Suara Pembaca

Orang Dewasa dan Ihwal Kegagalan Timnas U-16

Hasil sukses di gelaran Tien Phong Plastic Cup 2017 bulan lalu, seakan tak berarti apa-apa. Di Piala AFF U-15, yang masih berlangsung hingga saat ini, Timnas U-16 tampak kepayahan. Seolah tenaga punggawa Garuda Muda habis terkuras pada pagelaran sebelumnya. Rendi Juliansyah dan kawan-kawan hanya mendapatkan satu poin dari empat pertandingan. Dan parahnya, malah hancur lebur di tangan tetangga bagian selatan, Australia.

Mustahil bila mengharapkan mereka lolos ke fase berikutnya. Satu pertandingan sisa melawan Singapura, tak berarti lagi. Jika pun menang, hanya akan jadi pembahagia sementara sebelum bertolak kembali ke Jakarta. Skuat asuhan Fachri Husaini harus menerima kenyataan bahwa anak-anak muda ini harus lebih banyak belajar. Salah satunya soal kegagalan.

Di usia yang masih sangat belia, apalagi berada pada tahap perkembangan, tim anak muda ini harus lebih banyak menikmati kegagalan. Menikmati dalam artian, bahwa proses demikian bisa menjadi peletup semangat untuk bangkit, belajar lebih banyak dan berusaha memperbaiki kegagalan yang diraih sebelumnya. Kegagalan mesti dimaknai sebagai satu tahap menuju level yang lebih tinggi.

Proses tersebut tidaklah berlangsung dalam waktu sebentar apalagi bila hanya dibebankan pada anak-anak muda saja. Faktor penting adalah soal orang dewasa. Orang-orang yang bersentuhan langsung dengan mereka, baik para orang tua, manajemen kepelatihan Timnas U-16, hingga perangkat terbesar, yakni PSSI.

Sama halnya di lingkungan pendidikan pada umumnya, mereka mesti membimbing anak-anak muda ini untuk terus berkembang, bukan malah menaruh beban terlampau tinggi di pundaknya, lantas menyuruh untuk berjalan sendirian.

Tengoklah ke tahun 2013 lalu, saat Timnas U-19 menjuarai Piala AFF U-19, dan beberapa waktu kemudian lolos ke gelaran Piala Asia U-19. Anak-anak muda asuhan Indra Sjafri, disanjung dan diberi harapan sedemikian tinggi. Media menyorot mereka terlampau gemerlap. Beberapa anggota skuat, “dipaksa” menjadi bintang iklan, menikmati gemerlap dunia showbiz. Tur pertandingan ke sana kemari, keliling Indonesia, bahkan ke luar negeri. Ekspektasi masyarakat terlampau besar dan harapan berubah jadi bencana. Hasilnya, pada gelaran Piala Asia U-19, Evan Dimas dan kolega hanya sekedar iklan yang mereka bintangi di layar kaca, lewat begitu saja.

Jika tak ingin bernasib seperti anak asuhan Indra Sjafri, para orang dewasa yang terkait langsung dengan Timnas U-16 semestinya sedikit menjauhkan anak-anak muda ini dari media, yang memang gemar mempopulerkan seseorang, sebagai jualan yang layak di jagat pemberitaan.

Fachri Husaini sudah mengingatkan soal ini sebelum memberangkatkan anak asuhnya ke Thailand seperti dikutip oleh Bola.com, “Kita semua bisa melihat banyak pemain muda yang lebih hebat di media ketimbang di lapangan hingga akhirnya ketika di usia 20 tahun, selesai main sepak bolanya. Saya tidak pernah mengizinkan hal tersebut terjadi di dalam tim saya selama saya yang menjadi pelatih tim ini.”

Pola asuh dan sistem pembinaan adalah hal yang sangat riskan untuk diperbaiki bagi perkembangan pesepak bola muda di Indonesia. Bukan rahasia lagi, jika sepak bola Jerman merupakan yang terbaik perihal demikian. Asosiasi sepak bola Jerman yang mampu bersabar dan serius mengelola sistem pembinaan pemain muda lalu menuai hasilnya setelah satu dekade.

Anak-anak muda asuhan coach Fahri masih punya perjalanan yang panjang. Dan orang dewasa yang sedikit banyak akan menentukan ke mana arah perkembangan mereka. Menghujat mereka ketika mengalami kegagalan seperti sekarang, bukanlah cara mendidik yang baik. Apalagi memuja setinggi langit jika mereka menuai keberhasilan, hanya akan membuat mereka terbuai kemenangan sesaat.

Orang dewasa yang harus mampu bersabar dan menghargai proses, lebih banyak dari anak-anak muda tersebut. Jika orang dewasa gagal melakukan hal demikian, tak ayal generasi anak muda ini juga akan bernasib sama seperti yang sebelumnya. Sama-sama tak bisa bersabar dan menaati proses.

Di negera yang berada pada level fanatisme sepak bola sangat tinggi seperti Indonesia, kegagalan memang hal yang memuakkan. Tapi jangan sampai harapan selalu berubah jadi bencana dan setiap kemenangan disulap jadi iklan sosis ayam.

Author: Ilham Bedewe IB (@BedeweIb)