Dunia Lainnya

Pertunjukan Awal Sang Pemburu Gelap di Piala Konfederasi 2017

Tim nasional Meksiko tertinggal satu gol saat Raul Jiménez melepas umpan dari sisi kanan pertahanan Portugal pada pengujung laga perdana fase grup A Piala Konfederasi 2017 di Kazan’ Arena, Minggu (18/6). Umpan silang yang tampak bakal mengenai Raphaël Guerreiro, gagal dihalau dan tiba di kaki Carlos Vela. Sekali sontekan, eks Arsenal itu melepas umpan ke depan gawang.

Apa yang terjadi selanjutnya adalah sebuah seni yang mulai jarang terlihat di dunia sepak bola internasional: Secara tiba-tiba, Javier ‘Chicharito’ Hernández sudah ada di depan Pepe dan melayang untuk menyundul bola masuk ke gawang Rui Patrício. Meksiko kembali menyamakan kedudukan 1-1 atas sang juara Eropa dan lagi-lagi Chicharito menunjukkan keahliannya di depan gawang lawan.

Chicharito, yang dikenal tak pernah sangat bersinar, tapi juga tidak pernah redup, kembali mencuri perhatian, bersama dengan Cristiano Ronaldo di kubu lawan yang belakangan dinobatkan jadi man of the match. Sebuah golnya di akhir paruh pertama tak hanya berarti penyama kedudukan untuk sang juara bertahan Piala Emas CONCACAF 2015 itu, tapi juga penahbisan kembali sosoknya sebagai tipe penyerang poacher sejati.

Poacher atau lebih mudah diistilahkan sebagai pemburu gelap, merupakan tipe penyerang yang tak perlu berkeluh keringat mengejar bola atau punya skill menawan. Semua yang perlu dilakukan adalah melakukan sentuhan pertama yang juga jadi penyelesaian akhir. Tak jarang, sepanjang pertandingan, poacher hanya berkutat di kotak penalti saat timnya melakukan serangan.

Dia senantiasa menanti umpan, baik yang matang maupun kurang tepat, untuk langsung disontek menjadi gol. Penyerang seperti Chicharito terkesan sebagai pemain malas, tapi akurasinya sewaktu-waktu bisa jadi hal paling berharga untuk tim. Fokus pada penyelesaian akhir membuat Chicharito bisa tiba-tiba jadi pemain dengan lompatan tertinggi, meski tinggi badannya hanya 175 sentimeter, atau yang paling cepat melakukan akselarasi jarak pendek.

Itu yang terjadi pada golnya ke gawang Portugal. Kemampuan membaca arah bola dan refleks cepat membuat Chicharito mendahului Pepe. Ketepatan waktu juga membuat sundulan atau tembakannya bisa masuk ke gawang. Itulah Chicharito, tipe pemain yang kini mulai jarang seiring tuntutan sepak bola modern yang mayoritas meminta penggawa tim untuk selalu bergerak.

Pemain kelahiran Guadalajara 29 tahun lalu itu pernah jadi supersub bagi Manchester United pada periode 2010-2014. Chicharito disebut punya gaya bermain mirip legenda klub, Ruud van Nistelrooy, yang lebih banyak menunggu umpan dari rekan setim untuk dikonversi menjadi gol. Sempat dipinjamkan ke Real Madrid, Chicharito akhirnya menunjukkan kembali ketajaman di Bayer Leverkusen per musim panas 2015 hingga kini.

Pasang surut karier di klub tak berlaku pada timnas Meksiko. Chicharito selalu bisa jadi pilihan pertama pelatih El Tri mulai dari era Sven-Göran Eriksson hingga kini Juan Carlos Osorio. Awal bulan ini, sosok religius itu mencetak rekor istimewa lewat golnya ke gawang Kroasia sebagai pemanasan jelang Piala Konfederasi 2017.

Gol ke-47 itu membuat Chicharito ditahbiskan jadi top skor timnas Meksiko sepanjang masa, melewati raihan Jared Borgetti. Kini lewat golnya ke gawang Portugal, Pemain Terbaik Piala Emas 2011 itu sejajar dengan juru gedor tajam lain semisal Zico, Andriy Shevchenko, hingga Dimitar Berbatov, yang sukses mencetak 48 gol untuk timnas masing-masing.

Akan tetapi, euforia ini diharapkan hanya letupan awal, mengingat Chicharito masih punya setidaknya dua kesempatan lagi untuk melanjutkan pertunjukkannya. Dia juga sadar akan hal itu dan memilih fokus pada kinerjanya di atas lapangan.

Sebuah pengakuan menarik diungkapnya pascalaga saat ditanya kesempatan bertukar kostum dengan penggawa Portugal yang juga eks rekan setimnya, Ronaldo, Pepe, atau Luis Nani,

“Saya memilih menyimpan kostum saya sendiri.”

Author: Perdana Nugroho
Penulis bisa ditemui di akun Twitter @harnugroho