Dunia Lainnya

Piala Konfederasi dan Kenangan Pilu pada Marc-Vivien Foe

Sepak bola dunia mengenal benua Afrika sebagai salah satu penghasil talenta-talenta berbakat. Padahal, kondisi di mayoritas negara Afrika tak senyaman yang diperoleh bakat-bakat yang merekah di wilayah Amerika Latin, Eropa atau bahkan Asia. Namun terbukti, segala keterbatasan itu sama sekali tak menghalangi anak-anak di benua hitam untuk mengejar cita-citanya di dunia sepak bola.

Dan salah satu negara di benua hitam yang begitu rajin mencetak bintang sepak bola sekaligus berprestasi adalah Kamerun. Penggemar sepak bola mana yang tak kenal dengan Samuel Eto’o, Patrick Mboma, Roger Milla, Thomas N’Kono, Pierre Njanka, Jacques Songo’o hingga Rigobert Song? Raihan lima titel Piala Afrika (1984, 1988, 2000, 2002 dan 2017) pun jadi bukti sahih akan kehebatan mereka.

Layaknya kehidupan yang tak melulu tentang bahagia dan sukses, tim nasional Kamerun pun memiliki kisah pilunya sendiri. Keberhasilan timnas berjuluk The Indomitable Lions ini keluar sebagai kampiun Piala Afrika 2002 mengantarkan mereka bertempur di turnamen Piala Konfederasi 2003 yang dihelat di Prancis.

Dan seperti biasa, kandidat favorit untuk menjuarai Piala Konfederasi 2003 adalah Brasil, yang berstatus sebagai jawara Piala Dunia 2002 dan Prancis yang menyandang status sebagai kampiun Piala Eropa 2000. Harapan publik jelas, yakni menyaksikan laga ulangan final Piala Dunia 1998 di babak pamungkas Piala Konfederasi 2003.

Asa publik semakin membesar begitu mengetahui dua kutub sepak bola itu berada di grup yang berlainan. Prancis tergabung di grup A bersama Jepang, Kolombia dan Selandia Baru. Sedangkan Brasil menghuni grup B bersama Amerika Serikat, Kamerun dan Turki.

Akan tetapi harapan tersebut kandas akibat Brasil tampil buruk di babak penyisihan grup. Salah satu penyebabnya tentu aksi heroik Kamerun yang menekuk mereka dengan skor tipis 1-0. Bagi Eto’o dan kawan-kawan, hasil positif atas tim Selecao itu justru semakin memompa semangat mereka.

Benar saja, Kamerun yang pada saat itu ditukangi oleh Winfried Schäfer sukses melaju mulus ke fase semifinal usai keluar sebagai juara grup B dengan rekor tak terkalahkan, dua kali menang dan sekali seri. Di semifinal, The Indomitable Lions akan bersua runner-up grup A, Kolombia.

Dipimpin wasit asal Jerman, Markus Merk, partai semifinal Kamerun melawan Kolombia yang dimainkan di Stade de Gerland berjalan penuh gairah. Masing-masing kesebelasan ingin melaju ke partai puncak.

Baru berjalan sembilan menit, pendukung Kamerun bersorak usai Pius Ndiefi menjebol gawang Los Cafeteros, julukan Kolombia, yang dikawal Oscar Cordoba. Impian masuk ke final muncul di pelupuk mata para penggawa timnas Kamerun.

Akan tetapi laga yang berjalan menarik dengan tensi tinggi itu berubah drastis dan terasa begitu pelik ketika memasuki menit ke-72. Tanpa disangka-sangka, gelandang timnas Kamerun bernomor punggung 17, Marc-Vivien Foe, tergeletak tak sadarkan diri di lingkaran tengah lapangan.

Mengetahui hal tersebut, para pemain Kamerun dan Kolombia segera menghampiri figur yang saat itu membela panji Manchester City dengan status pinjaman dari Olympique Lyon. Merk pun menghentikan laga dan meminta tim medis untuk masuk ke lapangan.

Foe yang terkapar pun segera ditandu keluar lapangan guna mendapat penanganan medis yang lebih intensif, termasuk membawanya ke rumah sakit terdekat. Sembari berharap tak ada hal buruk yang terjadi, sang pengadil lapangan pun kembali melanjutkan laga. Sampai peluit panjang berbunyi, keunggulan Kamerun tak berubah. Mereka pun berhak mentas di babak final Piala Konfederasi 2003.

Raut bahagia jelas terpancar di mata para penggawa Kamerun saat itu sebab ini adalah kesempatan perdana mereka bertempur di babak final Piala Konfederasi. Tapi di sisi lain, kekhawatiran juga menyeruak di dada mereka perihal kondisi Foe.

Tak berselang lama, kebahagiaan itu sungguh-sungguh berubah seketika tatkala berita mengenai kepergian Foe merebak. Upaya tim medis yang menangani Foe di rumah sakit selama kurang lebih 45 menit tak membuahkan hasil.

Dari hasil otopsi, Foe didiagnosa mengalami Hypertrophic Cardiomyopathy (HCM) atau pembengkakan otot jantung yang menyebabkan organ vital tersebut gagal memompakan darah dalam jumlah memadai guna memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh. Konon, hal ini kerap terjadi di kalangan atlet.

Peristiwa tragis ini pula yang membuat induk organisasi sepak bola dunia, FIFA, semakin ketat dalam melakukan pengawasan terhadap kondisi kesehatan para pesepak bola. Walau ajal adalah misteri Ilahi, tapi sudah jadi kewajiban bagi manusia, dalam hal ini FIFA dan segenap pihak terkait, untuk mengurangi resiko terjadinya HCM bagi para atlet lapangan hijau.

Mata para pemain, pelatih, ofisial hingga suporter timnas Kamerun basah oleh tangis dan raut kesedihan terpancar begitu dalam dari wajah mereka. Kepergian Foe meninggalkan duka yang teramat pilu di tengah pencapaian hebat mereka di ajang empat tahunan ini.

Piala Konfederasi 2003 pun diselimuti duka, sepak bola jadi terasa pahit ketika itu. Saya pun masih ingat bagaimana kiper timnas Prancis, Gregory Coupet, yang juga rekan satu klub Foe di Lyon, menangis tersedu-sedu saat melangsungkan ritual one minute silence di partai semifinal melawan Turki.

Kala menciptakan gol pembuka bagi Les Bleus, julukan Prancis, Thierry Henry mengajak rekan-rekannya berkumpul sembari mengangkat telunjuknya ke arah langit. Sebuah gestur persembahan sekaligus penghormatan bagi Foe yang telah tiada. Prancis sendiri sukses menembus final usai memenangi laga atas Turki dengan skor 3-2.

Walau diliputi rasa sedih, timnas Kamerun tetap profesional dengan turun di babak final melawan Prancis. Sebagai cara mengenang Foe, seluruh pemain The Indomitable Lions memasuki lapangan guna melakoni pemanasan dengan memakai seragam Kamerun bernomor punggung 17 dan nama Foe tertera di atasnya.

Sesaat jelang sepak mula, Song yang saat itu bertindak sebagai kapten timnas Kamerun bersama dengan Marcel Desailly, kapten Prancis, membawa foto Foe berukuran raksasa ke tepi lapangan. Mereka lantas berangkulan guna mengheningkan cipta. Keadaan di Stade de France, venue final saat itu, sungguh jauh dari aura meriah khas laga final.

Kubu Prancis sendiri berhasil memenangi laga itu dengan skor 1-0 via golden goal Henry di menit ke-97. Meski berhasil menggondol trofi Piala Konfederasi mereka yang kedua sepanjang sejarah, tak ada kegembiraan berlebih dari para pemain maupun suporter Prancis. Mereka justru berkeliling lapangan bersama pemain-pemain Kamerun yang membawa foto Foe.

Malam itu barangkali jadi malam final paling sendu dalam sejarah sepak bola dunia.

#RestInPeaceFoe

Baca juga: Serba Serbi Piala Konfederasi 2017

Author: Budi Windekind (@Windekind_Budi)
Interista gaek yang tak hanya menggemari sepak bola tapi juga american football, balap, basket hingga gulat profesional