Eropa Jerman

Jerman yang Siap Mendominasi

Dalam konstelasi sepak bola dunia, tim nasional Jerman telah dikenal sebagai salah satu kesebelasan adidaya. Empat titel Piala Dunia (1954, 1974, 1990 dan 2014) serta tiga gelar Piala Eropa (1972, 1980 dan 1996) menjadi bukti sahih yang takkan bisa dibantah oleh siapapun.

Terlebih, kegemilangan itu didapat dengan track record brilian pada saat melakoni turnamen. Di ajang Piala Dunia, Jerman hanya sekali rontok di fase awal penyisihan grup. Peristiwa itu sendiri terjadi sudah amat lampau yakni di Piala Dunia 1938. Sisanya, mereka selalu konsisten menembus babak krusial, dengan perempat final sebagai titik terendah.

Kondisi serupa juga terjadi saat timnas Jerman mentas di ajang Piala Eropa. Praktis, cuma di Piala Eropa 1984, Piala Eropa 2000 dan Piala Eropa 2004 saja Die Mannschaft, julukan timnas Jerman, kudu angkat koper lebih dini akibat remuk di babak penyisihan grup. Berkaca pada hal tersebut, wajar rasanya menyebut Jerman sebagai tim spesialis turnamen.

Dengan track record seperti itu, semua pihak juga pasti merasa bahwa Jerman memang tim yang superior dan didesain untuk selalu keluar sebagai yang terbaik di ajang yang mereka ikuti. Akan tetapi, layaknya sebuah siklus, Jerman pun pernah berada di titik nadir.

Tragedi kelam bagi persepak bolaan Jerman terjadi pada Piala Eropa 2000. Jelang turnamen, Jerman kembali difavoritkan sebagai kampiun seperti biasanya. Terlebih mereka berstatus sebagai juara bertahan. Penampilan mereka di Piala Dunia 1998 pun tidak jelek-jelek amat.

Namun apa yang terjadi di Piala Eropa 2000 sungguh mencoreng wajah timnas Jerman yang ketika itu diasuh oleh Erich Ribbeck. Apalagi publik menganggap bahwa skuat yang diboyong Ribbeck cukup mumpuni untuk bersaing memperebutkan titel juara. Hanya saja, sebagian besar pendukung timnas Jerman lupa jika rataan skuat Jerman kala itu ada di angka 27,2 tahun.

Keberadaan “pasukan” gaek seperti Oliver Bierhoff (32 tahun), Oliver Kahn (30), Ulf Kirsten (34), Thomas Linke (30), Lothar Matthäus (39) dan Darius Wosz (31) sebagai pilar andalan Ribbeck tentu menimbulkan sejumlah pertanyaan. Ada apa dengan regenerasi di tubuh Die Mannschaft? Praktis, pemain belia yang dibawa Ribbeck saat itu hanyalah Michael Ballack (23) dan Sebastian Deisler (20).

Babak belur di Piala Eropa 2000 seolah membuka mata federasi sepak bola Jerman (DFB) jika ada yang salah dengan pendekatan mereka selama ini. Oleh karena itu, mereka pun gencar melakukan pembenahan supaya timnas Jerman tak mengalami situasi serupa di masa yang akan datang.

Tak seperti FA-nya Inggris yang hanya mengandalkan pergantian sosok pelatih guna membawa angin perubahan, DFB justru fokus pada beberapa komponen untuk dibenahi. Antara lain pembinaan usia muda (termasuk akademi sepak bola di klub-klub profesional Jerman), tata kelola sepak bola, sarana dan prasarana kepelatihan dan kurikulum taktik. DFB pun menggelontorkan dana yang sangat besar untuk proyek tersebut.

Selain itu, ada satu hal lain yang kerap luput dari perhatian yakni kemauan DFB untuk merangkul perbedaan kultur di negara mereka sekaligus mengubahnya menjadi sebuah kekuatan super di bidang sepak bola.

Seperti yang kita ketahui bersama, jumlah imigran di Jerman merupakan salah satu yang paling tinggi di benua biru. Banyak dari mereka yang berasal dari beberapa negara Afrika (Ghana, Nigeria dan Tunisia) maupun sejumlah negara Eropa (Italia, Polandia, Rusia dan Turki).

Dengan potensi yang dimiliki kelompok etnis itu, DFB pun membuat sekaligus merancang pusat pelatihan sepak bola dan kompetisi yang dapat menjangkau anak-anak dengan latar belakang imigran tersebut. Hal ini juga yang membuat timnas Jerman masa kini begitu multi-etnis.

Hasilnya memang tidak langsung terasa dalam rentang tiga atau lima tahun kemudian (walau di Piala Dunia 2002, Jerman finis sebagai runner up). Buah dari kegiatan yang terstruktur dan sistematis itu baru terlihat nyata di Piala Eropa U-19 2008. Saat itu, timnas Jerman U-19 berhasil menahbiskan diri sebagai kampiun. Sebuah pencapaian manis bagi tim muda Jerman setelah terakhir kali meraih gelar prestisius pada tahun 1992 (Piala Eropa U-17).

Gelar itu sendiri lantas diikuti oleh Jerman U-17 yang menjadi jawara Piala Eropa U-17 serta Jerman U-21 yang merebut titel Piala Eropa U-21 setahun kemudian. Di penyelenggaraan turnamen-turnamen junior yang lain, tim Jerman muda pun secara konsisten bisa menembus fase-fase penting.

Pelan tapi pasti, Jerman sukses menancapkan kuku mereka sebagai tim yang tangguh di semua level. Hal ini ikut berperan mengebiri hegemoni timnas Spanyol yang begitu digdaya di seluruh jenjang usia dalam kurun satu dekade terakhir.

Sampai akhirnya pada tahun 2014 silam, timnas Jerman berhasil memetik buah paling manis dari proses panjang yang mereka lakoni, yaitu gelar Piala Dunia 2014 yang ketika itu diselenggarakan di Brasil. Berbekal skuat tangguh dengan rataan usia 25,7 tahun, Die Mannschaft berhasil memecundangi para rival seperti Argentina dan Brasil.

Berbeda jauh dengan situasi di Piala Eropa 2000, pilar Jerman di Piala Dunia 2014 adalah “tentara-tentara” yang sedang berada pada usia matang. Jerome Boateng (25), Mats Hummels (25), Toni Kroos (24), Thomas Müller (24), Manuel Neuer (28) dan Mesut Özil (25), menjadi inti permainan tim ketika itu. Bersama sosok berpengalaman semisal Phillip Lahm (30) dan Miroslav Klose (36), Jerman jadi amat sulit ditaklukkan.

Ciamiknya, pada tahun yang sama pula timnas Jerman U-19 kembali meraih titel Piala Eropa U-19 setelah menjungkalkan Portugal U-19 di babak pamungkas. Hal ini sekali lagi membuktikan bahwa pembenahan di sejumlah aspek strategis yang dilakukan oleh DFB pada awal milenium baru yang lalu menjadi titik balik perjalanan timnas Jerman di kancah sepak bola dunia.

Bahkan, disaat mayoritas generasi yang mengantar Die Mannschaft meraih Piala Dunia 2014 silam belum sampai pada masa akhir kariernya, Jerman sudah punya stok melimpah di level junior dan ingin unjuk gigi.

Buktinya tersaji jelas ketika timnas Jerman U-21 merengkuh titel Piala Eropa U-21 2017 sehabis menekuk Spanyol U-21 kemarin (30/6). Ini menjadi trofi kedua mereka di ajang prestisius tersebut.

Ketika adik-adiknya baru saja meraih titel, tim senior juga siap mencaplok gelar Piala Konfederasi 2017 setelah memastikan diri menapak babak final guna bersua Cile (2/7). Ajaibnya, anak asuh Joachim Löw berlaga di Piala Konfederasi 2017 hanya berbekal pemain “lapis kedua” lantaran tak ada nama-nama pilar seperti Boateng, Hummels, Neuer sampai Özil. Apapun hasil yang Lars Stindl dan kolega dapatkan seusai laga final, ada satu hal yang pasti. Jerman telah berhasil menebar kengerian bagi seluruh rival mereka di kancah sepak bola dunia baik kini maupun nanti.

Dan sekali lagi, ini membuktikan bahwa pembenahan yang dilakukan Jerman ketika itu benar-benar total. Sumber daya pemain dan pelatih berkualitas yang mereka miliki saat ini benar-benar melimpah.

Apa yang diperbuat Jerman seolah mengajarkan kepada kita bahwa tak ada prestasi yang bisa dicapai dengan cara-cara instan. Jika bisa, maka umurnya takkan lama. Dan Jerman telah membuat pilihan yakni berprestasi di periode yang lebih panjang sambil pelan-pelan menancapkan dominasinya. Walau terseok-seok di awal namun kita, pencinta sepak bola, mengerti betul jika kini Die Mannschaft telah memetik sebagian hasilnya.

Dengan masih berada pada salah satu periode terbaik di sepanjang sejarah persepak bolaan mereka, tak perlu heran apabila di masa yang akan datang Jerman bakal mencomot banyak gelar mayor yang lain, baik di level junior ataupun senior.

Butuh upaya ekstra dari para pesaing buat menggoyahkan dominasi tersebut. Bahkan kalau perlu, mereka harus berguru kepada Jerman terlebih dahulu.

Deutschland Über Alles!

Author: Budi Windekind (@Windekind_Budi)