Kolom

Pekik Takbir untuk Juan Roman Riquelme

Suatu hari di tahun 2008, Juan Roman Riquelme, yang telah kembali pulang ke Boca Juniors, memimpin timnya bertanding melawan Arsenal de Sarandi. Pertandingan itu adalah representasi terbaik bagaimana cara melihat ia bermain.

Di pengujung babak pertama, ia menerima bola di tempat di mana ia hampir selalu berada ketika turun bermain di lapangan. Beberapa meter dari garis tengah lapangan dan hanya lima atau sepuluh meter dari kotak penalti lawan. Itulah Riquelme, ia sangat jarang berlari, sesuatu yang ditegaskannya di sebuah wawancara, “Saya tidak perlu berlari, karena bola pasti datang ke kaki saya”.

Dari titik ia menerima bola, sang pemain berdansa melewati lini belakang lawan. Ia hampir tak terlihat seperti berlari, ia meliuk dengan gestur tubuh khas pemalas dan woof, pemain lawan sudah di belakangnya. Dua sampai tiga pemain belakang ia lewati dan kini, ia tinggal berhadapan dengan penjaga gawang. Alih-alih menendang bola dengan ruang tembak yang terbuka luas, ia mengumpan ke samping pada Martin Palermo.

Bola meluncur mulus, karena mulut gawang sudah kosong. Riquelme merayakan gol dengan menjauh dari Palermo. Kamu tahu, orang seperti Riquelme tak butuh pengakuan tentang gol yang tercipta. Ia menjauh dan hampir separuh tim mendekatinya untuk merayakan kegeniusannya, bukan merayakan gol Palermo.

Petualangan terbaik bersama Villareal di Eropa

Dari periode singkatnya di benua biru, masa bersama di Villareal adalah masa terbaik sang genius. Manuel Pellegrini dan Fernando Roig, presiden klub, membangun tim hampir 90 persen memakai Riquelme sebagai pusatnya. Bila bumi berevolusi mengelilingi matahari (kalau kamu yakin bumi itu datar, percayalah, itu seratus persen hak kamu dan saya tidak memaksa), tim Villareal kala itu berevolusi di sekitar Riquelme.

Pellegrini membangun skuatnya dengan pemain inti dari Argentina dan sangat beraroma Amerika Latin. Gonzalo Rodriguez, Rodolfo Arruabarrena, Juan Pablo Sorin hingga Mariano Barbosa bercokol di pos pemain belakang dan penjaga gawang utama. Di lini tengah, pelatih yang kelak membesut Manchester City itu menugaskan Marcos Senna, pria Brasil yang memilih membela timnas Spanyol, untuk melakukan tugas kotor yang dilakukan Sebastian Battaglia di Boca dan Esteban Cambiasso di timnas untuk Riquelme.

Bila di timnas ia menyuplai ketajaman Javier Saviola dan Hernan Crespo, Pellegrini memberi Riquelme penyerang tajam pada diri Diego Forlan, eks pemain Manchester United yang tampil sangat baik di tanah Iberia. Pada sebuah laporan yang ditulis jurnalis kenamaan, Sid Lowe, pada tahun 2007 lalu, sesaat usai sang genius pulang kampung ke Argentina, baru diketahui kemudian bahwa Fernando Roig meminta secara khusus pada pelatih Villareal untuk mengutamakan Riquelme sebagai inti dari timnya.

Roig dan Pellegrini mengizinkan Riquelme bertindak sesuka hati di tim dengan warna kebesaran kuning tersebut. Roig membebaskan Riquelme mendatangkan kawan-kawannya dari Argentina dengan menyewa pesawat pribadi demi membuat sang bintang nyaman di El Madrigal. Pellegrini juga memberi izin khusus bila Riquelme merasa ia tak cukup mood untuk bermain.

Di salah satu laga La Liga, Riquelme sempat berujar kaki kirinya sedikit lelah dan ia tidak begitu ingin bermain. Kamu tahu yang dilakukan Pellegrini? Memberi Riquelme waktu libur dan bersantai di rumah.

Riquelme juga diizinkan absen dari latihan bila ia malas berlatih dan Pellegrini memberinya instruksi khusus untuk tak banyak berlari di lapangan. Pada salah satu periode terbaik The Yellow Submarine di Liga Champions 2005/2006, Riquelme gagal mengeksekusi penalti ke gawang Arsenal di partai semifinal Liga Champions yang kala itu dikawal Jens Lehmann. Kegagalan yang berujung pada pupusnya mimpi Villareal melaju ke partai puncak. Kegagalan yang kemudian sedikit mengubah pendekatan klub padanya.

Pada Februari 2007, waktu itu akhirnya tiba. Eropa tak lagi membuatnya tertarik untuk bermain sepak bola dan pulanglah sang pemain genius ke Boca. Sebuah transfer yang dipercaya banyak orang sebagai akhir dari pemain classic number ten yang lantas punah di sepak bola modern.

Itulah Riquelme, kepulangannya ke Argentina, membuat kita menonton sepak bola modern yang seperti sekarang. Sepak bola yang kuat, bertenaga, sistematis dan berfokus utama pada hasil dan trofi. Kepulangan Riquelme ke Argentina juga membuat saya kesulitan menonton lagi permainan geniusnya. Tidak ada stasiun televisi menayangkan Liga Argentina dan kala itu, memasang internet di rumah masih setara dengan mitos.

Kepulangan ke Argentina dan cinta mati untuk Boca Juniors

Kalau ada yang dicintai Riquelme selain sepak bola dan sang ibu, hal tersebut adalah Boca. Pada tahun 2008, krisis keuangan yang dialami Amerika Serikat, juga merambah ke Argentina. Boca pun terkena dampaknya ketika setahun setelahnya, pada tahun 2009, mereka hampir kesulitan dana untuk membayar pemainnya dengan gaji tinggi. Anda tahu apa yang kemudian dilakukan Roman Riquelme? Rela bermain bagi Boca selama satu tahun penuh tanpa gaji.

“Saya cinta Boca. Kalau tidak, saya tidak akan bermain di tim ini secara gratis. Saya adalah orang idiot yang bermain sepak bola tanpa dibayar dan tidak satu orang pun yang berhak mengajari saya tentang tanggung jawab,” ujar Riquelme ketika ditanya perihal keputusan surealnya tersebut.

Kini, pemain yang bermain dengan cara dan sistemnya sendiri itu, sudah tak lagi menendang si kulit bundar di atas lapangan hijau. Mungkin, Riquelme tengah bersantai sembari meminum segelas teh dengan sang ibu, sesuatu yang sempat ia ujarkan ketika ditanya apa hal yang bisa membuatnya pensiun dari sepak bola.

Riquelme bagi saya adalah romantisme terakhir yang bisa dicecap dari sepak bola konvensional. Sepak bola kini semakin mahal dan dengan industri yang semakin berkembang dan nilai-nilai komersial yang semakin mencekik, hampir tak ada lagi sisi romantisme yang tersisa dari olahraga ini. Tapi, mengacu pada ucapan Riquelme, sepak bola tak akan pernah kehilangan magisnya. Ia akan selalu berkembang menjadi semakin mahal dan pragmatis, tapi kesenangan yang didapat dari sepak bola, hampir tidak bisa digantikan oleh apapun.

 “The ball has given me everything. Just like little girls love dolls, the best toy I’ve ever had, or could ever have, is a football. The person who invented it is a true hero: nobody can top that.”

Selamat ulang tahun, Roman. Andai saja kami bisa mengirimkan gema takbir di hari ini sampai ke Buenos Aires. We miss you.

Author: Isidorus Rio Turangga (@temannyagreg)
Tukang masak dan bisa sedikit baca tulis