Kolom

Tony Adams dan Buruknya Sistem Kepelatihan Sepak Bola Inggris

Bagi pendukung Arsenal Tony Adams adalah legenda. Pemain yang masuk dalam jajaran elite “one-club man” ini menjadi kapten bagi The Gunners sejak ia berumur 21 tahun. Figurnya yang gagah menghiasi pertahanan Arsenal, yang saat dilatih George Graham, juga dijuluki “wonderwall” itu.

Selama berkiprah di London Utara, Adams berhasil membawa mereka menjadi kampiun liga Inggris di tiga dekade yang berbeda. Catatan tersebut membuatnya akan selalu dikenang karena ialah pemain satu-satunya yang berhasil mengemas rekor tersebut. Mengingat semakin sulitnya seorang pemain berada di satu klub sepanjang kariernya, rekor ini akan bertahan lama.

Seusai memutuskan pensiun di akhir musim 2001/2002, Adams tak sanggup mengulang masa jayanya ketika menjadi pemain. Yang menyedihkan, tim-tim yang dilatihnya justru sering mendapat olok-olok.

Adams kembali menjadi cibiran saat tim yang baru diasuhnya, Granada, menghadapi Real Madrid. Di laga yang berkesudahan dengan skor 4-0 untuk Madrid itu, kamera televisi menangkap tingkah Isco yang meledek Adams dari bangku cadangan Madrid. Sambil tertawa, gelandang didikan akademi Valencia itu berteriak kepada Adams, “Hey, pelayan, Coca Cola, dong!”

Isco merujuk pada gaya Adams yang di pertandingan itu memang bak pelayan pub, tempat yang dulu ia akrabi. Selain mengenakan kacamata trendy dan menyisir rambut ke belakang, ia juga mengenakan rompi dan berkemeja rapi, yang sayangnya tidak menolong performa timnya. Sempat begitu enerjik di tepi lapangan, Adams memilih mendekam di bangku ofisial karena Granada luluh lantak sejak babak pertama.

Kekalahan ini menjadi kekalahan kelima yang diderita Adams sejak menangani Granada yang telah resmi menjadi tim yang terdegradasi dari La Liga musim ini. Ia dilantik menjadi pelatih Los Carmenes sejak 10 April silam.

Yang mengherankan, mengapa Adams menerima pinangan klub tersebut? Status Adams jelas sebagai caretaker. Dan Mahir Pradana pernah mengungkap alasan mengapa Adams bisa ditunjuk manajemen Granada; bahwa ia memiliki kedekatan dengan bos klub, Jiang Lizhang.

Dengan begini, Adams seperti mengambil jalan pintas demi keuntungan finansial, sambil mengindahkan reputasinya sendiri. Kiprahnya sebagai pelatih memang begitu buruk. Selain itu, ia terakhir kali melatih tim pada 2011. Itu pun tim antah berantah Gabala FC, yang berasal dari negara antah berantah pula, Azerbaijan.

Selain kesembronoan Adams pascapensiun, hal ini kembali mengungkap salah satu borok sepak bola Inggris, yaitu ketidakmampuan mereka memproduksi pelatih-pelatih andal. Dari 20 tim yang berlaga di Liga Primer Inggris, 16 tim dilatih pelatih asing. Hal tersebut juga berimbas di ajang antarklub Eropa.

Joe Fagan dan Keith Burkinshaw adalah orang Inggris terakhir yang mampu membawa tim masing-masing (Liverpool dan Tottenham Hotspur) berjaya di benua biru. Itu pun terjadi tiga puluh tiga tahun yang lalu, 1984.

Saat awak media memberi label liga mereka sebagai liga terbaik di dunia, ternyata memberi ironi tersendiri. Selain kerap abai memberikan kesempatan pada pemain-pemain lokal, sepak bola Inggris juga tidak mampu menciptakan kultur kepelatihan yang baik. Sialnya, Adams berada di kondisi dan lingkungan yang memprihatinkan seperti ini.

Gemerlap Liga Primer menciptakan kultur selebritas yang sering mengundang masalah. Alih-alih meniti jalan sebagai pelatih, banyak bekas pemain yang lebih memilih menjadi pengamat (pundit) atau bintang tamu acara televisi.

Jika Inggris tidak berniat mengubah paradigma ini, maka sepak bola Inggris akan selalu jalan di tempat, walaupun liganya menjadi yang paling populer di industri olahraga. Perhatikan daftar pemenang tiga Piala Dunia terakhir (Jerman 2014, Spanyol 2010, Italia 2006), mereka adalah negara-negara yang menghasilkan banyak pelatih jempolan.

Italia menjadi nama dominan karena sepanjang perhelatan Liga Primer, ada empat pelatih berpaspor Negeri Pizza yang sukses membawa klubnya menjadi jawara. Seperti yang telah ditulis Yamadipati Seno, Italia memiliki Scuola Allenatori, kawah candradimuka bagi para pelatihnya.  Musim ini, jika Chelsea menjadi juara, maka Antonio Conte mengikuti jejak Massimiliano Allegri dan Carlo Ancelotti yang sama-sama membawa timnya menjadi juara di liganya masing-masing.

Sosok yang berperan mengembalikan karier Adams dari keterpurukan, Arsene Wenger, menjadi salah satu pemicu berubahnya pandangan klub-klub pada sosok pelatih.

Saat Wenger membawa Arsenal juara di musim 1997/1998, ia menjadi pelatih asing kedua yang berhasil berprestasi di Inggris. Orang pertama adalah Ruud Gullit, yang memenangkan Piala FA untuk Chelsea. Sebelum mereka berdua, tidak ada pelatih asing yang sanggup membawa timnya menjuarai gelar apapun di Inggris.

Berbeda dengan Gullit yang hanya sebentar menakhodai Chelsea, Wenger kerap disebut tidak hanya merevolusi Arsenal, tetapi juga sepak bola Inggris secara menyeluruh. Wenger memukau insan sepak bola lewat program diet ketat, penggunaan statistik, dan jaringan pencari bakat global. Rick Parry, bekas kepala eksekutif Liverpool, menyebut kesuksesan Wenger membuat klubnya berpikir ulang soal bagaimana memilih pelatih yang tepat untuk The Reds.

Kisah Adams bersama Granada adalah fenomena kecil di balik permasalahan yang lebih kompleks. Inggris menerapkan kebijakan homegrown player demi memberi kesempatan bagi talenta-talenta lokal. Namun hasilnya justru di luar dugaan: harga pemain-pemain lokal meroket meski kemampuannya biasa saja. Hal yang sama tentu tak boleh mereka ulangi terkait permasalahan pelatih ini. Mengubah sistem yang telah mengakar tidak semudah membalik telapak tangan.

Ironis, Inggris yang dulu dikenal sebagai bangsa pelaut ulung yang menjajah banyak bangsa kini dijajah sepak bolanya. Magnet Liga Primer juga menarik para pemodal asing sehingga pelatih-pelatih lokal makin sulit mendapat tempat. Dan prestasi tim nasionalnya pun akan sama-sama mengiringi buruknya sistem sepak bola mereka.

Kejayaan Inggris di tahun 1966 pun kian terlihat seperti mitos…

Author: Fajar Martha (@fjrmrt)
Esais dan narablog Arsenal FC di indocannon.wordpress.com