Menangis adalah perkara sederhana yang kerap dipersulit pemaknaannya karena sebuah gengsi. Padahal menangis, juga tertawa dan tersenyum adalah reaksi universal manusia di dunia. Menangis bahkan tidak hanya dilakukan manusia. Saya acap menemukan beberapa kali anjing dan kucing yang kedapatan menangis walau keterbatasan bahasa di antara kami menghalangi niatan untuk menanyakan sebab kenapa si anjing menangis sesenggukan.
Dalam beberapa budaya di berbagai belahan dunia, menangis dipahami sebagai sebuah ekspresi kultural. Ia bisa menembus ke dalam relung kajian budaya dan menelisik lebih dalam ke hal itu akan menunjukkan fakta bahwa kamu sedang berupaya memahami budaya menangis di tiap bangsa dan kebudayaan. Beberapa riset membuktikan masyarakat di Amerika Latin cenderung lebih banyak menangis daripada masyarakat di Eropa.
Pengaruh manusia menangis pun beragam. Bisa karena putus cinta, karier pekerjaan yang mentok, tekanan hidup yang masif hingga sepak bola. Saya tidak bilang bahwa sepak bola adalah satu-satunya cabang olahraga yang kerap kali berderai air mata, namun karena cabor ini adalah salah satu olahraga populer di kolong langit, kita kerap kali merasa bahwa menangis karena sepak bola adalah sesuatu yang mewah.
Tidak perlu gengsi atau malu. Kita menemukan keterikatan dalam air mata di sepak bola karena identitas kultural dan sense of belonging yang sama. Sebagai contoh, kita akan mampu memahami kenapa Lionel Messi, alien Neptunus yang mendarat di Argentina dan menyebarkan fatwa di Catalan, menangis sesenggukan usai kalah dari Chile di Copa America Centenario bulan Juli lalu. Air mata Messi bisa dipahami karena dengan derai air dari kedua mata Messi itulah kita merasa begitu dekat dengan si pesepak bola dan dengan sepak bola itu sendiri.
Banyak pemain top dunia yang menangis usai menerima kekalahan atau pun saat meraih kemenangan. Menangis tak melulu soal derita nestapa dan kegelisahan karena kekalahan. Anda tentu masih ingat derai air mata Cristiano Ronaldo usai gol tunggal Eder memastikan Portugal meraih gelar prestisius pertamanya sepanjang sejarah di Piala Eropa 2016 lalu.
Atau air mata haru Roy Keane kala Republik Irlandia memastikan melaju ke babak 16 besar di turnamen yang sama. Walau harus diakui, menyaksikan seorang Roy Keane menangis memberi Anda perasaan yang sulit dideskripsikan dengan banyak kata. Pria yang mematahkan tulang fibula Alf-Inge Haland dan tidak merasa bersalah sama sekali setelahnya saja bisa menangis, apalagi kita, manusia biasa yang fana.
Dan di titik itulah, bagi saya, menangis membawa dimensi baru yang unik sekaligus abstrak di sepak bola. Ia hadir sebagai reaksi yang sendu, namun di sisi lain, membawa rasa bahagia dan menumbuhkan keyakinan besar bahwa di tengah himpitan zaman yang semakin individualis, air mata menunjukkan bahwa nyatanya, manusia masih memiliki empati untuk berbagi tangis dan tawa, khususnya di sepak bola.
Dan kemarin malam (17/12), untuk pertama kalinya dalam satu dekade terakhir, saya kembali menangis karena sepak bola.
Timnas Indonesia tumbang, kami merana
Perkenalan saya dan jatuh cinta setelahnya dengan timnas Indonesia, saya kira sejalan dengan apa yang difatwakan Nick Hornby dalam kitab sucinya, Fever Pitch, sebagai cara yang ia sebut inexplicably dan uncritically. Saya jatuh cinta bukan hanya karena saya berbahasa dan berbangsa satu sebagai Indonesia, tapi lebih dari itu, sepak bola Indonesia menjadi simbol kebanggaan yang hakiki.
2004 penanda awalnya. Sekaligus pengkultusan di memori bahwa dengan itu kemudian, di 2016 kini, saya mengingat Boaz Solossa dalam tiga sosok pemain sepak bola. Sebagai wonderkid, kapten timnas dan legenda Indonesia. Generasi di atas saya berbangga mengenal Kurniawan Dwi Yulianto hingga Widodo Cahyono Putro.
Mengenang Boaz dalam tiga karakter itu membuat saya punya tabungan memori kelak ketika seseorang bertanya siapa penyerang hebat di era saya muda, saya bisa lantang menyebut nama Bochi sebagai yang terdepan.
Dua belas tahun setelahnya, Indonesia saya tak kunjung juara. Dibanding anak-anak lain seusia, menyukai Indonesia hadir lebih dulu sebelum saya kemudian memiliki tim pujaan di sepak bola Eropa seperti manusia normal pada umumnya. Dibanding meratap demi klub pujaan, nestapa saya banyak tersedot habis untuk Indonesia.
Hidup sebagai penggemar sepak bola di Indonesia, di satu titik, ada pada nilai takar yang sama dengan apa yang dialami saudara-saudara kita di wilayah konflik yang rentan perang. Dalam bahasa sendu, kita seirama dan satu bahasa. Dalam air mata, kita berbagi sendu, tangis hingga harapan. Bukankah wajar usai tangis berderai karena melihat Indonesia kalah di final, kerap kali kita dipaksa kembali bangkit untuk berharap lagi dan lagi?
Tahun ini pun, hasilnya sama. Menutup tahun dengan harapan dan dijawab dengan realita yang kejam yang kita semua tahu hasilnya dalam lima kali final AFF terakhir yang dilakoni Indonesia: Sebuah elegi untuk kekalahan yang menyesakkan.
Bagi beberapa orang, menangis adalah kemewahan. Dan menangis untuk kegagalan Boaz Solossa dkk. tahun ini adalah bagian dari kemewahan itu. Saya tersanjung juga bahagia bisa berbagi tangis dengan Hansamu Yama Pranata, Stefano Lilipaly dan puluhan pemain lainnya di timnas. Karena dengan air mata itu, kami merasa sama, merasa satu, sebagai bangsa Indonesia.
Menangislah bila memang saatnya untuk menangis, karena sepak bola adalah dimensi paralel dimana semua ekspresimu adalah baik dan benar, kecuali kekerasan dan rasisme.