Nasional Bola

Teruslah Bernyanyi dan Berselawat, Laskar Santri Madura United!

Syahdan, terjadilah suatu perdebatan memanas antara ulama-ulama di Masjidil Haram, Mekkah. Mereka memperdebatkan soal mana yang halal, antara kepiting dan rajungan. Semua memiliki pandangan masing-masing, kitab-kitab babon pun dijadikan rujukan. Tetapi perdebatan tak menemukan titik cerah. Semua alim yang hadir tak mau kalah.

Tiba-tiba majulah ke muka hadirin, satu sosok yang secara fisik berbeda dengan mereka. Ia, dengan berbahasa Arab tentu, menegaskan bahwa perdebatan ini akan terus menemui jalan buntu. Mereka yang tengah berdebat tak pernah melihat kepiting dan rajungan secara langsung.

Sekonyong-konyong orang itu mengeluarkan rajungan dan kepiting dari kantong jubahnya. Seperti nelayan mengambil ikan dari jala. Padahal laut begitu jauh dan dua makhluk itu masih segar dan basah. Semua terdiam, terpana dan akhirnya keputusan pun diambil lewat cara yang sederhana. Terkadang manusia memang kerap meributkan hal yang tak ia ketahui.

Sosok tersebut berasal dari Madura. Namanya Kiai Kholil, atau secara takzim dipanggil Mbah Kholil. Kisah di atas sering diceritakan sebagai salah satu karomah beliau.

Meski cerita tersebut bisa diragukan keabsahannya, Mbah Kholil tak sebatas legenda. Kyai yang juga mendapat julukan “syeikhona” Kholil ini menjadi guru dari KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Wahab Chasbullah. Kedua figur tersebut adalah tokoh yang mendirikan dan membesarkan Nahdlatul Ulama, organisasi massa Islam terbesar di Indonesia.

Maka tak salah jika banyak yang mengaitkan orang-orang Madura dengan Islam dan NU. Ada celoteh menarik terkait ini: Di Madura tidak ada orang Islam, adanya orang NU.

Ada pemandangan menarik setiap Madura United melangsungkan pertandingan di Stadion Gelora Bangkalan (SGB). Beberapa sudut tribun dipenuhi suporter yang mengenakan busana khas santri. Mereka bernyanyi tiada henti, dan ya, mereka berselawat! Oleh karena Liga 1 2017/2018 kali ini berlangsung di bulan Ramadan, terdengar juga chant yang berbunyi, “saaahuuuur… sahuur

Kemarin, 12 Juni 2017, Laskar Santri kembali memutihkan SGB. Umumnya mengenakan sarung, baju koko dan songkok hitam. Tapi ada juga yang mau tampil nyentrik, mengenakan gamis, thawb, bahkan berjas! Luar biasa.

Pulau Madura  memang identik dengan pesantren. Model pendidikan ini, baik yang tradisi maupun yang modern, telah eksis di bumi Nusantara sebelum Indonesia menghirup udara merdeka. Pesantren-pesantren seperti Al-Amin (Sumenep), Tebuireng (Jombang, berdiri 1899), Lirboyo (Kediri, 1910), atau Gontor (Ponorogo, 1926) masih setia mencetak santri-santri hingga detik ini.

Cukup aneh kiranya, ketika lulusan pesantren harus mengikuti ujian persamaan jika ingin menempuh pendidikan universitas. Peraturan tersebut baru berubah ketika Gus Dur, cucu pendiri NU, menjabat Presiden Indonesia. Ribuan santri melanjutkan kuliah ke luar negeri, lha kok negeri sendiri tak mengakui?

Salah satu hiburan bagi santri, tak lain dan tak bukan, adalah sepak bola. Gus Dur di masa mudanya cukup sering menulis tentang sepak bola. Begitu pun Gus Mus, yang kala kuliah di Kairo, Mesir, membela tim sepak bola Bu’uts.

“Dulu posisi dan gocekan saya itu mirip Lionel Messi, tidak ada yang mengalahkan,” kata kyai yang juga piawai melukis dan berpuisi ini, kepada Beritagar (31/3).

Maklum, biasanya pesantren-pesantren melarang anak didiknya untuk menonton televisi. Namun mereka tak melupakan aspek kesehatan para santri, sehingga sepak bola menjadi hiburan utama di tengah-tengah kesibukan mendaras ilmu-ilmu agama.

Maka pemandangan SGB bersama Laskar Santrinya pun menjadi ciri khas tersendiri. Suatu penegasan yang tak dibuat-buat. Suatu kekayaan budaya, yang menambah pesona sepak bola. Sepak bola tak boleh menjadi tembok penghalang bagi siapa pun untuk menikmatinya.

Apalagi performa Laskar Sape Kerrab sedang mengalami grafik menanjak. Saat ini mereka dengan gagah bertengger di posisi 1 klasemen sementara Go-Jek Traveloka Liga 1 2017/2018. Kemenangan telak 6-0 atas Semen Padang membuat tim yang dilatih Mario Gomes de Olivera ini merebut puncak klasemen dari tangan PSM Makassar.

Didukung oleh trio PSG (Peter Odemwingie, Boubacar Sanogo, dan Greg Nwakolo), mereka telah menorehkan 22 gol atau rata-rata 2 gol per laga. Mereka ditopang oleh kelincahan Bayu Gatra dan Slamet Nurcahyono dan 22 gol tersebut menjadi yang tersubur di antara 17 klub lain.

Pihak klub sendiri mensyukuri adanya Laskar Santri, sehingga membuat video liputan khusus tentang mereka di kanal YouTube resmi klub.

Busana santri bukan busana kampungan. Sarung adalah simbol identitas, yang tak dipunyai negara-negara muslim lain. Saya berasumsi bahwa Laskar Santri diberi kebebasan dari pondok untuk menghadiri pertandingan, sebagai sebuah hiburan bagi mereka.

Senyum-senyum lebar bertebaran, mensyukuri ‘kemewahan’ yang diberkan pengasuh pondok. Selawat pun berkumandang semakin keras ketika tim pujaan berhasil menuntaskan laga dengan skor begitu telak.

Sejauh mana senyum itu terus merebak, tentu tugas berat yang harus diteruskan oleh para pemain. Madura United, bersama Bali United, adalah tim ‘baru’ yang bisa membangun klub dengan manajemen yang rapi. Akhirnya kedua kota ini mencatatkan diri sebagai kekuatan baru nan menyegarkan di peta sepak bola tanah air.

Liga baru bergulir selama 11 pekan. Jalan menuju kesuksesan masih begitu panjang. PSM pun masih menguntit, dengan keunggulan 1 laga yang belum dimainkan. Laskar Santri membuktikan bahwa sepak bola bisa bersanding dengan agama dan budaya. Tak ada yang perlu dirisaukan, selama hal tersebut berdampak positif dan menyenangkan bagi para penikmat bola.

Bukankah sebagai penikmat, yang kita dambakan adalah kenikmatan?

Ada beberapa pendapat yang menilai sepak bola telah mengalahkan agama. Stadion lebih ramai ketimbang gereja atau masjid. Tetapi di Madura, keduanya berjalan beriring dengan mesra. Sejarah Madura begitu kaya, menjadi salah satu pusat penyebaran agama Islam. Soekarno pernah mengunjungi Mbah Kholil, guna meminta restu untuk memerdekakan bangsa. Kyai tersebut merestui Sang Proklamator, sambil meniup ubun-ubunnya. Laskar Santri adalah pemandangan melegakan di tengah-tengah isu toleransi yang menguak belakangan ini.

Sholluu ‘alannabiy!

Author: Fajar Martha (@fjrmrt)
Esais dan narablog Arsenal FC di indocannon.wordpress.com