Kolom

Buffon, Patah Hati Itu Memang Pelik

Sebelum Anda bertanya lebih jauh, percayalah, saya punya kapabilitas menuliskan tentang patah hati dan perasaan-perasaan rumit setelahnya. Sebelum memiliki Kartu Tanda Penduduk dan Surat Izin Mengemudi, saya sudah belasan kali menjalin hubungan dengan lawas jenis dan mengalami problematika asmara yang kamu-kamu semua juga alami di hidup.

Masalahnya, seperti nubuat nabi asmara sejuta umat, Pablo Neruda, cinta memang sedemikian singkat, namun melupakannya yang begitu panjang. Dan di konteks Gianluigi Buffon, final Liga Champions dan trofi si Kuping Besar adalah patah hati yang teramat pelik dalam catatan kariernya yang bergelimang gelar dan kekudusan.

Dulu, saya beranggapan bahwa putus cinta itu hanya perkara sudut pandang. Tapi ketika akhirnya mengalami sendiri, patah hati atau putus cinta, atau istilah apapun yang pantas kamu sematkan dalam momen paling pelik di fase tumbuh dewasa itu, rasanya ia tetap memberi perasaan rumit yang sukar dicerna nalar. Saya masih ingat reaksi yang saya lakukan di patah hati pertama kala usia remaja. Pulang sekolah, saya masuk ke kamar dan memutar dua lagu. Satu lagu Wonderwall milik Oasis dan satu lagi lagu band Indonesia, Naff, yang seingat saya, judulnya Kenanglah Aku. Percaya sudah, lagu Naff itu punya lirik yang biadab untuk dicerna anak usia SMA.

Apakah itu menyembuhkan? Ya, lumayan, walau tak sembuh sepenuhnya. Tapi waktu itu, ibu saya punya analogi yang menarik soal patah hati. Ia mengibaratkan patah hati seperti proses bersalin. Ia hanya akan sakit di awal, karena bagi ibu muda, proses melahirkan yang pertama akan selalu menyeramkan dan membuat bergidik. Semacam pandangan bahwa pengalaman akan membuatmu lebih matang, seperti itu.

Namun agaknya, ibu kelewat salah mencari analogi. Selain karena saya anak tunggal dan ia hanya sekali mengalami proses bersalin, nyatanya, patah hati yang kedua, ketiga dan jumlah-jumlah berikutnya yang saya alami, tetap terasa lumayan perih.

Dan saya rasa, perasaan-perasaan rumit dan perih itu yang mungkin tengah dialami Gianluigi Buffon saat ini. Dari skuat Juventus yang turun berlaga kemarin malam, hanya Buffon yang terlibat dalam tiga laga final Nyonya Tua di Liga Champions dalam medio tahun 2000-an awal sampai saat ini. Ia berjibaku 120 menit plus adu penalti di final melawan AC Milan pada edisi 2002/2003. Ia menepis dua penalti yang sialnya, tak cukup membawa timnya juara. Ia kembali lagi pada edisi 2014/2015 dan kembali gagal di hadapan trio penyerang Amerika Latin Barcelona yang digdaya musim itu. Dan semalam, di edisi 2016/2017, patah hati ketiga kalinya dalam tiga partai final Liga Champions sepanjang kariernya kembali dialami sang Superman.

Bagaimana melihat respons psikis manusia setelah patah hati? Saya tidak tahu, tapi saya punya contoh bagus. Tiga atau empat tahun lalu, saya menemukan jurnal penelitian milik Universitas Chicago yang dikerjakan oleh John Cacioppo dan Louise Hackley dari departemen studi Chicago Center for Cognitive and Social Neuroscience. Judul penelitiannya singkat dan berdaya magis: Loneliness.

Ini salah satu jurnal akademis yang perlu tenaga ekstra untuk membacanya. Selain karena ia memuat banyak istilah psikologi yang cukup rumit dipahami, beberapa poin pembahasannya juga menyasar perihal patah hati dan bagaimana kegagalan dalam asmara membimbingmu menuju jurang yang dihindari miliaran orang di dunia: Kesepian.

Dari jurnal itu, saya coba menarik kesimpulan bahwa reaksi Gigi Buffon seusai laga semalam adalah titik nadir yang mungkin, setara dengan peliknya menjadi orang yang kesepian. Marcelo Bielsa punya contohnya. Ia salah satu orang paling idealis di kancah sepak bola dunia. Dalam suatu kisahnya, ketika ia mengalami kekalahan, ia akan mengunci dirinya di dalam kamar dan menikmati kesendiriaannya untuk berpikir bagaimana bisa ia mengalami kekalahan setelah semua taktik dan skema yang ia persiapkan.

Kadang, cara terbaik menerima kekalahan adalah dengan menelannya bulat-bulat. Sendirian.

Menurut saya, kekalahan ketiga di final Liga Champions bagi Buffon jauh lebih pelik daripada apa yang dirasakan oleh Juventus sebagai entitas. Juventus adalah tim besar dengan reputasi dan hikayat yang akan selalu lebih besar dari nama-nama pemainnya. Juventus akan selalu lebih besar dari Alessandro Del Piero, Pavel Nedved, David Trezeguet hingga Gianluigi Buffon. Itulah mengapa patah hati yang dialami Buffon kemarin malam, jauh lebih pelik daripada yang dialami para suporter Juventus di seluruh dunia.

Ia memang kapten Juventus, tapi kekalahan semalam tampaknya ia tanggung sendiri sebagai seorang manusia dan seorang kiper. Kalimat “Saya tidak tahu kenapa kami bermain seperti itu di babak kedua”, adalah sedikit contoh, bahwa kali ini, mungkin, kekalahan semalam lebih menyakitkan daripada tahun 2003 dan 2015 lalu. Saya tidak tahu pasti dan itu semua sebatas opini saya, tapi menjadi pecundang di sebuah laga final dengan hadiah trofi yang sudah sedemikian kamu idam-idamkan selama ini adalah wujud patah hati yang paripurna.

90 menit memang terasa singkat, tapi melupakan sebuah kekalahan setelah 90 menit adalah kerja panjang yang melelahkan.

Isidorus Rio Turangga – Editor Football Tribe Indonesia