Kolom

Mengenal Lebih Akrab Kunihiro Yamashita, Bek Tangguh Pusamania Borneo FC

“Nama saya Kunihiro Yamashita, kamu boleh panggil saya ‘Kuni’.”

Namanya dikenal oleh publik sepak bola Indonesia ketika memperkuat tim cadangan Pusamania Borneo FC (PBFC) di Piala Presiden 2017 lalu. Kunihiro tampil baik sepanjang turnamen di jantung pertahanan tim berjuluk Pesut Etam tersebut. Ia berhasil menyarangkan satu gol dan membawa tim melaju ke partai puncak. Meskipun kemudian timnya dikalahkan Arema FC di final, nama Kunihiro menjadi tersohor ke seluruh penjuru negeri.

Tim Football Tribe Indonesia berkesempatan untuk bertemu dengan Kunihiro di sela-sela persiapannya sebelum laga antara timnya berhadapan dengan Persib Bandung di pekan ketujuh Go-Jek Traveloka Liga 1. Di sebuah rooftop hotel tempat timnya menginap, sembari menikmati udara kota Bandung yang sejuk, Kunihiro bercerita soal karier sepak bolanya, dan bagaimana ia bisa sampai di Indonesia.

Sosoknya yang ramah membuat perbincangan menjadi begitu menyenangkan. Obrolan di mulai dengan bagaimana Anda mesti memanggil namanya.

“Kamu harus tahu, pertama kali saya tiba di sini (Indonesia), saya bingung orang-orang terus memanggil saya “Yamashita”. Padahal itu adalah nama marga saya. Sama seperti di Indonesia, orang-orang Jepang juga dipanggil sesuai nama depan mereka.”

Lahir di Kashiwa, Chiba, Jepang, 30 tahun lalu, Kuni adalah salah satu dari sekian bakat-bakat sepak bola negara tersebut yang merupakan produk dari kompetisi sekolah. Ia merupakan alumnus Ryutsu Keizai University, sekolah swasta dengan seluruh tingkatan (sampai universitas) yang berlokasi di Ibaraki, dan memang terkenal sebagai tim sekolah yang hebat.

Kuni bersekolah di sana dari tingkat SMA sampai universitas. Hingga pada tahun 2006, ia mendapatkan kontrak pertamanya di Roasso Kumamoto , tim peserta J2 League.

“Selepas dari tim sekolah saya dikontrak Roasso Kumamoto. Waktu itu mereka masih main di JFL (level ketiga kompetisi Jepang. Hingga pada 2013, J3 League diberlakukan). Saya bawa tim sampai bisa bermain di J2. Setelahnya saya pindah ke Albirex (Niigata), tim satelit sepak bola Jepang di S-League, Singapura. Dua musim saya di sana lalu pindah lagi ke Tampines Rovers, lalu pindah lagi ke Hougang United.”

Sebanyak 61 laga dan 10 gol Kuni bukukan selama lima musimnya di Singapura. Satu gelar ia raih yaitu ketika berseragam Tampines Rovers dengan berhasil memboyong League Cup Singapura pada tahun 2011.

Sempat tampil satu musim di Liga Myanmar bersama Yangon United dan berhasil mempersembahkan MFF Charity Cup. Kuni kemudian menceritakan bagaimana nasib kemudian membawanya ke Indonesia.

“Setelah kontrak habis di Yangon (United), saya mencari klub baru. Prosesnya agak sulit, mungkin karena sekarang saya 30 tahun. Saya sempat trial di tim lain di Myanmar, lalu ke Thailand. Tetapi kontraknya tidak begitu bagus jadi saya tolak. Kemudian saya sempat ke Laos dan Kamboja, tetapi saya tidak terlalu nyaman dengan negaranya. Lalu trial lagi di Kedah FA, tapi kemudian tidak terjadi kesepakatan kontrak.”

“Saya sempat agak bingung waktu itu. Sampai akhirnya ketika sedang mengobrol dengan sahabat SMA saya, Kenji Adachihara (eks-Persiba Balikpapan dan Persib Bandung), ia bertanya apakah saya mau main di Indonesia atau tidak. Kebetulan, kata dia (Kenji), kawannya seorang pelatih membutuhkan pemain asing di posisi bek tengah. Saya jawab, ya tentu saja! Setelah itu saya dikenalkan dengan Ricky Nelson yang waktu itu menangani tim PBFC II untuk Piala Presiden. Saya lalu ikut trial dan akhirnya lolos.”

Ketika ditanya mengapa ia kemudian mengiyakan tawaran untuk bermain di Indonesia. Begini jawaban Kuni, “Sebelum dari Kenji, saya sudah dengar kalau Indonesia negara yang menyenangkan. Alamnya indah, cuacanya juga bagus. Kenji semakin menyakinkan saya. Apalagi ternyata soal penggemar tidak salah lagi kalau di sini betul-betul fanatik dan luar biasa. Sesuatu yang saya tidak banyak lihat di negara lain. Makanannya juga enak!” sambung Kuni sembari tertawa.

Sudah bermain di hampir seluruh negara Asia Tenggara, Kuni berpendapat ada perbedaan yang sangat besar di antara negara-negara kawasan tropis ini. Bahkan ia menyebut bahwa Indonesia adalah yang paling berbeda ketimbang yang lain.

“Sebenarnya tergantung tim mana yang akan dihadapi. Yang berbeda adalah, ketika dulu saya di Myanmar, permainan di sana begitu cepat. Rasanya para pemain terus berlari sepanjang pertandingan. Di Singapura lebih teknikal, tapi di sana juga permainan cepat. Sementara di Indonesia secara umum lebih mengandalkan power dan fisik. Tapi beberapa tim juga memiliki teknik yang bagus”.

Sudah bermain di Piala Presiden 2017 dan juga mencicipi kompetisi kompetitif Liga 1, ketika ditanya penyerang mana yang paling sulit ia hadapi. Kuni dengan cepat menjawab satu nama.

“Beto…Beto Goncalves”.

“Saya tipe pemain bertahan yang mengandalkan kemampuan fisik jadi lebih senang bertarung memperebutkan bola di duel udara. Beto tipe penyerang yang cepat. Ia bisa berlari dan pergerakannya juga berbahaya. Ia juga cerdik dan pandai mencari celah. Saya sangat kesulitan ketika berhadapan dengan dia”.

Kuni pun bahkan sudah memiliki pendapat soal tim paling sulit dihadapi di Indonesia.

“Saya memang baru bermain di Piala Presiden dan enam pertandingan di Liga. Tapi saya tahu kalau (Persipura) Jayapura adalah tim yang bagus, dan berbeda dengan kebanyakan tim lain, jampir semua pemain mereka punya kualitas teknik yang baik. Mereka juga terus berlari”.

Mengakhiri obrolan. Ditanya soal peluang timnya di Go-Jek Traveloka Liga 1 musim ini. Kuni mengaku optimis.

“Saya optimis dan juga berharap tim saya bisa bermain baik. Ada banyak potensi di sini. Banyak pemain berusia muda yang punya kualitas. Jadi saya pikir, kami mungkin saja bisa mencapai sesuatu yang bagus di akhir musim nanti.”

Author: Aun Rahman (@aunrrahman)
Penikmat sepak bola dalam negeri yang (masih) percaya Indonesia mampu tampil di Piala Dunia