Kolom

Kaki Kiri Maut Shunsuke Nakamura

Jelang milenium baru, sepak bola Italia dihebohkan oleh sesosok pemuda dari timur jauh bernama Hidetoshi Nakata, yang ketika itu menimba ilmu bersama klub yang baru saja promosi dari Serie B, Perugia. Demi memboyong Nakata dari Bellmare Hiratsuka (kini Shonan Bellmare) ke Stadion Renato Curi, kubu I Grifoni harus merogoh kocek sebesar 4 juta euro.

Hijrah dari Jepang ke Eropa di usia 21 tahun, sama sekali tak membuat gelandang nyentrik ini kelabakan. Dirinya justru sanggup menampilkan aksi-aksi brilian bersama Perugia sehingga dua musim kemudian, ia ditebus AS Roma sekaligus membawa kesebelasan asal ibu kota tersebut meraih Scudetto ketiganya sepanjang sejarah klub pada musim 2000/2001.

Tatkala karier Nakata nampak berkilau di tanah Italia, “perjudian” serupa dilakukan oleh klub asal Italia sebelah selatan yang juga baru naik kelas ke Serie A, Reggina. Begitu memastikan diri promosi, klub yang saat itu dipimpin oleh Pasquale Foti langsung menghubungi pihak Yokohama Marinos guna membajak gelandang belianya, Shunsuke Nakamura.

Namun berbeda dengan Nakata, perekrutan Nakamura menimbulkan beribu tanya dalam benak publik, utamanya suporter Reggina. Pasalnya, Nakamura direkrut tidak dengan rekam karier yang jelas bagi publik Italia kala itu. Usut punya usut, pemandu bakat Gli Amaranto sudah menempuh perjalanan panjang ke Negeri Sakura pada bulan Juni (sesaat sebelum digelarnya Piala Dunia 2002) guna menyaksikan laga-laga di Piala Kirin 2002.

Pada turnamen tersebut, Nakamura berhasil mengantar tim Samurai Biru menjadi juara sekaligus menyumbang dua gol. Mata pemandu bakat Reggina terpikat akan kemampuan pemuda berambut gondrong tersebut. Visi bermain, teknik olah bola dan kreativitas Nakamura sebagai gelandang serang diyakini bisa membantu klub yang bermarkas di Stadion Oreste Granillo itu tampil kompetitif di gelaran Serie A musim 2002/2003.

Guna mencomot Nakamura, manajemen Reggina kudu menguras isi rekening sebesar 2 juta euro. Jumlah yang cukup tinggi bagi klub sekelas mereka kala itu. Tapi potensi keuntungan yang didapat dari transfer Nakamura berada jauh dari angka tersebut. Hal ini pula yang membuat pihak Gli Amaranto bersikukuh merekrut Nakamura.

Setelah Nakata empat tahun sebelumnya, kepindahan Nakamura ke Negeri Spaghetti di musim panas 2002 menimbulkan hype serupa di Jepang. Keuntungan masif sebagai imbas transfer lelaki kelahiran Yokohama itu pun menampakkan wujudnya. Reggina dikabarkan sukses menjual 25 ribu kostum dengan nama Nakamura di lima bulan pertama dirinya merumput. Angka yang sungguh fantastis untuk mendongkrak pendapatan dan popularitas tim medioker seperti Reggina, bukan?

Diiringi harapan yang lumayan tinggi, debut Nakamura di Serie A 2002/2003 berlangsung gemilang. Dirinya jadi salah satu pemain penting dalam tim asuhan Bortolo Mutti maupun Luigi De Canio, dua pelatih yang membesut Gli Amaranto musim itu. Nakamura jadi pelayan sempurna buat duo Emiliano Bonazzoli dan David Di Michele di sektor depan.

Lebih jauh, kontribusi Nakamura juga tergolong luar biasa saat itu. Bermain sebanyak 32 kali, dirinya mampu menceploskan 7 gol. Menariknya, mayoritas gol Nakamura diciptakan melalui kaki kiri mautnya via sepakan bebas. Setiap kali Reggina mendapat tendangan bebas pada jarak 25-30 meter dari gawang lawan, maka Nakamura pasti muncul sebagai eksekutornya.

Sayang, di musim 2003/2004, Nakamura gagal bersinar lantaran didera cedera yang membuatnya absen cukup lama. Total Nakamura cuma mentas sebanyak 16 kali dan membuat 2 gol. Ketiadaan gelandang yang satu ini juga membuat performa Reggina menukik sehingga menyebabkan Franco Colomba dilengserkan oleh pihak manajemen dan digantikan oleh Giancarlo Camolese. Beruntung, Reggina berhasil selamat dari jerat degradasi.

Kedatangan Walter Mazzarri sebagai nakhoda baru Reggina di musim 2004/2005 tak mengubah esensi Nakamura di dalam tim. Dirinya tetap menjadi pilar utama namun pola 3-5-2 yang diterapkan Mazzarri membuat Nakamura tak lagi bebas melakukan penetrasi di area pertahanan lawan, karena dirinya juga dituntut untuk lebih banyak membantu lini pertahanan. Situasi ini pula yang bikin Nakamura cuma menggelontorkan 2 gol saja walau bermain di 33 laga.

Rasa tak bebas itu pula yang lantas memicu Nakamura untuk hengkang dari kota Reggio Calabria. Duo Spanyol, Atletico Madrid dan Deportivo La Coruna dikabarkan meminatinya. Pun begitu dengan Borussia Dortmund dan Borussia Mönchengladbach dari Jerman. Akan tetapi, Nakamura justru lebih memilih untuk menyetujui tawaran klub asal Skotlandia, Glasgow Celtic (kini Celtic FC).

Tanpa diduga, penampilan Nakamura di tanah Britania justru semakin eksepsional di bawah arahan Gordon Strachan. Dirinya juga langsung mendapat kepercayaan dari manajer asal Skotlandia itu buat menjadi konduktor di lini tengah The Bhoys dalam mengarungi Liga Primer Skotlandia musim 2005/2006. Titel Liga Primer Skotlandia dan Piala Liga menjadi sumbangsihnya kala itu.

Pada musim 2006/2007, Nakamura semakin mematri namanya sebagai pilar utama klub yang berkandang di Stadion Celtic Park tersebut. Bermain sebanyak 50 kali dan menyumbang 11 gol di seluruh ajang yang diikuti The Bhoys, Nakamura menghadiahi gelar Liga Primer Skotlandia dan Piala FA Skotlandia bagi tim yang diperkuatnya.

Ciamiknya, Nakamura juga berhasil meraih empat prestasi individu saat itu, antara lain SPFA (Scottish Professional Footballer’s Association) Player of The Year, SFWA (Scottish Football Writer’s Association) Footballer of The Year, Celtic Player of The Year dan Celtic Fans Player of The Year. Untuk dua penghargaan yang disebut pertama, Nakamura tercatat sebagai satu-satunya pemain asal benua Asia yang mampu menggondolnya sampai detik ini.

Sayang, pada musim berikutnya, prestasi Celtic mengalami regresi karena cuma sanggup menggondol trofi Liga Primer Skotlandia. Penampilan mereka di kompetisi lain terbilang kurang memuaskan.

Di musim 2008/2009, kedigdayaan Celtic kembali surut. Gelar Piala Liga Skotlandia jadi satu-satunya silverware yang berhasil direngkuh. Kegagalan Celtic menjadi kampiun di tanah Skotlandia pada musim itu juga yang membuat Strachan mengundurkan diri. Lebih lanjut, The Bhoys juga tak mampu membujuk Nakamura untuk bertahan di Stadion Celtic Park usai kontraknya habis pada musim panas 2009.

Kepergian Nakamura tentu disesalkan oleh pendukung setia Celtic karena selama empat musim berkostum hijau-putih, lelaki asal Jepang itu berhasil memikat hati publik di Stadion Celtic Park. Terutama lewat gol-gol indah yang kaki kiri mautnya itu.

Saya pun yakin, andai Nakamura harus mengasuransikan salah satu bagian tubuhnya yang dianggap sebagai aset penting, maka kaki kirinya adalah organ yang wajib diasuransikan. Persis seperti pembalap Moto GP, Valentino Rossi, yang mengasuransikan kedua pergelangan tangannya atau aktris seksi, Monica Bellucci, yang mengasuransikan payudaranya.

Tak lagi mengenakan seragam Celtic, bikin sejumlah klub tertarik mengenakan jasanya. Namun klub asal Spanyol, Espanyol, jadi yang beruntung mendapatkan tanda tangan pemain Jepang ini jelang bergulirnya La Liga musim 2009/2010. Sayang, petualangan Nakamura tak berlangsung lama di Semenanjung Iberia.

Nakamura mudik ke Jepang untuk kembali bermain bagi Yokohama F. Marinos (buat enam musim berikutnya) setelah satu musim kelabu di Stadion Cornella El Prat. Kabarnya, Nakamura sulit berkembang di Spanyol akibat sulitnya proses adaptasi.

Di usianya yang hari ini (24/6) menyentuh angka 39 tahun, Nakamura kini menikmati tantangan baru bersama salah satu rival Yokohama F. Marinos di J.League 1, Jubilo Iwata. Bersama Nakamura, tim yang dimiliki oleh perusahaan otomotif, Yamaha, itu bermimpi untuk membangun kembali kejayaannya seperti di akhir 1990-an dan awal periode 2000-an.

Walau kemampuan fisiknya semakin menurun dan masa edarnya yang mungkin takkan lama lagi, publik pencinta sepak bola di manapun pasti takkan pernah bisa melupakan sosok dengan kaki kiri maut ini. Namanya akan hidup dan melegenda sebagai salah satu pemain terbaik dari benua kuning yang sukses di Eropa.

Tanjoubi omedetou gozaimasu, Shunsuke-san!

Author: Budi Windekind (@Windekind_Budi)
Interista gaek yang tak hanya menggemari sepak bola tapi juga american football, balap, basket hingga gulat profesional