Sepak bola, Anda tahu, juga terkait dengan perasaan.
Sebagai fan suatu klub, olah raga ini memikat kita karena menyediakan segala cerita (baik dan buruknya), sejarah, dan serba-serbi yang lantas terhimpun menjadi entitas penting dalam hidup: identitas.
Fan Liverpool akan selalu hanyut jika melihat angka “96”. Gooner akan menggigil jika disuruh mengingat apa yang terjadi di tahun 2004. Frasa ‘Més que un club’, “Lebih dari sekadar klub”, akan terpatri di sanubari penggemar Barcelona, sebagaimana “Mia san mia” di relung hati fan Munchen.
Ditambah budaya konsumtif abad 21, keterlekatan suporter dengan klub semakin menjadi-jadi. Akses terhadap segala informasi tentang klub kini mudah didapat. Setiap aspek tentang klub, atas-bawah, depan-belakang, lama-baru, disulap menjadi beranekaragam produk konsumsi, fisik maupun virtual.
Di tengah-tengah ini semua, sisi sentimentil tetap memiliki posisi utama sehingga penggila bola ramai-ramai menyatakan: sepak bola itu penting. Football matters.
Salah satu sisi sentimentil itu adalah bagaimana kita ramai-ramai mendamba sosok idola yang beranjak dari posisi sebagaimana yang kita alami saat ini: penggemar.
Di era ’70-an, Arsenal mengenal sosok Charlie George yang lahir hanya selemparan batu dari stadion Highbury. George kemudian semakin mengukuhkan namanya setelah mencetak gol penentu di Wembley (melawan Liverpool), lalu merayakannya dengan selebrasi ikonis yang coba ditiru Aaron Ramsey 43 tahun kemudian. Gol George membuat Arsenal meraih gelar ganda pertama dalam sejarah mereka.
Hal yang sama berlaku untuk John ‘Aldo’ Aldridge: seorang fan Liverpool yang begitu tak kuasa menahan haru saat akhirnya, di umur 27, Liverpool merekrutnya guna menggantikan striker andalan mereka, Ian Rush. Dalam otobiografinya, Aldo berkisah, “Bermain untuk Liverpool, Anda tak bisa menyimpulkannya dengan kata-kata. Saya tak pernah menyangka bisa bermain untuk Liverpool. Umur saya sekitar 27-28 kala bermain untuk Liverpool. Ini seperti takdir. Saya benar-benar tidak percaya. Saya mencubit diri saya tiap pagi. Apakah ini nyata?”
Dua puluh tujuh tahun kemudian, tepatnya 2014, Rickie Lambert mengulangi kisah Aldridge tersebut: cinderella story yang secara tragis berakhir antiklimaks.
Latar
Agak aneh sepertinya proses perpindahannya ke Anfield. Di pihak Liverpool sendiri, taktik yang diterapkan Brendan Rodgers kontras dengan gaya klub Lambert sebelumnya, Southampton.
Meski nantinya dipasang sebagai striker tunggal, Liverpool mensyaratkan permutasi dan kecepatan di lini depan. Itu sesuatu yang tidak bisa diberikan gaya bermain Lambert. Asumsi ini boleh dibantah karena di waktu yang bersamaan, The Reds juga meminang tandem Lambert di Soton: Adam Lallana.
Dari sisi Lambert, mengingat kembali kariernya bersama Soton, ia bisa menjadi cult hero sebagaimana legenda Soton yang lain: Matt Le Tissier. Apalagi umurnya telah menginjak 32 tahun. Tidak bisa dikatakan muda untuk ukuran seorang striker. Adaptasi dengan klub baru akan sulit ia lalui.
Bersama Southampton, Lambert melalui masa-masa gemilang. Bisa dikatakan, ia telah mendapatkan segalanya. Pengakuan publik, rekor demi rekor, dan terutama, kecintaan publik St. Mary terhadapnya.
Postur badannya mengingatkan mereka kepada Matt ‘Le God’ Tissier. Lambert juga mewarisi nomor punggung 7 yang dikenakan sang legenda. Dan Southampton juga sedang berada dalam posisi yang sehat.
Keuangan mereka dijalankan dengan cermat. Sepak bola mereka mainkan dengan atraktif dan meletup-letup. Lambert adalah sosok panutan bagi bibit-bibit muda Southampton kala itu seperti Adam Lallana, Luke Shaw, Jay Rodriguez, Nathaniel Clyne, James Ward-Prowse, dan kawan-kawan.
Meski tertatih-tatih di musim pertama mereka setelah tujuh tahun absen di Premier League, di musim 2013/14 Soton berhasil mengakhiri musim di urutan ke-8.
Kemampuan mencetak golnya masih bisa berbicara, entah itu lewat sundulan, tendangan bebas, atau sepakan penaltinya yang kemudian menjadi catatan rekor (selalu berhasil mencetak gol dari titik penalti selama di Southampton, total 33).
Dua musim dilalui dengan gemilang, tak pelak memuat namanya dilirik pelatih Inggris Roy Hodgson untuk dibawa ke Piala Dunia Brasil 2014. Segalanya nampak ceria penuh warna. Everything seems rosy.
Setelah membela panji The Three Lions di Brasil itulah Lambert membuat keputusan penting dalam hidup: menerima pinangan klub yang pernah membuangnya, Liverpool.
Sejak umur 10 hingga 15 tahun, Lambert adalah pemain akademi Liverpool. Lambert kemudian dilepas karena dianggap tidak memenuhi kriteria untuk tampil di hadapan publik The Kop. Sebuah berita yang dirasa Lambert bak petir di siang hari.
Dari sinilah hikayat Lambert, sang petualang sepak bola Inggris dimulai. Lambert menjadi pemain yang pernah merasakan seluruh kasta sepak bola profesional di negeri Putri Kate itu. Blackpool, Macclesfield, Stockport, Rochdale, dan Bristol Rovers pernah mencicipi servis darinya.
Di Macclesfield-lah akhirnya kita mendengar kisah itu. Untuk mengongkosi jarak jauh dari rumahnya ke klub, ia harus menyambi sepak bola dengan bekerja di pabrik pengalengan dengan upah 20 paun per hari.
Pagi sampai siang ia habiskan di sana, sore hari merumput untuk latihan bersama Macclesfield. Padahal di Macclesfield statusnya hanya trainee yang belum mendapat kontrak setelah dilepas Blackpool.
Namanya semakin mentereng setelah Bristol Rovers merekrutnya dari Rochdale di musim 2006/07. Hanya semusim bersama The Pirates, Lambert membawa mereka promosi ke League One, kasta ketiga dalam piramida sepak bola Inggris. Reputasi yang perlahan menanjak ini menggoda Southampton untuk merekrutnya yang dibalas dengan torehan 36 gol (dari 58 laga) di musim perdananya.
Bulan madu singkat
Lambert kembali berkesempatan untuk mengakrabi cinta pertamanya: Liverpool. Sebuah bayangan yang tak pernah berani ia pikirkan sebelumnya.
Di musim pertama (dan satu-satunya) berbaju Liverpool, tim tersebut harus memulai segalanya dari awal. Sosok yang membuat mereka begitu meledak musim 2013/14, Luis Suarez, telah minggat ke Barcelona. Lucu sekali sepak bola. Suarez dan Lambert sama-sama meninggalkan klub lama untuk hijrah ke tanah impian.
Lini depan Liverpool semakin timpang karena Daniel Sturridge yang diharapkan mampu mengulangi pencapaiannya di musim sebelumnya, mengalami cedera demi cedera. Tiga pencetak gol terbanyak musim itu diraih oleh para gelandang: Steven Gerrard, Raheem Sterling, dan Philippe Coutinho.
Maka musim 2014/15 menjadi bulan madu teramat singkat bagi Lambert. Rodgers hanya memberinya secuil kesempatan bermain, gol yang ia ceploskan hanya tiga. Di ujung musim, untuk kedua kalinya, Liverpool kembali mengeluarkan keputusan itu: cerai!
Tidak seperti Aldridge, Lambert hanya menjadi catatan kaki dalam sejarah dan riwayat besar Liverpool.
Kisah Lambert adalah kisah yang jarang terjadi di era ‘modern football’ seperti sekarang ini. Pemain datang dan pergi, harus cermat melihat peluang di setiap klub yang mereka bela. Tentu setiap pemain mengawali hidup mereka sebatas sebagai penggemar.
Theo Walcott dan Delle Ali merupakan penggemar Liverpool. Namun takdir membuat mereka memupus angan-angan membela klub pujaan. Begitu pun Harry Kane dan Gareth Bale yang mengidolai Arsenal di waktu bocah.
Ini pula yang membuat kepindahan Lambert dari Southampton tidak begitu dicerca pendukung Southampton. Lambert harus memenuhi jalan spesial itu: menjadi contoh bagi masyarakat tentang hikayat keteguhan hati seorang pekerja keras.
Setidaknya ia pernah dianggap begitu spesial oleh para penggemar Soton. Meski kini ia harus kembali ke habitat yang begitu dikenalnya dulu, sepak bola kasta kedua bersama Cardiff City.
Puisi Amir Hamzah, “PadaMu Jua”, saya rasa tepat untuk mencerminkan kariernya bersama The Reds, sekaligus menuntaskan tulisan ini:
“Lalu waktu – bukan giliranku
Matahari – bukan kawanku…”
Author: Fajar Martha
Esais dan narablog Arsenal FC di indocannon.wordpress.com