Penghujung 2016 sudah di depan mata dan tahun baru 2017 akan menyambut. Pertanyaan penting seusai hype AFF 2016 berakhir adalah mau kemana sepak bola Indonesia?
Dalam berita di Jawa Pos per 20 Desember 2016, tiga hari usai malam sendu di Bangkok, ketua umum PSSI yang baru, Edy Rahmayadi, mengeluarkan pernyataan yang unik dan cukup menggelikan sejujurnya bagi saya. Saya kutipkan penuh ucapan beliau seperti ditulis Jawa Pos, “Masih ada banyak waktu untuk mempersiapkan tim menjelang SEA Games 2017 nanti. Kami punya waktu sekitar delapan bulan.”
Entah apa yang sebenarnya dikerjakan para pengurus federasi, tapi menargetkan emas SEA Games 2017 bukanlah target yang bijaksana walau terdengar realistis. PSSI harus dan wajib hukumnya untuk belajar memahami bahwa sepak bola dengan target jangka pendek hanya untuk euforia jangka pendek pula.
Sebenarnya yang ditakutkan dari “keberhasilan” timnas Indonesia melaju hingga final AFF 2016 adalah perasaan jumawa yang diam-diam merasuk ke benak para suporter. Atau lebih sialnya lagi, merasuk ke benak para elit di federasi. Terutama, bagi bapak Ketum PSSI. Ada kalimat penuh racun di balik kata-kata “Dengan pembatasan dua pemain per klub saja kita bisa masuk final” atau “Dengan persiapan minim saja kita mampu menembus final, apalagi kalau kita persiapan selama delapan bulan.”
Perlu digarisbawahi dan dipahami dengan baik bahwa lolos ke final AFF 2016 dengan segala keterbatasan bukanlah prestasi. Menyebut itu kebahagiaan bagi rakyat tentu benar. Tapi membuat capaian itu sebagai patokan kesuksesan sama saja percaya bahwa sekali lagi, sepak bola Indonesia tidak akan pernah kemana-mana. Tidak sekarang. Tidak juga lima tahun depan. Lalu kapan kita mulai berani menggantung mimpi untuk lolos ke Piala Dunia? Atau perlu menunggu kawan saya, Sirajudin Hasbi, naik sebagai Ketum PSSI?
Perspektif dalam menata sepak bola Indonesia
Saya sedikit curiga bahwa alasan kenapa sepak bola kita tidak pernah maju adalah pepatah klasik yang kerap diajarkan orang tua sejak dini. Pepatah yang kurang lebih berbunyi, “Jangan tengok ke atas untuk mensyukuri hidup, karena menengok ke bawah adalah sebaik-baiknya cara untuk bersyukur.” Pepatah yang sekilas bijak namun menyimpan racun yang mematikan.
Racun itu membunuh rasa untuk lapar akan prestasi dan mematikan hasrat untuk kompetitif. Sekarang pertanyaannya sederhana, di konteks sepak bola ASEAN, siapa yang harus Indonesia lihat sebagai patokan sukses atau tidaknya prestasi sepak bola nasional kita? Apa kita mau melihat ke bawah, menengok Laos dan Kamboja yang untuk ke AFF saja harus kualifikasi dahulu? Atau, kita mau menengok lebih ke atas, melihat Thailand?
Ini yang perlu diresapi baik-baik dan dipahami dengan paripurna oleh para elit pengurus federasi dan pengurus klub. Mereka harus tahu bahwa selain prestasi yang harus dikejar oleh klub, klub dan federasi punya tanggung jawab untuk keberlangsungan sepak bola negara kita. Tanggung jawab itu bernama pembenahan dan regenerasi.
Apa yang dibenahi dan diregenerasi?
Satu hari usai berita menggelikan perihal ucapan Jenderal Edy di Jawa Pos, kawan saya yang lain, Bram Sitompul, menuliskan nukilan yang lugas dan asyik di Fandom perihal jalan panjang Jerman hingga menjadi salah satu hegemoni besar sepak bola dunia.
Tidak hanya menyentil proses pengembangan sepak bola Indonesia, Mas Bram dengan runut dan rapi menjabarkan bahwa apa yang diketahui banyak orang bahwa sepak bola Jerman membaik pasca kegagalan di Euro 2000 adalah kesalahan. Bahwa sejatinya, sepak bola Jerman sudah berevolusi berpuluh-puluh tahun sebelum tahun 2000. Kegagalan di Euro 2000 adalah titik balik, bukan titik awal. Itu yang beliau tegaskan di artikelnya.
Pertanyaan selanjutnya, seandainya AFF 2016 digunakan patokan capaian prestasi timnas kita, apakah kita akan menyebutnya sebagai titik balik atau titik awal?
Jawabnya tentu bergantung pada bagaimana kebijakan pengurus federasi, sebagai contoh, satu hal yang harus segera diputuskan adalah siapa pelatih timnas selanjutnya. Tetap Alfred Riedl, satu-satunya pelatih yang cukup gila mau menangani timnas dengan setumpuk masalah ini, atau mencari pelatih lokal dengan ide baru yang segar dan rasa lapar akan prestasi yang membara.
Kiatisuk Senamuang bagi Thailand adalah contoh paling baik dari contoh pelatih dengan tipikal yang saya sebutkan.
Setelah memiliki pelatih dan susunan kepelatihan yang jelas bagi timnas, PSSI (harusnya) mulai membuat cetak biru proyek ambisius untuk membangun sepak bola lokal. Mulai dari akademi, lisensi untuk semua pelatih, kompetisi untuk pemain yunior, pengembangan pemain muda, dan ini yang paling utama, mengadakan kembali roda kompetisi yang diurus secara profesional dan tepat guna. Sudah cukup kebodohan dan kebebalan di sepak bola kita dengan absennya klub-klub di Indonesia di turnamen lintas negara.
PSSI perlu dan harus susah payah turun ke pelosok, dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Kepulauan Rote, menjelajah tiap inchinya daerah-daerah itu guna menemukan bakat-bakat terbaik sepak bola kita. Berat, ya? Jelas bung, tidak ada namanya membangun sesuatu yang dimulai dari nol selalu mudah. Tolong ya, PSSI, tolong, membangun sepak bola tidak pernah semudah dan seinstan memasak sebungkus Pop Mie atau Indomie instan di rumah kala lapar di tengah malam.
Kalau Thailand saja sudah menargetkan lolos ke Piala Dunia dan berani bermain serta meladeni bocah-bocah top di Asia dengan gagah berani dan taktis, hanya sekadar menargetkan emas SEA Games 2017 di Malaysia cukup membuat saya tersenyum sinis, sambil bersiap patah hati kembali tiap kali timnas kalah dan gagal.
Dengan target jangka pendek di tiap tahunnya, dalam seribu tahun sekalipun, sepak bola Indonesia tidak akan berada di level yang dicapai Thailand saat ini. Jadi, demi martabat bangsa, apa resolusi tahun barumu untuk sepak bola negara tercinta kami, Bapak Pangkostrad sekaligus Ketua Umum PSSI, Edi Rahmayadi yang terhormat?