Eropa Italia

Espina Clavada: Respons Juventus dan Paulo Dybala

Rasa perih itu masih sangat terasa. Paulo Dybala menyebutnya sebagai espina clavada, ‘duri dalam daging’, yang ketika mengingatnya saja, rasa ngilu terasa sampai ke tulang. Bagaimana tidak, Juventus gagal di dua final Liga Champions dalam tiga tahun. Sebuah pengalaman yang tak hanya perih, namun memalukan.

Uniknya, dua kekalahan Juventus di final dialami dari klub Spanyol. Tahun 2015, Barcelona membungkam Si Nyonya Tua dengan skor 3-1. Tahun 2017, giliran Real Madrid yang mempecundangi Juventus, lagi-lagi dengan skor mencolok, 4-1. Dua kekalahan, yang akan terus diingat Paulo Dybala dan jutaan Juventini si penjuru dunia.

Bagi Dybala sendiri, kekalahan di tahun 2017 sungguh membuat dadanya sesak. Perjalanan Juventus menuju laga puncak ia gambarkan sebagai sebuah pembuktian. Sebuah pembuktian bahwa Juventus sudah masuk dalam level elite dunia bersama Barcelona, Real Madrid, atau Bayern München.

Ketika pemain-pemain Madrid mulai merayakan kemenangan itu, separuh hati Dybala berteriak. Ia tak mau percaya bahwa ia dan timnya kalah. “Malam itu, saya terus berpikir bahwa ini hanya mimpi buruk. Saya berharap saya akan segera bangun dari mimpi buruk tersebut,” kenang Dybala kepada nytimes.com.

Yang paling diingat Dybala tentang malam yang menyesakkan itu adalah keheningan yang menjalar ke semua pemain Juventus. Di ruang ganti, tak ada yang berselera untuk mengobrol. Rekan-rekannya mulai saling berbicara ketika seluruh tim Juventus sudah kembali ke Vale Resort, hotel tim di kota Cardiff, Wales.

Sesampainya di hotel, para pemain sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Ada yang tengah mengobati luka, ada yang memilih menyendiri, dan beberapa minggu kemudian, Dani Alves mengaku terlibat perdebatan dengan Leonardo Bonucci hingga dini hari. Yang paling menyakitkan adalah, Juventus datang dengan kepercayaan yang tinggi, bahwa mereka layak menjadi juara.

Sepanjang kompetisi, Juventus tak pernah kebobolan lebih dari dua gol. Pertahanan mereka sangat solid, disesaki pemain-pemain berpengalaman berkaliber besar. Keberhasilan mereka menyingkirkan Barcelona dipuji sebagai salah satu pertunjukkan yang megah. Juventus benar-benar membuat Barcelona “tak bisa bermain”.

Namun di final, hanya dalam 45 menit, Madrid menghukum Barcelona. Durasi 45 menit tersebut bagi Dybala bukan Juventus yang bermain. “Sepanjang waktu itu menjadi 45 menit di mana kami tak menjadi diri sendiri, 45 menit yang menghancurkan semuanya.” Malam itu, Madrid memang layak menjadi kampiun Eropa.

Pemain berusia 23 tahun tersebut menggunakan kata revencha untuk menggambarkan respons dan ambisinya di Liga Champions musim 2017/2018. Kata revencha bisa diartikan secara bebas sebagai ‘pertandingan ulang’. Namun, makna yang paling tepat adalah ‘balas dendam’. Balas dendam, tajuk utama Juventus dan Dybala musim ini.

“Di sepak bola, Anda akan selalu mendapatkan kesempatan untuk balas dendam. Ada sebuah frasa dalam bahasa Argentina, espina clavada, yang berarti duri atau luka di dalam tubumu. Sebuah kondisi yang membuatmu terluka. Rasa sakit karena kalah di final akan terus ada sampai saya berhasil mengangkat piala,” tegas Paulo Dybala.

Di Serie A, boleh dibilang, Juventus berlari sendirian selama beberapa musim terakhir. Dybala merasa bahwa dahaga di Liga Champions adalah sebuah misi yang harus bisa dipuaskan. Tekad besarnya adalah respons. Sebuah jawaban tentang makna menjadi yang terbaik, bukan hanya untuk Juventus, namun untuk dirinya sendiri.

Ada sebuah anggapan yang menyebutkan bahwa suatu saat nanti, ketika keagungan Lionel Messi mulai pudar, Dybala adalah pewaris yang paling ideal. Baik untuk timnas Argentina, maupun, bisa jadi, untuk Barcelona. Apalagi ketika Neymar hengkang ke Paris Saint-Germain, anggapan tersebut semakin menguat. Barcelona memang membutuhkan Dybala.

Namun, seperti Dybala, Juventus juga merespons kegagalan di final dengan sebuah langkah yang tegas. Manajemen Bianconeri memberikan nomor punggung 10 kepada Dybala. Sebuah keputusan yang menggambarkan dua hal besar.

Pertama, Juventus tengah menjadikan Dybala sebagai sentral kerajaan mereka. Dybala akan mengenakan nomor punggung yang berarti besar di Juventus, bahkan di budaya sepak bola Italia. Rentetan pemain besar, mulai dari Michel Platini, Roberto Baggio, hingga Alessandro Del Piero pernah mengenakan nomor punggung 10.

Kedua, sikap Juventus ini menjadi jawaban yang paling jelas bahwa Barcelona harus berpikir ulang seribu kali untuk mendekati Dybala. Mengikat dengan nomor punggung keramat adalah usaha untuk secara konkret memberit bahwa si pemain tak masuk dalam daftar jual.

Pun Dybala sendiri mengakui bahwa dirinya sangat terikat dengan Juventus. Salah satu buktinya adalah tidak ada release clause di dalam kontraknya. Barcelona, atau klub mana saja yang berminat kepadanya harus melewati Juventus terlebih dahulu. Sebuah ikatan yang nyata, bahwa Dybala dan Juventus punya pikiran yang sama.

Baca juga: Calon Manusia 100 Juta Euro (Bagian 1): Paulo “La Joya” Dybala 

Paulo Dybala merespons kegagalan dengan ambisi yang menyala-nyala. Juventus merespons rasa sakit dengan mempertahankan pemain terbaiknya, sembari terus memperkuat skuat. Sebuah respons dua entitas. Respons bahwa mereka bukan pecundang.

Author: Yamadipati Seno (@arsenalskitchen)
Koki Arsenal’s Kitchen