Nasional Bola

Dagelan PSSI di Babak 8 Besar Liga 2

Ketimbang asosiasi-asosiasi sepak bola dari negara lain, PSSI sebagai pemegang kuasa atas segala hal tentang sepak bola Indonesia lebih dikenal dengan hobi melawaknya. Sudah jadi rahasia umum, PSSI berikut ‘orang-orang kompeten’ di dalamnya seringkali membuat pencinta sepak bola nasional tertegun, geleng-geleng kepala, gemas, dan naik pitam. Terbaru, PSSI kembali memunculkan dagelannya di babak 8 besar Liga 2.

Beberapa saat setelah babak penyisihan grup Liga 2 rampung, PSSI dan PT. Liga Indonesia Baru (LIB) sebagai operator liga, mengeluarkan surat pemberitahuan terkait penyelenggaraan babak 16 besar dan 8 besar Liga 2 beserta regulasinya.

Khusus pada fase yang disebut belakangan, dalam surat tersebut juga tertera bahwa format penyelenggaraan bakal dilangsungkan dengan sistem home tournament yang mengizinkan dua dari delapan klub yang mentas di babak 8 besar Liga 2 menjadi tuan rumah kompetisi. Situasi ini pula yang lantas membuat Martapura FC, Persebaya Surabaya, Persis Solo, PSMS Medan, dan PSPS Riau mengajukan diri sebagai tuan rumah.

Menyelenggarakan babak 8 besar di tempat netral

Namun bukan PSSI namanya jika segala keputusan yang sudah dibuat tak bisa berubah di tengah jalan dan menjadi dagelan baru. Lewat Wakil Ketua Umum, Joko Driyono, PSSI justru meminta PT. LIB supaya menganulir keputusan tersebut serta menyelenggarakan babak 8 besar Liga 2 di tempat netral.

Pria yang akrab disapa Jokdri tersebut mengungkapkan bahwa keputusan ini dibuat demi menekan terjadinya kerusuhan antar-suporter seperti yang terjadi beberapa saat yang lalu dan menewaskan Banu Rusman, pendukung Persita Tangerang. Dirinya khawatir bahwa tensi dan intensitas tinggi dari pertandingan-pertandingan di babak 8 besar Liga 2 nanti justru dapat meningkatkan potensi gesekan antar-suporter..

Terus terang, pendapat yang diungkapkan oleh sosok yang kini juga duduk sebagai Wakil Presiden Federasi Sepak Bola Asia Tenggara (AFF) itu memang ada benarnya. Tapi, mengingat keputusan menyelenggarakan babak 8 besar Liga 2 dengan format home tournament telah disepakati sejak awal, perubahan ini tentu mengundang tanda tanya.

Baca juga: Sepak Bola Indonesia: 50% Rusuh, 40% Dagelan, 10% Hiburan

Terlebih, dengan ditundanya babak 8 besar Liga 2, persiapan tim-tim yang bakal berlaga jelas makin terganggu. Selain harus mengatur ulang program-program persiapannya, kondisi psikis pemain pasti akan terganggu.

Apalagi jika kepastian soal waktu penyelenggaraan 8 besar Liga 2 molor kelewat lama dan tak segera diputuskan (dalam rilis terakhir akan diumumkan pada 20 Oktober), maka beban operasional dari para kontestan sudah pasti ikut membengkak.

Serentetan momen-momen mengejutkan itu, walau sejatinya ‘hal biasa’ di kancah sepak bola kita, akhirnya kembali menelurkan banyak sekali pertanyaan di benak penikmat sepak bola Indonesia.

Mengapa PSSI dan PT. LIB tidak memutuskan bahwa laga 8 besar Liga 2 dilaksanakan di tempat netral sejak awal saja jika merasa bahwa potensi rusuh antar-suporter bakal meningkat? Mengapa harus menunggu jatuhnya korban sehingga PSSI bersikeras dan meminta PT. LIB untuk menganulir kesepakatan awal itu?

Persis Solo
Skuat Persis Solo di Liga 2 musim ini. Kredit: Persis Solo

Sanksi kepada Persis Solo

Usai keputusan sepihak nan mendadak tentang format penyelenggaraan di babak 8 besar Liga 2 yang berubah total, dagelan khas PSSI kembali meramaikan linimasa setelah muncul laporan bahwa klub kesayangan Pasoepati, Persis, mendapat sanksi. Hal itu berkaitan dengan pertandingan yang mereka lakoni di Stadion Krakatau Steel kontra Cilegon United pada 2 Oktober silam.

Dilansir dari situsweb resmi klub, ada empat pemain Laskar Sambernyawa yakni Agung Supriyanto, Irkham Zahrul, Hendri Aprilianto, dan Widya Wahyu yang dihukum tidak boleh tampil pada satu pertandingan serta mendapat denda sebesar 10 juta rupiah. Keempatnya didakwa telah melakukan pendorongan dan pengejaran terhadap wasit.

Belum cukup sampai di situ, Widyantoro, yang merupakan pelatih Persis, juga dihukum 18 bulan tidak boleh berkecimpung di kancah sepak bola nasional karena dianggap melontarkan kata-kata provokatif kepada wasit. Selain itu, pihak klub juga didenda sebesar 34 juta rupah karena suporter mereka, Pasoepati, didakwa telah membuat kericuhan saat masuk ke dalam lapangan dan mengganggu jalannya laga.

Diakui atau tidak, kehilangan empat pemain dan pelatih serta denda yang lumayan besar, sangat merugikan bagi Persis dalam upaya mempersiapkan diri bertempur di babak 8 besar Liga 2. Diakui atau tidak, hal ini seperti menggembosi kekuatan Laskar Sambernyawa yang berada satu grup dengan Kalteng Putra, PSMS, dan Martapura FC.

Wajar apabila pihak Persis dan Pasoepati bertanya-tanya perihal hukuman yang dijatuhkan Komisi Disiplin (Komdis) PSSI. Apalagi Persis dilarang mengajukan banding ke Komisi Banding (Komding) terkait hukuman denda dan empat pilarnya yang dipaksa absen itu.

Berulangnya kejadian-kejadian seperti ini tentu membuat kredibilitas PSSI dan orang-orang yang ada di dalamnya senantiasa dipertanyakan. Benarkah organisasi yang sudah berusia 77 tahun ini sehat dan jauh dari konflik kepentingan? Sudahkah organisasi ini kompeten untuk mengurusi sepak bola Indonesia dan menyelesaikan segala permasalahan yang sialnya, juga banyak muncul akibat kelakuan mereka sendiri?

Amat wajar rasanya bila kemudian para pencinta sepak bola nasional kerap su’udzon dengan performa PSSI. Karena sepanjang berdirinya organisasi yang satu ini, masyarakat Indonesia justru lebih sering disuguhi dagelan demi dagelan khas mereka yang irasional.

Berkaitan dengan segala keruwetan yang sudah muncul jelang bergulirnya babak 8 besar Liga 2 dan kemungkinan bakal berlanjut, ada satu pertanyaan yang lantas meletup-letup di kepala saya: adakah agenda terselubung yang tengah digodok PSSI terkait babak 8 besar kompetisi Liga 2 musim ini?

Author: Budi Windekind (@Windekind_Budi)
Interista gaek yang tak hanya menggemari sepak bola tapi juga american football, balap, basket hingga gulat profesional