Eropa Prancis

Mengenal Luis Campos, Otak Utama Kebangkitan AS Monaco

Dari tim yang terpaut 31 poin dengan juara Ligue 1 musim lalu, Paris Saint-Germain (PSG), AS Monaco sukses bertransformasi dan kini hanya berjarak satu poin dari trofi liga. Andai kalah pada dua laga sisa versus Saint-Etienne dan Rennes sekalipun, Les Monegasques diprediksi tetap bisa merayakan gelar juara mengingat keunggulan selisih gol yang cukup mencolok dari PSG.

Monaco seakan jadi harapan baru pencinta Ligue 1 yang mulai bosan dengan dominasi PSG. Pasalnya sejak empat musim lalu, hegemoni Les Parisiens tak tergoyahkan. Maka tak heran jika perjalanan Monaco mendobrak didukung banyak pihak, tak hanya dari suporternya saja.

Tak hanya pada ajang domestik, laju kencang Monaco di kompetisi Eropa juga diapresiasi banyak pihak. Tak disangka sebelumnya, anak asuh Leonardo Jardim berhasil melaju hingga ke semifinal dengan menyingkirkan tim sekelas Manchester City hingga Borussia Dortmund, sebelum dihentikan Juventus. Banjir pujian didapat Monaco, mulai dari para pemain hingga staf pelatih.

Nama-nama pemain muda berbakat seperti Thomas Lemar, Tiemoue Bakayoko, sampai tentunya Kylian Mbappe Lottin, diagung-agungkan publik Stade Louis II. Pun halnya dengan Jardim sebagai pelatih. Kemampuannya meracik skuat seadanya tanpa banyak pemain bintang disanjung setinggi langit. Namun, praktis tak ada yang menyebut nama Luis Campos.

Aktor utama transisi status

Memangnya, siapa sebenarnya sosok Campos? Jika Sevilla sempat punya Monchi atau Juventus dengan Giuseppe Marotta-nya, Monaco kini tengah merasakan hasil kerja keras Campos. Pemberitaan tentangnya memang tak banyak, bahkan cenderung terbatas. Kedatangan dan kepergiannya dari Monaco saja bisa dibilang sunyi senyap.

Akan tetapi, Campos adalah salah satu otak terbesar dalam kebangkitan Monaco musim ini. Pada kurun 2013-2016 di Stade Louis II, pria asal Portugal ini kali pertama direkrut sebagai penasihat olahraga, sebelum naik menjadi direktur teknik. Di Les Monegasques, Campos mengontrol aktivitas transfer yang dilakukan klub. Di sini, peran besarnya terlihat.

Sebelumnya, sempat dibahas bagaimana presiden klub, Dmitry Rybolovlev, mengubah paradigma dan kebijakan transfer yang sebelumnya bertumpu pada gelontoran uang demi pemain bintang, menjadi fokus pada akademi dan pemain muda berkualitas yang belum terendus radar klub-klub elite Eropa.

Pada momen ini, Campos jadi aktor penting dalam proses transisi status klub. Dia menekan pengeluaran transfer klub yang pada musim panas 2013 mencapai 136,6 juta euro, menjadi hanya 33 juta euro setahun setelahnya. Tak ada lagi pemain mahal yang didatangkan seperti James Rodriguez, Radamel Falcao, sampai Joao Moutinho, berganti pada semakin banyaknya pemain muda yang diorbitkan.

Tepat pada hari yang sama Campos ditunjuk sebagai direktur teknik, Monaco sukses mendatangkan bintang masa depan timnas Portugal dan andalan Benfica, Bernardo Silva, dengan biaya hanya sepertiga dari harga Falcao saat didatangkan dari FC Porto. Awal musim 2014/2015 juga ditandai dengan perekrutan Bakayoko dari Rennes dengan mahar 6,8 juta euro.

Berselang semusim, aktivitas pembelian pemain Monaco memang kembali naik, dengan total 82 juta euro yang dikeluarkan manajemen. Itu pun dengan catatan penjualan pemain mencapai harga 151 juta euro, atau dua kali lipat dari penghasilan musim sebelumnya terkait transfer pemain. Dana terbesar didapat dari penjualan Anthony Martial ke Manchester United, Geoffrey Kondogbia (Internazionale Milan), dan Layvin Kurzawa (PSG).

Meski sekilas mirip FC Porto dalam hal kebijakan menjual pemain bintang, tapi mari simak siapa yang didatangkan Campos dan Monaco pada awal musim lalu. Jemerson, Gabriel Boschillia, Fabinho, Corentin Jean, dan Lemar sukses didatangkan atau dipermanenkan dengan total dana tak lebih dari 30 juta euro. Satu yang kini jadi sorotan adalah momen promosinya Mbappe dari tim Monaco U-19.

Musim ini deretan nama tersebut menjelma jadi kesatuan solid di atas lapangan. Silva dan Lemar jadi kekuatan di sisi sayap, sementara Jemerson membentuk duet di jantung pertahanan bersama pemain yang direkrut awal musim ini, Kamil Glik. Bakayoko sendiri menancapkan namanya di jajaran elite pesepak bola di Ligue 1 berkat performa stabil dan kerja samanya dengan Joao Moutinho.

Sementara Fabinho memberikan keriangan tersendiri karena sukses ditempatkan sebagai gelandang bertahan, setelah jadi salah satu fullback kanan terbaik di kasta tertinggi sepak bola Prancis itu. Mbappe jadi yang paling sukses. Pemain yang baru berusia 18 tahun itu sudah mengemas 14 gol dan delapan asis, pendamping sepadan Falcao yang bangkit musim ini lewat 21 golnya.

Dari Mourinho ke Mbappe

Meski hampir dipastikan bakal rengkuh titel Ligue 1 2016/2017, Monaco juga berpeluang tak bisa mengalami momen yang sama seperti saat ini. Sejak awal musim ini, Campos memutuskan mundur dan memilih beristirahat sejenak dari hiruk pikuk sepak bola. Posisinya digantikan oleh Antonio Cordon.

Sejenak menilik karier seorang Campos, keberhasilan di Monaco bak sebuah jodoh yang sempat tertunda. Setelah lulus dari studi olahraga pada sebuah universitas di Porto, pria yang kini berusia 52 tahun itu kali pertama berkarier di dunia sepak bola saat ditunjuk jadi pelatih fisik Uniao Leiria tahun 1990. Dua tahun selanjutnya, Campos dipercaya sebagai pelatih utama.

Sayangnya karier kepelatihan tampak tak cocok dengan dia. Klub Primeira Portugal mulai dari Gil Vicente, Vitoria Setubal, sampai SC Beira-Mar, gagal dibawa Campos terbang tinggi. Peruntungan diterima saat pelatih Real Madrid tahun 2012, Jose Mourinho, merekrutnya untuk jadi staf teknik merangkap pemandu bakat dan analis permainan lawan. Namun, kariernya di Stadion Santiago Bernabeu hanya bertahan semusim seiring dengan nasib buruk Mou di Madrid, sebelum akhirnya berlabuh ke Monaco.

Di Les Monegasques, sosok Campos mulai sedikit dikenal. Perekrutan dan promosi banyak pemain muda berkualitas jadi kunci. Setelah beristirahat sejenak, Campos bersiap kembali bergelut dengan dunia si kulit bundar lewat jabatan penasihat, tapi bukan di Monaco, melainkan sesama klub Ligue 1, LOSC Lille, per awal musim depan.

Les Dogues memenangkan persaingan mendapatkannya dari Manchester United, Real Madrid, hingga AC Milan. Di Lille dia bakal bersinergi dengan pelatih anyar berjuluk Si Gila, Marcelo Bielsa.

Lantas, apakah Campos bakal mengulangi kesuksesan kala di Monaco? Atau Les Monegasques yang tak merasakan kehilanganya berkat sosok anyar, Cordon? Terlepas dari apapun, termasuk siapa saja pemain Monaco yang akan bertahan musim depan, angkat topi perlu diberikan Mbappe dan kawan-kawan sebagai apresiasi untuk jasa seseorang bernama lengkap Luis Filipe Hipolito Reis Pedrosa Campos ini.

Author: Perdana Nugroho
Penulis bisa ditemui di akun Twitter @harnugroho