Kolom

Memimpikan Kedamaian antara Malang dan Surabaya

Dibanding kota-kota lain di provinsi Jawa Timur, nama Malang dan Surabaya tentulah yang paling populer di telinga masyarakat. Perkembangan kedua kota yang begitu cepat jadi salah satu penyebabnya.

Namun uniknya, baik Malang dan Surabaya justru menawarkan sensasi yang berbeda bagi siapapun. Entah untuk sekadar datang mencicipi apa yang dimiliki keduanya barang sesaat, maupun yang ingin menetap sembari mengukir kisahnya masing-masing.

Malang sangat terkenal sebagai kota besar yang wilayahnya berhawa sejuk serta punya hasil pertanian melimpah, dari buah-buahan hingga sayur mayur. Kondisi daerah khas pegunungan juga membuat Malang menjadi salah satu destinasi wisata favorit warga Jawa Timur begitu masa liburan tiba.

Berbeda 180 derajat, Surabaya yang juga ibu kota provinsi Jawa Timur berada di dataran rendah sekaligus dekat dengan laut. Keadaan ini menciptakan iklim yang cenderung lebih panas. Meski begitu, letaknya yang strategis membuat Surabaya berkembang jadi pusat perekonomian, khususnya perdagangan, di kawasan Indonesia bagian timur.

Dan seperti yang ditulis Miftakhul FS di bukunya yang berjudul Mencintai Sepak Bola Indonesia Meski Kusut, sebagai kota dengan latar belakang berbeda, Malang dan Surabaya justru saling membutuhkan satu sama lain. Terdapat simbiosis mutualisme yang mengikat keduanya, sedari dulu hingga detik ini.

Petani-petani asal Malang banyak yang mendistribusikan hasil bumi mereka ke arah utara, menuju pasar-pasar yang ada di Surabaya. Dari situ, mereka bisa mendapatkan penghasilan untuk memutar roda perekonomian. Baik untuk merawat sawah atau ladang, membeli bibit tanaman beserta pupuknya sampai menghidupi keluarga tercinta.

Sebaliknya, orang-orang Surabaya yang menjual hasil bumi tersebut di pasar juga ikut meraup rejeki. Hasil dari perniagaan itu juga mereka pakai untuk berwirausaha kembali sekaligus mencukupi kebutuhan keluarga sehari-hari.

Relasi yang ditunjukkan dari kedua kota sejatinya begitu humanis, karena sama-sama positif dan bermakna bagi kehidupan umat manusia. Sehingga menjadi hal yang sangat aneh jika masyarakat di kota Malang ataupun warga Surabaya justru saling membenci satu sama lain. Tapi realitanya, hal tersebut memang sungguh-sungguh terjadi dalam lingkaran sebuah permainan yang memikat mata dan menguras emosi bernama sepak bola.

Baik di kota Malang maupun Surabaya, berdirilah kesebelasan sepak bola yang sama-sama sarat sejarah dan tradisi yakni Arema serta Persebaya. Bila ditengok dari kemunculan dua entitas tersebut, maka dengan mudah diketahui jika Singo Edan, julukan Arema, dan Bajul Ijo, julukan Persebaya, berasal dari akar yang berbeda.

Arema muncul di pengujung akhir 1980-an di sebuah kompetisi semi profesional gagasan PSSI yang begitu fenomenal, Galatama. Sementara Persebaya justru lebih dahulu eksis karena jebolan ajang Perserikatan yang diinisiasi sejak era 1930-an.

Walau begitu, rivalitas yang terjadi di antara kedua kubu justru meruncing seiring waktu, khususnya setelah PSSI melebur kompetisi Galatama dan Perserikatan menjadi satu dalam wujud Liga Indonesia. Secara konstan, kedua tim ingin merebut hegemoni sebagai “wajah” sejati dari sepak bola Jawa Timur dengan meraih serentetan prestasi di kancah sepak bola nasional.

Dalam hemat saya, persaingan dalam berkompetisi jelas diperlukan, tentunya yang sehat. Karena dengan begitu, akan menghidupkan jiwa kompetitif yang ada pada kedua tim sehingga terus bergerak maju setiap waktu agar terus berprestasi serta tidak kalah dari rivalnya. Tapi dalam perkembangannya, situasi ini lebih sering berbelok arah dan memunculkan sisi gelapnya lantaran tak selesai dalam 90 menit di atas lapangan, utamanya di kalangan suporter.

Sudah menjadi rahasia umum apabila Aremania, suporter setia Arema, punya relasi yang kurang apik dengan Bonek, pendukung fanatik Persebaya. Kedua belah pihak seringkali berseteru dan melakukan tindakan anarkis terhadap rivalnya, entah dengan melakukan sweeping kendaraan asal Surabaya yang menuju ke Malang atau sebaliknya hingga menyanyikan chant-chant berbau kebencian di stadion (meski saat itu kedua tim tidak berhadapan).

Lebih ironis lagi, tak ada catatan historis yang menyebutkan bahwa suporter kedua kubu merupakan musuh bebuyutan di masa lalu. Percikan yang terjadi tak lebih dari perebutan gengsi mana yang lebih baik di antara Arema (Aremania) dan Persebaya (Bonek), irasionalitas dan ego sebagai manusia yang tragisnya, dilakukan dengan cara yang salah.

Baru-baru ini, muncul lagi sebuah friksi lantaran viralnya foto dua maskot Persebaya, Jojo dan Zoro, dengan seorang Aremania. Foto itu sendiri diambil di sebuah pusat perbelanjaan di Surabaya. Alhasil, duet maskot itu menerima banyak hujatan dari Bonek. Di sisi lain, Aremania juga meradang dengan tingkah laku salah satu anggotanya tersebut.

Kegaduhan yang naik ke permukaan ini membuktikan bahwa hubungan Aremania dan Bonek memang belum membaik. Masih ada sekat yang memisahkan keduanya dari kata damai, lebih-lebih akrab.

Terlepas dari sejumlah alasan yang bisa dikemukakan terkait relasi kedua suporter yang belum mencair, baik oleh Aremania ataupun Bonek, berlarut-larutnya perseteruan panas ini justru merugikan mereka sendiri maupun klub kesayangannya masing-masing. Pun pandangan masyarakat awam terhadap mereka, stigma negatif takkan pernah bisa dilepaskan.

Lalu sampai kapan memberhalakan irasionalitas dan ego seraya memelihara dan mempertahankan problem ini? Betapa kasihannya anak cucu kita nanti jika harus mewarisi hal semacam ini meski tak tahu asal muasal dari hubungan panas kedua kubu.

Tak bisakah “insiden” foto Jojo dan Zoro bersama suporter Arema ini menjadi titik awal kedua kubu untuk memperbaiki hubungan? Apalagi menurut kbbi.web.id, kata maskot mempunyai makna yang positif yaitu orang, binatang atau benda yang digunakan oleh suatu kelompok sebagai lambang pembawa keberuntungan atau keselamatan. Begitu pula dengan suporter yang mempunyai arti orang yang memberi dukungan atau sokongan. Sungguh arti yang dalam dan amat positif.

Dan dari dua kata itu saja, kita yang mengaku sebagai manusia (baca: suporter) dewasa ini bisa belajar banyak. Sehingga damai di antara Malang dan Surabaya tak cuma ada di impian saja.

Author: Budi Windekind (@Windekind_Budi)
Interista gaek yang tak hanya menggemari sepak bola tapi juga american football, balap, basket hingga gulat profesional