Eropa Jerman

Tapak Tilas Karier Emas Carlo Ancelotti dan (Para) Wanita di Belakangnya

Dari sekian banyak pelatih yang sering menangani tim-tim besar di era sepak bola modern, yang tergolong sukses dan rutin mempersembahkan gelar mengerucut hanya pada beberapa nama saja, seperti Carlo Ancelotti, Jose Mourinho, Pep Guardiola, Antonio Conte, Guus Hiddink, hingga Louis van Gaal.

Para pelatih ini, selain sukses menghadirkan trofi, juga terbukti bisa beradaptasi dengan liga di berbagai negara dengan menempatkan nama Carlo Ancelotti sebagai salah satu pelatih tersukses karena berhasil menjuarai empat liga papan atas Eropa bersama AC Milan (Italia), Chelsea (Inggris), Paris Saint-Germain (Prancis), dan Bayern München (Jerman).

Sayangnya, Ancelotti tidak sempat merasakan titel juara Liga Spanyol bersama Real Madrid karena sudah dipecat pada tahun 2015 dan “hanya” berhasil menyumbangkan gelar Liga Champions pada musim kompetisi 2013/2014. Prestasi Ancelotti sama menterengnya dengan prestasi Jose Mourinho, namun Ancelotti bisa dikatakan lebih baik karena sukses sebagai pelatih sekaligus pemain.

Romansa Ancelotti di AC Milan

Bukanlah perkara gampang menangani AC Milan yang pada waktu itu merupakan salah satu tim top Eropa. Menerima tongkat estafet kepelatihan dari Fatih Terim yang dipecat di saat kompetisi liga sedang bergulir pada musim kompetisi 2001/2002, Ancelotti mendapati dirinya hampa gelar di pengujung tahun pertamanya.

Di musim kompetisi 2002/2003, Ancelotti mulai menuai hasil yang memuaskan berkat penerapan formasi berlian 4-1-2-1-2 yang melegenda itu. Pada formasi ini, Ancelotti bereksperimen dengan menempatkan Andrea Pirlo berada persis di depan empat bek dengan peran sebagai gelandang bertahan merangkap playmaker. Peran ini kemudian dijuluki dengan istilah deep-lying playmaker.

Peran pemain nomor sepuluh diberikan kepada Rivaldo dan Manuel Rui Costa secara bergantian. Di posisi penyerang, Filippo Inzaghi dan Andriy Shevchenko menjelma menjadi duet dinamis nan mematikan di Eropa dan Italia. Di tahun keduanya ini, Ancelotti mempersembahkan gelar juara Liga Champions yang keenam bagi AC Milan.

Di musim kompetisi 2003/2004, dengan komposisi empat pemain belakang yang diisi oleh Cafu, Billy Costacurta, Alessandro Nesta, dan Paolo Maldini yang semakin padu, serta ditambah dengan kehadiran bintang Brasil, Kaka, Ancelotti berhasil membuahkan Scudetto dan menempatkan Shevchenko di daftar teratas pencetak gol terbanyak Serie A musim tersebut.

Kepergian Shevchenko ke Chelsea pada tahun 2006 membuat Ancelotti benar-benar gelisah karena berdampak pada berkurangnya kedinamisan di sektor penyerang. Alhasil, ketimbang mencari penyerang baru yang memiliki karakteristik seperti Shevchenko (cepat, pekerja keras, energik dan oportunis), Ancelotti lebih memilih membongkar ulang formasi berliannya menjadi formasi 4-3-2-1 yang di kemudian hari dikenal dengan sebutan formasi “Pohon Natal” yang meninggalkan Inzaghi sendirian di lini depan dan Clarence Seedorf serta Kaka berada di belakangnya.

Ditambah lagi dengan duet gelandang pengangkut air, Gennaro Gatusso dan Massimo Ambrosini, yang bahu membahu bersama Pirlo, membuat AC Milan memiliki lini tengah yang sangat seimbang. Bukti sahih adalah kesuksesan mereka menggondol Liga Champions yang ketujuh di tahun 2007 sekaligus menuntaskan dendam kepada Liverpool.

Previous
Page 1 / 4