Eropa Italia

Akademi Internazionale Milano (Bagian Kedua): Penguasa Kompetisi Junior Italia

Para penggemar sepak bola, mungkin sudah terlalu sering mendengar nama akademi milik Ajax Amsterdam, De Toekomst, atau La Masia kepunyaan Barcelona sebagai akademi sepak bola nomor wahid di jagat sepak bola Eropa. Penyebabnya tentu karena dua akademi kesohor itu mampu menghasilkan banyak talenta-talenta muda berbakat di bidang sepak bola. Selain itu, prestasi keduanya pun terbilang sangat gemilang.

Walau begitu, bila membicarakan akademi dari sebuah klub sepak bola di Eropa, nama Interello milik Internazionale Milano jelas tidak boleh dipandang sebelah mata. Sebab kiprah dari akademi kesebelasan yang pernah berkunjung ke Indonesia di tahun 2012 silam ini memang sangat menjanjikan.

Semenjak Inter didirikan pada tahun 1908, pihak klub sudah memiliki fokus tersendiri pada pembinaan pemain muda. Akan tetapi, saat itu semuanya belum terstruktur seperti sekarang. Walau begitu, Inter membuktikan tetap sanggup mengembangkan bakat-bakat hebat seperti Ermanno Aebi dan Giuseppe Meazza. Duet Giacinto Facchetti dan Sandro Mazzola pun bisa dimasukkan dalam kategori ini.

Barulah di era kepemimpinan Angelo Moratti, Inter membentuk sebuah akademi klub yang punya struktur lebih jelas. Mulai dari filosofi yang diusung, sistem serta metode kepelatihan yang digunakan, hingga tingkatan-tingkatan umur yang tersedia. Sejak saat itu, akademi Inter pun jadi salah satu kawah candradimuka paling mentereng di tanah Italia.

Sang patron nampaknya sadar betul jika pembinaan usia muda yang sistematis bisa menjamin sumber daya pemain yang dibutuhkan oleh sebuah klub sepak bola. Dengan begitu, klub tersebut juga bisa terus eksis. Terlebih, di era 1960-an, Inter sedang berada di periode keemasan. Keinginan untuk melihat akademi Inter melahirkan bakat-bakat brilian seperti Mario Corso, Giacinto Facchetti dan Sandro Mazzola di masa depan jelas menggelegak di dalam dada ayah dari Massimo Moratti tersebut.

Proses perekrutan pemain belia yang awalnya terkonsentrasi di wilayah Italia, mulai dilebarkan. Hal ini juga yang kemudian membuat Interello disesaki bakat-bakat hijau dari Eropa Tengah, Eropa Timur bahkan Afrika dan Amerika Latin. Seperti yang kita saksikan saat ini.

Lebih manisnya lagi, perkembangan akademi Inter justru semakin baik dari hari ke hari. Pencapaian mereka di seluruh kelompok usia terbilang sangat ciamik. Diberkati berlian-berlian muda memang anugerah, namun Inter juga pandai dalam mencari figur pelatih yang dapat membimbing, menyemangati sekaligus memaksimalkan potensi mereka sebagai calon pemain profesional. Maka wajar apabila sejumlah trofi mayor (jumlahnya bahkan menembus angka 43 gelar) pun berhasil dibawa pulang ke Milano.

Trofi akademi Inter

Sekali lagi, ini membuktikan jika akademi Inter mempunyai kapasitas yang sangat baik dan standar yang tinggi dalam menggembleng bakat-bakat muda untuk berkembang menjadi figur yang lebih baik. Trofi-trofi di sekian jenjang usia itu bisa menjadi tolok ukur yang valid bahwa proyek pembinaan pemain muda di akademi Inter berlangsung dengan sangat prima.

Bukti sahih lanjutan baru saja ditorehkan akademi Inter di musim 2016/2017 kemarin setelah dua tim kelompok umur mereka, yakni Primavera (U-19) dan Berretti (U-18) sama-sama sukses menggondol Scudetto usai menekuk lawan-lawan mereka di babak final.

Di tengah jebloknya performa tim senior, pencapaian adik-adik Samir Handanovic dan kolega ini amat membahagiakan. Beberapa Interisti bahkan sampai melontarkan guyonan, alih-alih mendukung tim senior yang lebih senang menelurkan masalah demi masalah, mungkin saat ini bisa mengalihkan perhatian kepada tim-tim di akademi Inter yang konsisten meraup prestasi.

Apalagi ada sejumlah nama penggawa muda yang ikut mencuat berkat keberhasilan tersebut. Misalnya saja Andrea Pinamonti dan Zinho Vanheusden dari tim Primavera. Harus diakui, kenyataan ini memberi asa yang signifikan bagi Inter karena pemain-pemain yang mereka tempa terus menampakkan kilaunya.

“Apa yang ditampilkan tim Primavera dan juga Berretti sangatlah membanggakan. Kalian semua pun tahu bagaimana kualitas tim akademi kami. Saya berharap, ini bisa menjadi pelecut buat tim senior agar berprestasi”, terang Roberto Samaden, direktur akademi Inter, seperti dilansir situs resmi klub.

Berkaca pada bagian pertama pembahasan soal akademi Inter yang bagai sebuah ironi, lantaran tak banyak jebolan akademi yang dijadikan pilar tim selama satu dekade terakhir, prestasi gemilang yang didapat oleh akademi Inter selama ini tak lebih dari pemanis belaka. Pasalnya, sebanyak apapun trofi yang mereka dapatkan di level junior, tak serta merta membuka pintu ke tim senior.

Baca juga: Akademi Internazionale Milano (Bagian Pertama): Sebuah Ironi

Harus diakui, bila sisi kompetitif dan juga tekanan di jenjang junior dan senior adalah perkara yang berbeda jauh. Kondisi itu pula yang seringkali memengaruhi mental pemain muda. Banyak anak muda yang justru melempem saat diberi kesempatan turun bareng tim utama dan kesulitan bangkit setelah mentalnya ambruk.

Tapi apa yang telah diperlihatkan oleh anak-anak di akademi Inter selama ini, sudah sepatutnya membuat manajemen berpikir dua kali untuk menyia-nyiakan bakat mereka seperti yang selama ini terjadi.

Mempertimbangkan para pemain muda yang naik daun (walau mungkin hanya satu atau dua nama), bisa jadi upaya awal yang cukup menyejukkan, baik untuk para pemain, staf pelatih maupun tifosi setia. Apalagi memanfaatkan sumber daya yang disediakan pihak akademi sama sekali tak membebani neraca keuangan klub. Setidaknya jika dibandingkan dengan membeli pemain dari klub lain, misalnya.

Bagaimanapun juga, kita takkan pernah tahu kualitas sesungguhnya dari para pemain lulusan akademi jika kesempatan main di tim utama saja tak dipunyainya. Seperti yang tengah menimpa Federico Dimarco sekarang ini, awet dipinjamkan dari satu klub ke klub yang lain guna menambah jam terbang meski dirinya adalah profil yang (mungkin) bisa menambal bobroknya pos bek sayap Inter.

Sialnya, metode peminjaman yang serampangan atau tanpa memperhitungkan kebutuhan klub yang dipinjami, kerap berpengaruh atas lambatnya perkembangan sang pemain pinjaman. Karena seringkali, klub yang meminjamnya juga tak memberi waktu bermain yang cukup.

Kini, tim utama Inter ditangani oleh Luciano Spalletti, sosok allenatore yang punya track record tak terlalu mengilap soal mengorbitkan pemain muda. Apalagi petualangannya musim depan pasti akan penuh tekanan setelah di musim 2016/2017 Inter babak belur dan mengakhiri musim depan mengecewakan.

Tapi meletakkan harapan kepadanya, selain membangkitkan performa Inter secara keseluruhan, agar lebih banyak memberi jam terbang kepada pemain muda juga tidak haram untuk dilakukan, bukan?

Author: Budi Windekind (@Windekind_Budi)
Interista gaek yang tak hanya menggemari sepak bola tapi juga american football, balap, basket hingga gulat profesional