Suara Pembaca

Women’s Euro 2017 dan Sepak Bola Wanita yang Gagal Meriah di Indonesia

Ada dua fakta yang tidak dapat kita sangsikan: Pertama, sepak bola adalah olahraga nomor satu yang digandrung di kolong jagad ini. Kedua, Indonesia merupakan negara dengan penduduk keempat terbanyak di dunia, di bawah Cina, Amerika Serikat (AS) dan India.

Lantas apa hubungan sepak bola dan jumlah penduduk? Ya, tentu saja ada karena sepak bola menjadi hiburan utama bagi para penduduk bahkan lebih intim lagi, jika kita kerap mendengar bahwa menonton sepak bola adalah hiburan bagi sebuah keluarga.

Keempat negara di atas sama-sama menggilai sepak bola dengan cara mereka masing-masing. Mungkin kemiripannya bisa kita lihat dari segi bisnis di mana keempat negara sama-sama bersaing mendatangkan pemain bintang ke liga sepak bola laki-laki mereka.

Lihat saja Major League Soccer (MLS) yang memulainya di tahun 2007 sehingga muncul istilah Beckham’s effect kala sang bintang asal Inggris merapat ke Los Angeles Galaxy. Lalu klub-klub Chinese Super League yang ramai mendatangkan beberapa bintang Eropa seperti Hulk, Oscar, Axel Witsel dan Graziano Pelle. Juga India dengan Indian Super League dan baru-baru ini Indonesia lewat Liga 1-nya juga tak mau ketinggalan unjuk gigi dengan hadirnya para marquee players.

Tak ada juga yang menyangsikan kegilaan masyarakat Indonesia terhadap sepak bola karena saban hari, bocah-bocah di kampung selalu memainkan si kulit bundar hingga azan Maghrib menjelang. Fanatisme menjalar tak hanya di stadion, tapi juga di luar stadion, yang terkadang jadi buta sehingga muncul tindak anarki. Namun ada sedikit noda di balik itu semua. Adakah minat masyarakat Indonesia untuk menggandrungi sepak bola perempuan?

Sepekan jelang Women’s Euro yang gagal meriah

Setahun lalu di Prancis, turnamen empat tahunan antarnegara di benua Eropa, UEFA European Championship atau lebih dikenal dengan sebutan Euro (Piala Eropa), resmi digelar. Gegap gempitanya terasa hingga bumi Nusantara, banyak kafe-kafe mulai berhias dengan ornamen serba biru yang jadi warna utama kostum tim Prancis yang juga jadi warna utama gelaran yang memperebutkan trofi yang dulunya bernama trofi Henry Delaunay tersebut.

Iklan-iklan di salah satu grup televisi swasta pemegang hak siar pun terus disajikan. Semua surat kabar dan juga portal berita daring (online) juga tiada henti memberikan sejumlah info dan prediksi, begitu juga pasar-pasar judi.

Itulah gambaran kegilaan orang Indonesia terhadap sepak bola, apalagi turnamen besar seperti Piala Dunia dan Piala Eropa. Belum lagi jika tim nasional laki-laki bermain di level apapun. Ya, itulah kegilaan yang tidak ditemukan ketika ada even sepak bola perempuan.

Eh, memangnya ada yang peduli? Mungkin saja, tidak banyak penikmat sepak bola perempuan di Indonesia, pun karena penggiat dan pelaku sepak bola perempuan di Indonesia tidak banyak yang mengenal alias mereka banyak bergerak di level grassroot atau “bawah tanah”.

Sepekan jelang Women’s EURO 2017 yang akan digelar di Belanda pada 16 Juli hingga 6 Agustus mendatang, seluruh negara peserta bersiap. Tak hanya itu, para suporter pun ramai-ramai datang ke negara yang pernah menjajah Indonesia ini. Tak hanya wanita, pun banyak pria yang datang meramaikan turnamen yang juga dilaksankan secara empat tahunan ini. Ya, karena ini adalah hiburan.

Namun, hal tersebut tidak terasa sampai ke Indonesia, apakah karena kurangnya minat atau mungkin kurangnya pemberitaan?

Previous
Page 1 / 2