Kolom

Penangguhan Implementasi Regulasi Pemain U-23 di Liga 1 adalah Lelucon

Kamis (29/6) sore, Football Tribe mendapat surat yang berisi perubahan kebijakan dari PT. LIB (Liga Indonesia Baru) terkait penangguhan implementasi regulasi pemain U-23 di Go-Jek Traveloka (GT) Liga 1 2017. Ada empat poin dalam surat tersebut yang semuanya mencoba membuat penangguhan pemakaian pemain U-23 di skuat tim-tim Liga 1 terasa begitu heroik, padahal, tidak sama sekali.

Dari poin pertama saja bisa kita ambil kesimpulan. Alasan yang dipakai PT. LIB sebagai poin pertama dan paling utama adalah aspek fairness, karena tak semua pemain muda yang terpilih dalam skuat SEA Games berasal dari jumlah yang merata per klubnya. Kebijakan ini seperti menyepelekan skuat tim lain yang tidak semuanya bergantung penuh pada para pemain muda mereka, seperti Arema FC mungkin.

Singo Edan, bila memang Bagas Adi dan Hanif Sjahbandi yang dipanggil, mereka tentu tak akan kesusahan mempertahankan skuat terbaiknya. Masih ada nama Hendro Siswanto dan Jad Noureddine yang bisa ditarik mundur ke belakang untuk menemani Artur Cunha di jantung pertahanan.

Beralih ke Persib misalnya, perginya Gian Zola dan Febri Haryadi ke timnas juga tak langsung membuat skuat Pangeran Biru akan timpang. Di lini tengah, ada banyak nama pemain yang bisa mengisi kepergian Zola. Bahkan, Djajang Nurdjaman bisa menurunkan pemain muda lainnya, Ahmad Basith, untuk mengisi pos Zola serta menurunkan Billy Paji Keraf untuk melapis Febri.

Bahkan, dari skuat PSM Makassar yang banyak dihuni pemain muda potensial saja, Luis Milla hanya memanggil satu nama di skuat yang tengah training center (TC) di Bali, yakni Asnawi Mangkualam Bahar.

Dua fakta plus satu fakta soal PSM di atas sekaligus menegaskan bahwa aspek fairness yang dikemukakan oleh PT. LIB terasa tak masuk akal sama sekali. Timnas hanya akan memboyong 23 nama pemain ke SEA Games Malaysia 2017 dan itu tak sedikitpun memengaruhi kualitas kompetisi. Memang ada banyak pemain dari  Persija (tiga pemain) dan Bali United (lima pemain) yang dipanggil ke TC timnas, tapi, kita perlu ingat bahwa ada ratusan pemain profesional di Liga 1 dan 23 nama yang pergi untuk tugas negara tak akan mengurangi 50 persen kualitas kompetisi. Jadi, apa poin yang coba dijelaskan oleh PT. LIB terkait fairness?

Efek berantai penangguhan regulasi U-23

Dari awal, sistem yang mengharuskan tiga pemain U-23 untuk turun dari menit awal adalah blunder belaka dan surat penangguhan regulasi ini adalah bom waktu yang akhirnya memang benar meledak. Dari awal kita harusnya tahu, pemain muda harus paham bahwa demi meningkatnya kemampuan mereka, mereka tak hanya butuh regulasi, tapi juga butuh kesadaran untuk berkembang. Dan itu bukan hanya tugas mereka, namun juga manajemen dan jajaran pelatih.

Bila pemain muda dapat diturunkan karena regulasi tiga pemain U-23 harus bermain minimal 45 menit, itu bisa saja menjadi dua sisi koin. Satu sisi, ia memang akan mematangkan banyak pemain muda dengan pengalaman bermain di Liga 1, namun di sisi lain, itu seakan mempermudah jalan mereka untuk menjadi pemain inti tanpa kualitas yang baik.

Dan benar saja, efek dari penangguhan regulasi U-23 terasa dengan poin kedua dalam surat PT. LIB yang mengizinkan setiap klub boleh memainkan semua pemainnya dari menit awal tanpa terkecuali mulai tanggal 3 Juli 2017 sampai 30 Agustus 2017. Praktis, selama dua bulan ke depan, banyak nasib pemain-pemain muda yang terancam tak dapat menit bermain karena kebijakan ini. Bila dari awal mereka bisa bermain karena terbantu regulasi, munculnya kebijakan baru ini akan berpotensi mematikan perkembangan karier mereka karena dua bulan bukan waktu yang sebentar.

Saya ambil contoh dari skuat Persib. Basith dan Henhen kemungkinan tak akan lagi terpakai selama dua bulan karena dibanding memakai pemain muda tersebut, coach Djajang bisa jadi lebih tergoda memainkan langsung Raphael Maitimo dan Michael Essien dari menit awal, dibanding memakai Basith. Pun juga bagi Henhen, ia akan mudah tergeser dari skuat karena ada nama Wildansyah dan Supardi yang menjadi nama senior di bek kanan. Pelik, bukan?

Perihal diberlakukannya lagi kebijakan pemain U-23 per 1 September 2017 (atau usai berakhirnya SEA Games 2017) juga tidak membantu sama sekali. Hal itu hanya menunjukkan bahwa PSSI dan PT. LIB tidak benar-benar tahu cara memberikan regulasi yang tepat bagi perkembangan pemain muda di Indonesia. Bila alasannya adalah kebutuhan skuat U-23 untuk timnas di SEA Games sudah terbentuk, itu juga semakin memberi citra negatif bagi PSSI dan PT. LIB, salah satunya adalah pembinaan pemain muda memang masih menjadi target jangka pendek belaka, bukan target jangka panjang atau berkala. Menyedihkan, ya?

Kalau sudah begini, kita hanya bisa mengelus dada dan mengucap istighfar sebanyak mungkin sembari berharap agar di tahun 2030 nanti kita setidaknya bisa mentas di Piala Dunia, kalau dunia belum kiamat tapi, ya.

Isidorus Rio Turangga – Editor Football Tribe Indonesia