Dunia Asia

Pemecatan Stielike, Bukti Kejamnya Sepak Bola Asia untuk Pelatih

Tatapan kosong terpancar dari wajah Uli Stielike saat wasit Hettikamkanamge Dilan Perera asal Srilanka meniupkan peluit panjang tanda berakhirnya pertandingan Pra-Piala Dunia 2018 zona Asia antara Qatar kontra Korea Selatan di Jassim Bin Hamad Stadium, Selasa (13/6). Pria asal Jerman itu seakan tahu, momen penghakiman dirinya tinggal menunggu waktu.

Tim berjuluk Ksatria Taeguk yang memang tak tampil bagus pada laga kedelapan di fase kualifikasi, sebenarnya sempat dua kali menyamakan kedudukan. Namun, gol Hasan Al Haydos pada pertengahan babak kedua memastikan nasib buruk Stielike di timnas Korea Selatan. Hanya berselang dua hari dari kekalahan mengejutkan tersebut, peraih trofi Piala Eropa 1980 bersama Jerman Barat itu resmi dipecat.

Asosiasi Sepak Bola Korea (KFA) memilih ambil jalan yang bisa dibilang solusi dari kepanikan setelah tim kini hanya terpaut satu poin dari pesaing utama tiket langsung ke Rusia 2018, Uzbekistan. Sisa dua laga, termasuk partai penentuan saat bertandang ke Uzbekistan, membuat Korea Selatan tak punya banyak pilihan selain terus menang.

Stielike akhirnya jadi korban teranyar kekejaman sepak bola Asia terhadap pelatih, mayoritas terjadi pada juru taktik asing. Meski membawa Korea Selatan meraih prestasi tertinggi di Asia sejak tiga dekade silam, tak lantas membuat posisinya aman. Stielike yang menangani Ksatria Taeguk sejak September 2014 dan mempersembahkan trofi Piala Asia Timur 2015 serta finalis Piala Asia 2015, resmi dilengserkan dari posisinya.

Sudah jadi tradisi 

Sikap tegas tim-tim asal Asia terhadap pelatih ternyata bukan hal baru. Fenomena semacam ini telah terjadi sejak beberapa dekade silam. Rata-rata pelatih tim nasional top di benua kuning hanya bertahan tak lebih dari dua tahun. Bahkan trofi bukan sebuah jaminan seorang pelatih bisa bertahan lama. Sebagai patokan, raihan di Piala Asia dan Piala Dunia yang berlangsung masing-masing empat tahun sekali, kecuali edisi 2007, sangat memengaruhi nasib sang juru taktik.

Diambil contoh dari Piala Asia 1984 yang berlangsung di Singapura, Arab Saudi secara mengejutkan tampil sebagai juara meski baru saja mengganti pelatih kaliber Mario Zagallo dengan Khalil Ibrahim Al-Zayani. Tim berjuluk Elang Hijau menang 2-0 atas Cina di final dan Al-Zayani jadi pelatih pertama yang bisa membawa tim meraih titel Piala Asia.

Al-Zayani yang juga tercatat sebagai orang lokal pertama sebagai pelatih Arab Saudi, ternyata hanya bertahan dua tahun sebelum kembali diisi juru racik asing, Carlos Jose Castilho. Empat tahun berselang, siklus kembali terjadi.

Sebelum bawa Brasil juara Piala Dunia 2002, Carlos Alberto Parreira sempat mempersembahkan trofi Piala Asia 1988 untuk Arab Saudi. Eks pelatih kebugaran ini akhirnya hanya singgah sampai 1990, sebelum digantikan Metin Türel asal Turki yang bertahan tidak lebih dari satu tahun. Nasib lebih sial dialami pelatih yang kini menangani timnas Malaysia, Nelo Vingada.

Usai sukses mengantarkan Arab Saudi juara Piala Asia 1996, Vingada harus menerima fakta dipecat dari posisinya jelang pagelaran Piala Dunia 1998. Sejak saat itu atau sekitar dua dekade terakhir, tim Elang Hijau sudah melakukan 24 pergantian pelatih!

Bagaimana dengan tim asal Asia lainnya? Jawabannya sama saja. Sepanjang sejarah timnas Korea Selatan, mereka sudah dua kali meraih trofi Piala Asia. Namun, dua nama pelatih yang membawa Ksatria Taeguk juara, Lee Yoo-hyung tahun 1956 dan Wi Hye-duk pada edisi 1960, bertahan tak lebih dari dua tahun.

Bahkan Han Hong-ki yang mempersembahkan empat trofi saja cuma jadi pelatih timnas selama satu tahun delapan bulan. Pelatih asing pertama Korea Selatan, Anatoliy Byshovets saja hanya bisa bertahan pada kurun Juli 1994 sampai Februari 1995 atau cuma diberi kesempatan dalam 13 pertandingan.

Previous
Page 1 / 2