Indonesia sedang diramaikan dengan berita-berita hoax. Hampir setiap hari ada saja berita palsu yang menyebar di media sosial. Umumnya sih, terkait urusan saling jegal di dunia politik. Namun sayangnya, sebagian anggota masyarakat masih belum jeli menyaring mana berita yang benar dan mana yang palsu.
Kondisi ini semakin diperparah dengan kenyataan bahwa orang masih dengan mudahnya membagikan berita palsu di akun media sosialnya. Kini mulai muncul berbagai seruan dan gerakan untuk menangkal pembuatan dan penyebaran hoax. Kita lihat saja sejauh mana upaya-upaya tersebut, baik oleh pemerintah maupun swadaya masyarakat bisa menahan laju gempuran hoax yang mengambil kesempatan di tengah situasi politik yang kian memanas.
Di sepak bola, khususnya di Jerman, ada beberapa kejadian seputar penyebaran berita palsu. Pada kesempatan kali ini akan saya bagikan dua cerita.
Yang pertama adalah sebuah kisah klasik yang terjadi pada tahun 1903. Ketika itu, para pemain FV Karlsruhe sedang menunggu kereta yang akan membawa mereka ke Leipzig. FV Karlsruhe dijadwalkan berhadapan dengan DFC Prag di sana dalam lanjutan kompetisi sepak bola Jerman. Ini adalah tahun pertama Jerman memiliki kompetisi resmi.
FV Karlsruhe sendiri bisa dibilang merupakan salah satu kandidat kuat juara. Mereka adalah juara bertahan South German FA selama tiga tahun berturut-turut. Bahkan setahun sebelumnya, mereka berhasil membantai DFC Prag dengan skor 9-0. Oleh karenanya, rasa percaya diri menggelora di dada para pemain Karlsruhe menghadapi pertandingan kali ini.
Namun pada saat masih menunggu kereta, mereka mendapatkan sebuah telegram yang berisi, “Pertandingan ditunda. Berita lebih lengkap akan diinformasikan kemudian.” Para pemain pun pulang ke rumah masing-masing dan menunggu kabar selanjutnya.
Sementara itu, para pemain DFC Prag sudah berada di Leipzig dan menunggu kedatangan lawan mereka. Karena tak kunjung datang, maka Asosiasi Sepak Bola Jerman memutuskan untuk mendiskualifikasi FV Karlsruhe. Sampai detik ini tidak ada yang tahu siapa yang sesungguhnya mengirimkan telegram palsu tersebut.
DFC Prag sendiri akhirnya terus melaju sampai ke babak final. Namun di laga pamungkas yang digelar di Hamburg, mereka takluk dari VfB Leipzig dengan skor 7-2. Data resmi Asosiasi Sepak Bola Jerman menyatakan sekitar 2,000 orang datang menyaksikan pertandingan final tersebut, meskipun sejumlah peneliti mengatakan yang hadir hanya sekitar 500 orang.
Sekarang kita masuk pada kisah kedua. Sebuah kisah yang terkubur kebenarannya selama kurang lebih 35 tahun. Cerita ini berawal pada suatu malam di bulan Februari 1976 ketika Heinz Höher bergegas dari rumahnya menuju Stadion Bochum.
Höher sendiri merupakan pelatih Bochum yang masih berusia 37 tahun. Malam itu ia mengemban sebuah misi penting. Meskipun cuaca buruk, ia tiba di stadion kurang dari 15 menit.
Dengan dibantu oleh dua orang staf klub Bochum, August Liese dan Erwin Höffken, Höher melakukan serangkaian aktivitas yang cukup absurd: mengambil air di kamar mandi menggunakan ember, membawanya ke area kotak pinalti dan kemudian menyiramkan air tersebut ke sekeliling kotak pinalti.
Begitu terus hingga seluruh kotak pinalti selesai disiram air. Mereka melakukan hal ini di atas lapangan yang sedang ditutupi salju dan suhu ketika itu di bawah nol derajat. Ketiganya ingin agar salju tetap menutupi lapangan sampai keesokan harinya. Tugas berat tersebut berhasil mereka selesaikan hingga tengah malam.
Sehari kemudian, 16 Februari 1976 sejumlah pihak mendatangi Stadion Bochum untuk memeriksa apakah lapangan bisa digunakan untuk menggelar pertandingan antara Bochum dengan rival mereka, Schalke. Menurut jadwal, laga panas ini akan dilangsungkan pada tanggal 17 Februari 1976.
Di antara mereka yang hadir antara lain Dr. Johannes Freimuth, seorang pejabat administrator olah raga, Walter Mahlendorf, salah satu petinggi di bidang olah raga di kota Bochum dan tentu saja Max Merkel, manajer Schalke 04.
Setelah melihat bahwa lapangan masih ditutupi salju termasuk di daerah kotak pinalti, mereka sepakat bahwa pertandingan harus ditunda. Media segera diinformasikan perihal penundaan pertandingan tersebut. Salah satu media menulis, “Manajer Schalke Max Merkel mengatakan bahwa lapangan bisa dipakai untuk bermain ski tapi tidak sepak bola.”
Höher dan presiden Bochum, Ottokar Wüst menyambut gembira keputusan tersebut karena sesungguhnya hal itu selaras dengan rencana mereka untuk menunda pertandingan. Alasannya adalah agar Bochum bisa mendapatkan uang lebih banyak dari partai derbi kontra Schalke.
Dengan penundaan ini, berarti pertandingan bisa digelar di Dortmund pada bulan April mengingat Stadion Bochum pada saat itu sedang mengalami perbaikan. Renovasi total stadion yang berlokasi di Castroper Strasse tersebut dimulai pada 7 Maret 1976 dan membuatnya harus ditutup selama empat bulan penuh.
Stadion Dortmund bisa menampung hingga 54,000 penonton sedangkan di Bochum hanya sebanyak 20,000 orang. Pemasukan tertinggi mereka pada saat matchday di Bochum adalah 150,000 marks. Bandingkan dengan nilai sekitar 400,000-500,000 marks yang bisa mereka raih jika pertandingan digelar di Dortmund. Angka ini jelas signifikan untuk menolong kondisi keuangan klub yang budget tahunannya hanya sekitar 3,5 juta marks.
Bochum kalah 1-4 dari Schalke pada laga derbi yang akhirnya dilangsungkan di Dortmund. Namun itu tidak menjadi soal bagi duo Höher dan Wüst. Sang presiden bahkan sempat keceplosan pada konferensi pers pascapertandingan dengan berkata, “Terima kasih kepada Höher atas keberaniannya melepaskan kesempatan bertanding di kandang sendiri untuk sebuah pertandingan penting melawan Schalke.”
Wartawan sempat bingung dengan pernyataan Wüst. Keberanian? Keberanian apa? Bukannya pertandingan ditunda semata-mata karena lapangan tertutup salju? Namun wartawan tidak menggali lebih dalam kejanggalan yang sempat mereka rasakan.
Rahasia ini tersimpan rapi hingga puluhan tahun kemudian. Wüst, Liese dan Höffken membawa cerita ini sampai mereka meninggal dunia. Namun akhirnya Höher memutuskan untuk membuka kisah ini pada tahun 2011.
Author: Bram Sitompul (@brammykidz)
Pemain sayap kiri. Penikmat Bundesliga. Penulis buku “Bayern, Kami Adalah Kami”