil di kompetisi lokal.
Sementara Vise sendiri terus melanjutkan kiprahnya di Divisi Dua pada musim 2013/2014. Namun, bencana yang menakutkan itu kemudian datang menyapa The Geese. Ketidakmampuan mereka untuk bersaing dengan para rival membuat Vise finis di posisi buncit.
Dari 34 pertandingan yang dimainkan Vise di sepanjang musim 2013/2014, mereka hanya mampu memetik 13 poin saja hasil dari dua kemenangan dan tujuh kali seri. Pada dua puluh lima pertandingan sisanya, The Geese selalu bertekuk lutut di hadapan lawan-lawannya. Hal ini juga yang kemudian membuat mereka harus rela degradasi ke Divisi Tiga.
Selain kehilangan haknya untuk mentas di Divisi Dua, pada musim itu Vise juga terus berkutat dengan masalah keuangan. Permasalahan ini juga yang kemudian membuat Grup Bakrie berusaha keras untuk mencari pihak yang bersedia mengambil alih Vise.
Ketika terjepit dalam situasi pelik, datanglah investor asal Belgia dan Inggris yang mengambil alih Vise dari Grup Bakrie. Kondisi ini tentu membuat pihak Grup Bakrie sumringah. Beban berat yang mereka tanggung setidaknya telah terangkat.
Investor anyar itu kemudian menunjuk sosok asal Inggris, Terry Fenwick, sebagai nakhoda anyar guna bertempur di Divisi Tiga. Namun sial, situasi finansial yang begitu parah membuat para investor tersebut kesulitan menyelamatkan tim dari kebangkrutan. Kondisi ini juga membuat gaji pemain dan staf banyak yang tertunggak.
Sampai akhirnya pada Oktober 2014, Vise secara resmi dinyatakan bangkrut dan tak bisa lagi berkompetisi. Klub yang didirikan pada tahun 1924 silam ini pun kini hanya tinggal kenangan. Mirip dengan karier sepak bola Syamsir Alam, eks punggawa Vise, yang kini seakan lenyap dari lapangan hijau.
Author: Budi Windekind (@Windekind_Budi)
Interista gaek yang tak hanya menggemari sepak bola tapi juga american football, balap, basket hingga gulat profesional