Kolom

Dongeng Mbah Budi tentang Feyenoord Rotterdam

Pada suatu hari di tanggal 19 Juli 1908, ada empat orang anak muda dari kelas pekerja yang begitu menggilai sepak bola berkumpul di sebuah pub bernama De Vereeniging. Permainan sepak bola yang memikat atensi mereka berujung pada suatu gagasan mendirikan sebuah klub di wilayah Rotterdam, Belanda. Diskusi tersebut akhirnya membuahkan hasil dengan terbentuknya sebuah tim yang bernama Wilhelmina.

Dalam perkembangannya, Wilhelmina yang awalnya berstatus amatir ini sempat berganti nama di beberapa kesempatan. Mulai dari Hillesluise FC (1909) sampai akhirnya bergabung dengan asosiasi sepak bola Rotterdam dan lantas mengubah namanya lagi menjadi Rotterdam Voetbal Vereeniging Celeritas.

Usai mendapat pengakuan resmi dari Koninklijke Nederlandse Voetbalbond (KNVB) di tahun 1912, status amatir RVV Celeritas berubah menjadi tim profesional. Mereka pun sepakat untuk mengganti nama klub sekali lagi menjadi SC Feijenoord, sesuai dengan nama distrik di mana mereka bermarkas yang terletak di Rotterdam bagian selatan.

Semenjak saat itu, Feijenoord muncul sebagai salah satu klub yang difavoritkan publik, baik tua ataupun muda, warga asli Rotterdam maupun imigran, masyarakat terdidik ataupun tidak. “Feijenoord bukan untuk kalangan tertentu” adalah salah satu filosofi yang dianut sejak tim ini didirikan.

Seperti hal yang lazim terjadi pada klub-klub sepak bola profesional yang lain, eksistensi Feijenoord di dunia sepak bola juga disertai bermacam cerita suka maupun duka. Butuh usaha hebat untuk membuat mereka tetap eksis di sepak bola Belanda. Dan keberhasilan mereka menembus kompetisi Divisi Satu Liga Belanda di tahun 1917 (kala itu Eredivisie belum terbentuk), membuat Feijenoord semakin diperhitungkan.

Eksistensi klub yang semakin menancap pada akhirnya juga ikut melahirkan sebuah rivalitas panas dengan Ajax, tim asal kota Amsterdam yang cukup sukses di era 1910-an. Didasari oleh sentimen budaya yang bertolak belakang dari kedua kota, rivalitas panas yang bertajuk De Klassieker itu pun muncul serta abadi sampai detik ini.

Perjuangan siang dan malam yang mesti dilakukan oleh Feijenoord untuk mencapai kesuksesan baru terjawab di musim 1923/1924. Kala itu, Feijenoord sukses menggondol trofi juara liga mereka untuk kali pertama sepanjang sejarah. Sebuah pencapaian yang membuat orang-orang Rotterdam yang mayoritas kaum pekerja berpesta pora.

Rupa-rupanya, prestasi tersebut hanyalah titik awal dari sejumlah prestasi lain yang kemudian digapai oleh klub dengan seragam khas separuh merah dan putih itu. Tak berselang lama, Feijenoord kembali mengukir prestasi dengan menjadi juara liga di musim 1927/1928 dan raihan trofi Piala Belanda pada musim 1929/1930. Prestasi manis itu pula yang membuat nama Feijenoord semakin meroket dan menjadi pesaing serius bagi Ajax dan PSV Eindhoven yang saat itu berkuasa.

Setelah mengalami era paceklik gelar juara selama dua dekade (1940-an sampai 1950-an), Feijenoord perlahan-lahan bangkit di tahun 1960-an. Dimotori nama-nama seperti Cor van der Gijp, Eddy Graafland, Gerard Kerkum, Coen Moelijn, Piet Romeijn dan Hank Scouten, Feijenoord sukses keluar sebagai kampiun Liga Belanda sebanyak tiga kali dan sekali merebut gelar Piala Belanda dalam rentang 1960-1965.

Pencapaian gemilang itu berlanjut di era Joop van Daele, Willem van Hanegem, Rinus Israël, Wim Jansen, Ola Kindvall dan Eddy Treijtel yang menghadiahkan sejumlah gelar bergengsi dalam kurun 1968-1975. Masing-masing berupa tiga gelar Liga Belanda dan masing-masing satu titel Piala Belanda, Piala Champions (kini Liga Champions), Piala UEFA (sekarang Liga Europa) dan Piala Interkontinental (kini Piala Dunia Antarklub). Periode ini pun kerapkali disebut sebagai masa keemasan Feijenoord di kancah sepak bola.

Pada era 1970-an pula, Feijenoord secara resmi mengubah namanya menjadi Feyenoord Rotterdam. Alasan dari perubahan ini adalah sulitnya orang-orang non-Belanda untuk melafalkan “ij” yang ada terselip pada nama Feijenoord. Nama Feyenoord lantas digunakan sampai hari ini.

Bertolak belakang dengan era sebelumnya, periode 1980-an berjalan kurang baik bagi Feyenoord. Melesatnya performa Ajax dan PSV kala itu membuat mereka tertinggal dan sulit bersaing. Praktis, Feyenoord hanya mampu menggondol satu gelar Liga Belanda dan sepasang Piala Belanda di periode ini.

Menurunnya prestasi Feyenoord di masa ini juga banyak dipengaruhi oleh kendala finansial yang mencekik mereka. Bangkrutnya HCS yang menjadi sponsor utama klub ikut berperan atas masalah tersebut.

Beruntung klub yang bermarkas di Stadion De Kuip ini bisa kembali ke trek yang benar di era 1990-an setelah melakukan pembenahan masif, khususnya di sektor finansial. Walau masih tertinggal dari Ajax dan PSV, setidaknya Feyenoord tetap bisa mencuri dua titel Liga Belanda dan empat Piala Belanda.

Namun, badai kembali datang menerpa klub yang satu ini begitu memasuki milenium baru. Meski punya skuat yang cukup baik dan juga dilatih juru taktik handal, Feyenoord cuma bisa membawa pulang dua buah trofi juara ke Rotterdam yaitu Piala UEFA 2001/2002 dan Piala Belanda 2007/2008.

Kondisi itu diwarnai pula oleh masalah keuangan yang lagi-lagi datang mendera. Seringnya mereka menjual para pemain penting dan ketidakmampuan mencari pengganti sepadan karena keterbatasan dana membuat sinar Feyenoord meredup.

Masalah finansial yang diderita Feyenoord baru usai di penghujung tahun 2011. Walau begitu, neraca keuangan yang belum betul-betul sehat memaksa Feyenoord menerapkan kebijakan memboyong pemain-pemain muda berharga murah untuk dipoles, dijadikan pemain andalan serta dilego apabila harganya sesuai. Keadaan tersebut berlangsung sekurangnya tiga musim.

Manajemen De Trots van Zuid, julukan Feyenoord yang bermakna Kebanggaan Orang-Orang Dari Selatan, akhirnya menyasar satu hal yang dianggap bisa membuat mereka lebih baik di masa mendatang. Hal itu adalah stabilitas, baik di sisi teknis maupun non-teknis.

Kesungguhan pihak manajemen dalam menanamkan stabilitas di semua aspek itu pun mulai berbuah di musim 2016/2017 kemarin. Untuk pertama kalinya dalam dua dasawarsa, Feyenoord akhirnya kembali jadi kampiun Liga Belanda serta berhasil mengangkangi Ajax dan PSV. Gelar itu sendiri merupakan yang ke-15 di sepanjang sejarah klub.

Torehan apik ini tentu saja membesarkan asa Feyenoord untuk semakin berprestasi di masa yang akan datang. Terlebih, skuat Feyenoord saat ini diisi banyak figur potensial seperti Sven van Beek, Jan-Arie van der Heijden, Nicolai Jorgensen dan Tonny Vilhena, walau musim depan harus kehilangan sosok berpengalaman dalam diri Dirk Kuyt yang memutuskan pensiun.

Dan tepat hari ini, Feyenoord merayakan ulang tahunnya yang ke-109. Bukan usia sembarangan bagi salah satu klub sepak bola paling beken di tanah Belanda. Tantangan akan terus datang silih berganti namun Feyenoord akan terus berupaya untuk eksis dan senantiasa mempersembahkan prestasi gemilang bagi pendukung setianya.

Gefeliciteerd De Trots van Zuid!

Author: Budi Windekind (@Windekind_Budi)
Interista gaek yang tak hanya menggemari sepak bola tapi juga american football, balap, basket hingga gulat profesional