Dunia Afrika

Janji yang Diingkari di Soweto Derby

Setelah peristiwa berdarah atas meninggalnya 42 orang tahun 1991 dan 43 lainnya satu dekade kemudian akibat terinjak-injak di dalam stadion, kedua kubu yang juga rival terbesar sepanjang sepak bola Afrika Selatan, Orlando Pirates dan Kaizer Chiefs bertekad untuk tak ada lagi korban jiwa. Salah satunya dengan menggelar laga di venue yang lebih besar, FNB Johannesburg Stadium yang punya kapasitas mencapai 94.796 penonton.

Namun, harapan hanya tinggal harapan. Derby Soweto pada Sabtu (29/7) berakhir kelabu dengan meninggalnya dua penonton akibat berdesakan di mana 17 lainnya luka-luka dan satu di antaranya kritis. “Kami berduka atas korban jiwa yang diakibatkan banyaknya orang yang bersikeras untuk masuk ke gerbang,” tulis pernyataan Pirates. “Duka cita mendalam untuk keluarga, rekan dan yang disayangi dari dua penonton yang kehilangan nyawa di stadion hari ini,” timpal Chiefs.

Meski terdapat korban jiwa dan kerusuhan di tribun, laga di atas lapangan terus berlanjut hingga dimenangkan oleh Chiefs. Pertandingan bertajuk Carling Black Label Cup Champions itu memang jadi tradisi sejak 2011 dan mempertemukan dua klub rival pada Soweto Derby, Pirates dan Chiefs, jelang Liga Primer Afrika Selatan digulirkan. Gol semata wayang Chiefs dicetak oleh Bernard Parker.

Pascalaga, pihak kepolisian langsung menggelar investigasi atas kejadian berdarah yang lagi-lagi terjadi pada Soweto Derby, yang kerap disebut sebagai denyut nadi sepak bola di Afrika Selatan. Menariknya, baik Pirates maupun Chiefs, sejatinya masih kalah mentereng dan secara jumlah trofi dari Mamelodi Sundowns. Namun, sejarah rivalitas dua klub dari Soweto, Johannesburg itu, memang selalu jadi hal yang ditunggu sepanjang musim Liga Primer Afrika Selatan.

Berawal dari pemainnya sendiri

Sejarah rivalitas antara Pirates dengan Chiefs bisa ditelisik jauh sebelum nama kedua lahir, pada 7 Januari 1970. Kala itu, Pirates diperkuat salah satu pemain terbaiknya, Kaizer Motaung, yang akhirnya hijrah ke Amerika Serikat (AS) untuk memperkuat Atlanta Chiefs, 1968 silam. Setelah kembali ke Afrika Selatan, Motaung memutuskan untuk membentuk klub sepak bolanya sendiri dengan kombinasi namanya dan klub saat di AS dan jadilah Kaizer Chiefs.

Diperkuat kombinasi pemain muda dan senior, tak butuh waktu lama bagi Chiefs untuk mendapatkan banyak penggemar. Meski awalnya kalah kualitas di atas lapangan dari Pirates, klub berjuluk Amakhosi ini perlahan bisa mengimbangi bahkan mengatasi perlawanan sang pendahulu. Kini kedua tim sama-sama mengoleksi empat trofi Liga Primer Afrika Selatan dan gelar terakhir diraih Chiefs pada musim 2014/2015 lalu.

Sepanjang perjalanan rivalitas, kedua tim kerap dikenal dengan ideologi berbeda. Pirates dengan logo seperti bendera perompak laut dan dijuluki Buccaneers, seakan mewakili golongan menengah ke bawah, sementara Chiefs dikenal lewat istilah The Glamour Boys. Hal ini yang juga kerap meruncingkan rivalitas antara kedua suporter yang tak jarang berasal dari satu keluarga.

Setelah 26 tahun tak ada tragedi besar, Soweto Derby kembali berakhir menyedihkan. Turut berduka cita atas kepergian dua suporter di FNB Johannesburg Stadium dan semoga ini adalah yang terakhir.

Author: Perdana Nugroho
Penulis bisa ditemui di akun Twitter @harnugroho