Suara Pembaca

Luca Toni, Penyerang Klasik Terakhir dan Terhebat Milik Italia

“Kami ingin membeli orang Italia (Toni) itu karena ia jaminan gol,”– Franz Beckenbauer, tentang Luca Toni di musim panas 2007.

Ya, seperti itulah kita mengenal Luca Toni. Seorang penyerang haus gol. Saya ingat, di masa jayanya, juru gedor kebanggaan Italia ini sempat dipanggil ‘Padron Toni’, yang berasal dari sebuah karakter dalam novel Italia berjudul I Malavoglia. Sebegitu kagumnya saya pada Toni, sampai saat membuat alamat surel pertama kali pun saya mengingat namanya dan akhirnya dalam akun surel saya terselip kata ‘padron’.

Toni adalah salah satu sosok yang bertanggung jawab terhadap tingginya tingkat kehadiran suporter Fiorentina di Stadion Artemio Franchi pada musim 2005/2006. Penampilannya sangat mengagumkan kala itu. Ia menyumbangkan 31 gol untuk La Viola, menjadi capocannoniere Serie A di akhir musim, serta turut membantu Fiorentina menempati peringkat 4 klasemen akhir Serie A, meski akhirnya dianulir akibat kasus Calciopoli.

Ada sebuah momen unik yang paling saya ingat darinya, selain gaya selebrasi golnya itu. Momen itu terjadi pada pertandingan Piala Dunia 2006 di grup E antara Italia dan Amerika Serikat (AS) yang berkesudahan 1-1. Di pertengahan babak pertama, Italia mendapat tendangan bebas di sisi kiri kotak penalti AS. Andrea Pirlo yang menjadi algojo pun melepaskan tendangan tersebut ke dalam kotak penalti, kemudian disundul oleh Alberto Gilardino dan menjadi gol. Selebrasi ala pemain biola dari Gilardino pun langsung menjadi viral saat itu.

Lalu, di mana Toni? Saat Gilardino menyundul bola, Toni sedang dijaga ketat oleh pemain AS. Saat umpan dilepaskan Pirlo, ia langsung dihadang dan tak bisa bergerak maju. Namun, hanya ia yang mendapat penjagaan ketat, sedangkan Gilardino dengan mudahnya lolos dari penjagaan para pemain The Yanks. Aneh memang, namun momen itulah yang saya ingat darinya. Sebagai seorang penyerang, terlebih lagi ia baru meraih sepatu emas Serie A dan Eropa di akhir musim sebelum Piala Dunia, wajar bila Toni dijaga sedemikian rupa.

Meski pada kejuaraan yang digelar di Jerman tersebut Gli Azzurri menjadi kampiun, namun Toni hanya mencetak dua gol saja sekalipun bermain di seluruh pertandingan sejak penyisihan sampai final. Namun penampilannya secara keseluruhan saat itu membuat Franz Beckenbaüer dan Bayern München mulai tertarik untuk membawanya ke Jerman dan akhirnya menjadi kenyataan pada tahun 2007.

Sebagai seorang pemain nomor 9, karakter bermain Toni memang luar biasa. Meskipun tidak cepat, ia memiliki dua kaki yang sama baiknya, piawai duel udara, memiliki fisik yang tinggi dan kuat, memiliki jangkauan kaki yang panjang dan bagus, kuat dalam menguasai bola, agresif, dan tentu saja, oportunis di kotak penalti lawan.

Kemampuannya dalam mencetak gol pun sangat diakui para penggemar sepak bola. Lagipula, siapa yang berani meragukannya? Di lemari trofinya ia punya satu sepatu emas Serie B (2003/2004), dua sepatu emas Serie A (2005/2006 dan 2014/2015), satu sepatu emas Bundesliga (2007/2008), satu sepatu emas Piala UEFA (2007/2008), dan satu sepatu emas Eropa (2005/2006). Hebatnya lagi, sepatu emas Serie A yang kedua diperolehnya di usia 38, bersama Hellas Verona, klub papan bawah Serie A.

Semua itu sudah cukup untuk membungkam para pengkritiknya. Bahkan orang-orang di Fiorentina pun barangkali terkejut melihat pencapaian yang terakhir itu. Pasalnya, di akhir musim 2012/2013, manajemen La Viola memutuskan tak lagi memperpanjang kontrakny  dan menyodorinya sebuah jabatan dalam direksi klub. Namun Toni menolak karena ia merasa masih mampu bermain bagus. Ia pun membuktikannya bersama Verona.

Selama tiga musim membela Gialloblu, ia berhasil mencetak 51 gol dari 100 partai. Sebuah rasio gol yang gila untuk seorang penyerang di usia senja. Di pertandingan terakhirnya sebagai pesepak bola pun ia masih bisa mencetak 1 gol saat membungkam Juventus 2-1 di Stadion Marc’Antonio Bentegodi. Sepanjang 22 tahun kariernya, ia telah mencetak 322 gol, baik bersama klub ataupun timnas Italia. Ya, seperti ucapan Der Kaiser di awal artikel, ia memang jaminan gol.

***

Di era sepak bola modern saat ini, gaya bermain pemain nomor 9 murni seperti Toni sudah mulai ditinggalkan. Seorang penyerang kini harus bisa beradaptasi dengan kebutuhan permainan yang sudah semakin dinamis ini. Lihat saja Mario Mandzukic di Juventus. Ia rela diturunkan menjadi pemain di pos sayap dan walau bermain bagus di posisi itu, kita semua tentu mengingat Mandzukic sebagai penyerang tengah tajam.

Saat Toni memutuskan pensiun pada 2016 lalu, La Gazzetta dello Sport pun menyebutnya sebagai the last great Italian centre forward. Ya, semakin susah mencari pemain nomor 9 murni yang hebat saat ini di sepak bola Negeri Pizza tersebut.

Meski begitu, sebagai negara kuat di Eropa dan dunia, Italia mungkin tak akan kehabisan penyerang hebat yang siap menggantikan Toni, meski gaya mainnya berbeda. Andrea Belotti dan Ciro Immobile sudah membuktikannya saat ini. Hanya tinggal menanti, apakah mereka dan para attacante muda Italia lainnya juga bisa melakukan apa yang seorang Luca Toni lakukan, yaitu menjadi juara dunia.

Author : Adhi Indra Prasetya (@aindraprasetya)
Seorang penulis bola amatir di adhiiprasetya.wordpress.com