Eropa Prancis

Kemenangan Emmanuel Macron, Kemenangan bagi Skuat Multi-Etnis Prancis

November lalu, dunia dikejutkan dengan kemenangan Donald Trump dari Partai Republik sebagai Presiden Amerika Serikat, mengalahkan rivalnya yang lebih berpengalaman, Hillary Clinton, dari Partai Demokrat. Sosok Trump yang kontroversial, dari pernyataan anti-imigran, mengutamakan kepentingan dalam negeri hingga main serang lawan politiknya, membuat dunia bertanya-tanya seperti apa kebijakan pengusaha kaya ini saat menjadi pemimpin negara adidaya tersebut.

Nah, ada kekhawatiran bahwa gerakan nasionalisme yang cenderung anti-asing ini memang mewabah ke Eropa. Sebut saja saat Inggris memutuskan akan keluar dari Uni Eropa, lalu munculnya sosok-sosok politisi anti-imigran seperti Marine Le Pen di Prancis dan Geert Wilders di Belanda.

Namun, ternyata efek domino ini tidak terlalu berpengaruh. Pemilu Belanda beberapa waktu lalu menunjukkan Geert Wilders dari partai sayap kanan PVV kalah dari partai Perdana Menteri Belanda, Mark Rutte (VVD) saat pemilu Belanda pertengahan Maret lalu.

Setelah Belanda, salah satu pemilu penting di Eropa adalah pemilu Prancis. Di sini ada sosok yang sudah lama dikenal sebagai anti-imigran dan anti-Uni Eropa yaitu Marine Le Pen dari Partai Front Nasional. Popularitasnya cukup meningkat jelang pemilu, terlebih Paris sempat beberapa kali diguncang serangan teror.

Lagi-lagi, serangan teror tidak serta merta membuat partai Front Nasional yang anti-imigran dan anti-Islam ini menang. Di pilpres Prancis putaran kedua Minggu (7/5) lalu, Emmanuel Macron berhasil menang telak atas Le Pen dengan perolehan suara sementara mencapai 65 persen. Di putaran pertama (23/4), Macron menang tipis atas Le Pen.

Seperti kita ketahui, pemilu Prancis digelar dalam dua putaran jika tidak ada kandidat yang menang mutlak atau meraih perolehan suara 50+1 persen.

Emmanuel Macron

Siapa Emmanuel Macron?

Sosoknya yang masih muda (39 tahun) membuat dia akan menjadi Presiden Prancis termuda. Awalnya banyak yang tidak terlalu memperhitungkan Macron yang juga mantan menteri ekonomi semasa jabatan Francois Hollande. Namun, dia tiba-tiba meroket menjadi sosok idola baru yang membawa perubahan bagi Prancis.

Mendirikan gerakan En Marche! setelah keluar dari Partai Sosialis dan hanya butuh setahun untuk mempersiapkan diri sebagai capres, ternyata masyarakat Prancis melihat sosoknya sebagai sosok yang membawa pesan positif dan segar. Ini jelas berbeda dengan Le Pen yang kerap menyuarakan ketidaksukaannya terhadap sistem dan ingin melarang imigran masuk Prancis.

Ada hal unik yang membuat Macron jadi sorotan, yaitu istrinya. Istrinya, Macron Brigitte, adalah guru Macron semasa SMU dengan usia lebih pantas sebagai ibu sang capres. Jadi baru sekali ini Prancis mempunyai Presiden termuda serta ibu negara yang berperan dalam pembentukan pola pikir sang Presiden semasa remaja.

Brigitte sendiri sekarang berusia 64 tahun dan sudah menjadi ibu tiga anak dan nenek tujuh cucu. Macron dan Brigitte menikah 10 tahun lalu, 21 bulan setelah Brigitte bercerai dengan suami pertamanya.

Reaksi bintang lapangan hijau Prancis terhadap Pilpres

Pilpres Prancis tidak hanya menarik perhatian para pemimpin dunia atau pengamat politik saja. Para tokoh sepak bola di negara mode juga turut mengikuti perkembangan di negaranya.

Manajer Arsenal, Arsene Wenger, misalnya. Sekalipun tidak terang-terangan mengatakan siapa yang dia dukung di Pilpres Prancis (dan apakah dia ikut memilih di putaran pertama), namun pria yang pernah menangani AS Monaco memuji Macron yang mampu menang tipis di putaran pertama Pilpres Prancis, April lalu.

Sementara pelatih Real Madrid, Zinedine Zidane, memilih berkata terang-terangan. Zidane yang membawa Prancis menjuarai Piala Dunia 1998 dan Piala Eropa 2000 ini justru menyerukan agar masyarakat tidak memilih Le Pen yang rasis.

Seperti kita ketahui, Zidane lahir dari keluarga imigran asal Aljazair. Pria yang sukses menukangi Real Madrid ini juga menyuarakan sikap anti terhadap Front Nasional saat ayah Marine, Jean Marie Le Pen lolos ke putaran kedua Pilpres Prancis tahun 2002 lalu.

Selain sosoknya yang pro-imigran, pro-Uni Eropa, dan menentang diskriminasi, kemenangan sosok Macron diharapkan bisa membuat sepak bola Prancis semakin bersemangat. Macron memang tidak asing dengan dunia sepak bola. Sebelum memutuskan gantung sepatu dan fokus pada karier politiknya, Macron tercatat bermain di klub amatir Prancis selama 2006/2007 sebagai bek kiri.

Kemenangan Macron adalah kemenangan semangat multi-etnis Prancis. Berbeda-beda namun satu (seperti Indonesia, bukan?). Saat Prancis juara dunia 1998 dan Eropa 2000, terlihat sekali indahnya di mana semua bersatu, apapun warna kulit, agama, dan etnisnya.

Ada Zidane yang lahir dari orang tua asal Aljazair, ada Marcel Desailly yang keturunan Ghana, Patrick Viera yang keturunan Senegal, dan David Trezeguet yang berdarah Argentina.

Beberapa pemain di tim nasional Prancis yang saat ini tengah menanjak kariernya di klub masing-masing juga keturunan Afrika (selain beberapa orang Prancis asli seperti Antoinne Griezmann, Laurent Koscielny, Hugo Lloris, dan Olivier Giroud).

Sebut saja Kylian Mbappe (AS Monaco). Pemain berusia 18 tahun yang tengah jadi incaran klub-klub kelas kakap ini ayahnya asal dari Kamerun. Lalu N’Golo Kante (Chelsea) yang orang tuanya imigran dari Mali dan Samuel Umtiti (Barcelona) yang keturunan Kamerun serta penyerang yang tengah terasing dari skuat timnas, Karim Benzema (Real Madrid) yang asal Aljazair.

Keberagaman itu indah. Dan sudah bukan masanya masyarakat harus konflik hanya karena beda suku dan agama atau apapun itu. Selagi semua tujuannya sama, mari satukan perbedaan itu.

Author: Yasmeen Rasidi (@melatee2512)