Kolom

Pledoi untuk Alexis Sanchez dan Neymar

Ketika berusaha memetakan isi kepala Alexis Sanchez, saya sempat menulis bahwa:

Alexis tak suka stagnasi. Ia selalu ingin berkembang, menjadi pemain dengan kaliber yang lebih besar. Bukan soal perkembangan tim, namun dirinya sendiri. Bahkan, ia rela mengakhiri “impiannya” ketika sudah berseragam Barcelona. Ia tegas ingin hengkang dan mencari induk baru sebagai tempat berkembang.

Dan sayangnya, stagnasi adalah kawan akrab Arsenal. Bahkan, musim lalu, terjadi kemunduran yang tak terbantahkan, meski setelah memenangi Piala FA sekalipun. Dahulu, Barcelona menyadari sisi unik ini, yang bercokol di kepala Alexis. Mereka dengan senang hati melepasnya demi mendapatkan dana segar.

Kepindahannya ke Arsenal pun menguntungkan semua pihak. Barcelona mendapatkan dana segar, Arsenal memiliki pemain yang bisa menjadi tumpuan, dan kini, Alexis menjelma menjadi salah satu pemain yang paling diinginkan di bursa transfer. Proses kepindahan dari Barcelona ke Arsenal hanya butuh waktu satu minggu.

Kini, Alexis menunjukkan gelagat yang sama. Ia tak ingin terjebak dalam stagnansi yang menjangkiti Arsenal. Memang, sampai saat ini, Arsene Wenger nampaknya masih bisa menahan Alexis. Tapi sampai kapan? Dan apakah Alexis mau menahan diri dan memperpanjang kontraknya?

Sampai di sini, kita tak bisa menyalahkan pemain asal Cile tersebut. Keinginan untuk terus berkembang adalah salah satu misi pemain sepak bola atau secara luas bagi semua yang aktif terlibat dalam bidang olahraga. Berkembang adalah bukti dedikasi, dan menggambarkan kualitas diri si pemain.

Ketika seorang pemain ingin hengkang karena ingin terhindar dari stagnasi, pada dasarnya, kita tak bisa berbuat banyak. Bahkan, kita tak punya kuasa untuk menghakiminya, merundung, hingga mencaci dengan cap tidak setia. Sikap yang sama akan kita tunjukkan ketika tak puas dengan kerja perusahaan tempat kita bekerja.

Ini soal hasrat dan aktualisasi diri. Sebuah perusahaan dibangun dengan cita-cita yang mulia, dengan visi yang disusun dengan kalimat-kalimat indah. Namun, perusahaan tersebut tak kuasa mencapai target. Semua caranya terbukti salah, namun tak ada koreksi yang berarti. Di tengah situasi itu, ketika kita punya potensi, mengundurkan diri adalah langkah yang rasional.

Mencari lingkungan kerja yang baru, yang punya cara ampuh mencapai target adalah langkah selanjutnya. Ketika perusahaan menangguk keuntungan, kita juga yang akan merasakan nikmatnya. Pun perusahaan tersebut belajar dari kesalahannya. Mau menerima kritik karyawan dan para pemegang saham, lalu memperbaiki diri. Modal berharga di tengah palagan dunia usaha. Tak hanya guyuran materi, arena perkembangan diri tersedia dengan luas.

Maka menjadi sangat terang ketika Alexis enggan memperpanjang kontraknya. Ia tak merasa Arsenal cukup cepat untuk belajar dan berkembang. Dan yang disayangkan, Arsenal tak cukup kuat mengimbangi hasrat besar mantan pemain Udinese tersebut. Sampai di titik ini, Alexis adalah kita, yang mengharapkan yang terbaik sebagai bayaran kerja keras di sebuah perusahaan.

Memang, sikap yang menunjukkan hasrat juga menentukan. Sikap Alexis mungkin kurang elok di depan pelatih dan rekan satu timnya. Ia cukup sering menunjukkan gestur kecewa yang berlebihan, bahkan ketika ia sendiri bermain begitu buruk. Sikap ini akan membuat rekannya mengambil jarak, meski terlihat akrab di depan kamera.

Sikap hambar ini juga berpotensi membuat rekan-rekannya terlalu merasa bersalah. Sepak bola adalah ranah kolektif. Kemenangan dibangun di atas dasar 11 pemain yang berlaga. Ketika satu pemain menjadi pembeda, prosesnya pun pasti dibangun atas dasar kolektivitas. Proses membangun, dari kiper ke penyerang.

Atas dasar itulah lahir adagium klub lebih besar dari pemain. Ketika si pemain tiada, prestasi klub yang akan selalu diingat, hingga ratusan tahun ke depan. Satu pemain adalah bagian dari sebelas, bagian yang menggerakkan roda tim. Ketika ia mementingkan diri sendiri, ia akan dengan cepat ditelan oleh roda regenerasi.

Gooners bisa mencela Alexis untuk sikap buruknya. Namun pendukung Meriam London, seharusnya, tak bisa mencela keinginanya untuk menghindari stagnasi. Letakkan kaki Anda di sepatu Alexis. Rasakan pahitnya kerja keras yang tidak terbayar.

Previous
Page 1 / 2