Eropa Prancis

Menanti Karya Claudio Ranieri di Nantes

Apabila dikomparasi dengan empat liga teratas di benua Eropa yang lain (Bundesliga Jerman, La Liga Spanyol, Liga Primer Inggris dan Serie A Italia), bisa dikatakan bahwa Ligue 1 Prancis merupakan yang paling kompetitif dan jauh dari kata dominasi kubu tertentu. Realita tersebut bisa Anda simak dari daftar klub-klub yang pernah memenangi kompetisi nomor wahid di Negeri Anggur ini.

Sampai hari ini, satu-satunya tim yang punya koleksi gelar juara Ligue 1 sebanyak dua digit hanyalah Saint-Etienne. Nahas bagi Les Verts, julukan Saint-Etienne, upaya mereka untuk menambah pundi-pundi gelarnya sering terbentur oleh tantangan serius dan konsistensi dari para rival klasik seperti AS Monaco, FC Nantes, Girondins de Bordeaux dan Olympique Marseille. Ditambah dengan degradasi performa yang dialami Les Verts sejak pertengahan 1980-an, semakin mempersulit usaha mereka.

Sialnya, kata dominasi yang sempat jauh itu, tiba-tiba muncul di Ligue 1 Prancis selama dua dekade terakhir. Lahirnya golden era Olympique Lyon dan Paris Saint-Germain (PSG) telah berhasil merusak tatanan yang ada. Muncul di periode yang berbeda, kedua kesebelasan ini tampil digdaya dengan menjuarai liga secara beruntun. Lyon pada musim 2001/2002 hingga 2007/2008, sementara PSG di musim 2012/2013 sampai 2015/2016. Bahkan prestasi Lyon kala itu masih tercatat sebagai rekor tersendiri di sepak bola Prancis hingga detik ini.

Beruntung di musim lalu, kejayaan PSG yang disokong dana gemuk dari Qatar Sports Investment sukses ditekel oleh Monaco. Setidaknya, hal itu dapat menenangkan hati publik, kecuali suporter PSG tentunya, yang khawatir jika Ligue 1 bakal bernasib seperti era 2000-an.

Tak ingin melihat PSG yang dijejali pemain kelas dunia berlari sendirian setiap musim menjadi salah satu motivasi para pesaing untuk berbenah. Dan itu telah ditunjukkan oleh Les Monegasques-nya Leonardo Jardim yang menghentak dengan sekumpulan pemain muda briliannya. Setidaknya hal ini melahirkan satu keyakinan tersendiri, menyaingi Les Parisiens tak harus dilakukan dengan cara memboyong bintang mahal, terlebih bagi mereka yang punya bujet terbatas.

Salah satu “klub tradisional” yang sedang giat memperbaiki diri agar lebih kompetitif dan sanggup bersaing di papan atas Ligue 1 musim depan adalah Nantes. Musim lalu, klub yang meroketkan nama Eric Carriere, Didier Deschamps, Christian Karembeu, Mickael Landreau dan Claude Makelele di belantika sepak bola Prancis ini nangkring di peringkat ketujuh. Mesti diakui jika kondisi itu masih jauh dari kata ideal untuk menggoyang superioritas PSG atau sekadar mendekati level Monaco.

Namun harus diketahui jika itu adalah pencapaian terbaik Nantes setelah kembali ke Ligue 1 per musim 2013/2014. Sebagai salah satu cara meningkatkan performa, manajemen Les Canaris, julukan Nantes, sigap melakukan pembenahan. Pelatih kawakan yang sudah mengenyam asam garam dunia kepelatihan di liga-liga top Eropa asal Italia, Claudio Ranieri, ditunjuk sebagai nakhoda anyar per musim 2017/2018 buat menggantikan figur pelatih sebelumnya, Sergio Conceicao, yang dipinang raksasa Portugal, FC Porto.

Sosok berusia 65 tahun itu dianggap punya kapabilitas mumpuni serta cocok untuk ngemong skuat Nantes yang mayoritas diisi penggawa muda. Berdasarkan data yang dihimpun dari  Transfermarkt, rataan usia skuat Les Canaris musim kemarin ada di angka 24,5 tahun.

Meski pergerakan Les Canaris di bursa transfer cenderung masih lambat, baru memastikan perekrutan dua pemain belia, Chidozie Awaziem dan Kayembe, tapi optimisme bahwa Nantes bisa tampil lebih baik tetap mengemuka.

Hal ini disebabkan oleh menjanjikannya performa beberapa pemain Nantes yang sudah tampak di musim lalu. Bek kanan muda, Luis Dubois (21 tahun), memesona khalayak setelah musim tampil sebanyak 36 kali dan menciptakan 8 asis. Pun begitu dengan duo gelandang muda, Amine Harit (19) dan Valentin Rongier (21), yang musim lalu mencuri atensi lantaran menjadi pilihan utama di sektor tengah.

Nama pemain asal Argentina yang menghuni sektor depan, Emiliano Sala (25) juga patut diperhatikan. Musim kemarin, dirinya menjadi ujung tombak utama Les Canaris dengan menggelontorkan 12 gol dan 5 asis dari 34 kali turun ke lapangan.

Ditambah dengan keberadaan sang kapten, Remy Riou, di bawah mistar serta duo pemain belia, Koffi Djidji dan Lucas Lima, di baris pertahanan, rasa-rasanya Ranieri takkan begitu kesulitan membangun fondasi kokoh bagi klub yang berkandang di Stadion Le Beaujoire-Louis Fontenau ini walaupun miskin nama besar. Apalagi dirinya sudah cukup mengenal iklim sepak bola Prancis lantaran sempat membesut Monaco dalam rentang 2012 hingga 2014 silam.

Pendukung Nantes juga takkan meminta Ranieri untuk mereplikasi kisah dongengnya bersama Leicester City di musim 2015/2016 yang lalu. Karena semua pihak pun tahu, butuh mukjizat ekstra agar pencapaian gemilang itu bisa diulanginya di tanah Prancis. Namun untuk meracik Les Canaris menjadi sebuah tim yang lebih padu, tangguh, berdaya saing dan menjadi kuda hitam yang patut diperhitungkan di musim 2017/2018, rasa-rasanya bukan suatu hal yang mustahil bagi pelatih berjuluk The Tinkerman itu.

Selamat bekerja lagi, Ranieri, si orang baik.

Author: Budi Windekind (@Windekind_Budi)
Interista gaek yang tak hanya menggemari sepak bola tapi juga american football, balap, basket hingga gulat profesional