Kolom

Kandang Monyet Mesut Ozil

Johan Cruyff pernah berkata bahwa ia lebih banyak menghabiskan waktu bermain sepak bola di jalanan ketimbang di lapangan latihan. Sebuah pernyataan untuk menggambarkan asal teknik individual legenda Belanda tersebut.

Sama seperti Johan, Mesut Ozil juga mengasah bakat sepak bolanya lewat lapangan yang keras, terbuat dari semen, dan dikelilingi pagar kawat. Orang-orang menyebutnya “kandang monyet Mesut Ozil”.

“Dahulu, lapangan tempat bermain sepak bola tak terlalu bagus. Lantainya terbuat dari semen, dan jika jatuh, kamu akan langsung berdarah. Tapi kesulitan itu membuatmu menjadi lebih baik. Terutama, karena saya selalu bermain melawan anak-anak yang lebih tua di tempat yang sangat kecil. Kamu harus benar-benar jago. Untuk perkembanganku, masa-masa ini sungguh berharga,” ungkap Mesut kepada Goal.

Situasi lapangan yang tak ideal, ditambah lawan-lawan yang lebih besar membuat teknik individu Ozil justru berkembang dengan cepat. Ia beradaptasi dengan lingkungan yang keras. Oleh sebab itu, sepanjang kariernya hingga saat ini, Ozil sangat jago menghindari terjangan lawan di tempat-tempat sempit.

Ozil tumbuh dengan mengamati kakaknya, Mutlu, bermain di lapangan berlantai semen tersebut. Baik ketika matahari tengah terang bersinar, atau bahkan ketika turun salju, keduanya akan selalu bermain di lapangan yang dikelilingi pagar kawat setinggi sepuluh kaki. Menghabiskan waktu berjam-jam untuk bermain sepak bola sembari mengobrol tentang masa depan dan ambisi keduanya.

Dalam bahasa Jerman, kandang monyet Mesut Ozil disebut Affenkäfig. Tempatnya tak begitu jauh dari rumah keluarga Mesut. Lapangan tersebut hampir tak terlihat karena dikelilingi pepohonan yang seperti tumbuh tak berpola. Beberapa cabangnya bahkan masuk melewati pagar kawat, dan rerumputan menyeruak dari bawah pagar.

Kandang tersebut seperti menjadi pelarian dari kehidupan sosial yang lambat di Olga Strasse, Gelsenkirchen. Sebuah lingkungan dengan banyak kamar apartemen yang kosong ditinggalkan, dan grafiti anti-sayap kanan bertebaran di dinding-dinding kota.

Kandang monyet Mesut Ozil menjadi wajah kehidupan imigran generasi ketiga, keras dan selalu membuatmu waspada.

Ozil lahir dari ayah bernama Mustafa dan ibu bernama Gulizar. Semasa bersekolah, ia bukan anak yang menonjol dan cenderung pemalu. Gelandang serang Arsenal tersebut banyak menghabiskan waktunya untuk menendang bola ketimbang belajar. Para gurunya bahkan berasumsi bahwa Ozil akan membawa bolanya bahkan ketika ia tertidur.

Salah satu guru di Gesamtschule Berger Feld, Christian Krabbe, menuturkan bahwa Ozil yang pemalu itu seperti berubah menjadi orang lain ketika sudah berada di lapangan.

Kakek dari Ozil bermigrasi dari Turki ke Jerman sekitar 40 tahun yang lalu. Ia menjadi salah satu gastarbeiter atau buruh imigran yang banyak dibutuhkan untuk menjalankan roda industri Jerman. Banyak keluarga Ozil yang mendapatkan penghidupan yang layak dengan menjadi buruh imigran. Setidaknya, kehidupan menjadi stabil dari sisi keuangan.

Sayang, keadaan berubah. Saat ini, tidak banyak yang bisa mencari pekerjaan di bidang industri. Terutama karena banyak pabrik dan perusahaan yang memindahkan usahanya ke luar negeri demi mengurangi biaya pengeluaran.

Oleh sebab itu, kesempatan untuk bekerja menjadi terbatas, sedangkan makin banyak pemuda yang memasuki usia produktif. “Para pemuda dianggap sebagai beban, dan kebanyakan dari mereka sudah seperti tanpa harapan,” kenang Ozil.

Namun Ozil lolos dari situasi tersebut. Bakat bermain sepak bola membuat publik Jerman meliriknya. Ia yang berdarah Turki, disambut dengan baik dan mendapatkan tempat di tim nasional. Betul, Ozil menjadi pemain pertama, dengan latar belakang imigran Turki yang dipanggil timnas Jerman.

Gelandang serang yang diboyong Arsenal dari Real Madrid tersebut mendapat sebutan “multi-kulti kicker”. Kisahnya banyak diangkat media sebagai potret “program” imigran yang sukses. Bahkan, tak tanggung-tanggung, kisahnya dimanfaatkan para politikus sebagai bahan pencitraan diri.

Kanselir Jerman, Angela Merkel, dengan sangat lihai memanfaatkan kesuksesan Ozil bersama tim nasional. Tahun 2010 yang lalu, setelah mengalahkan Turki, Merkel mengunjungi ruang ganti Jerman untuk memberi selamat kepada Ozil. Sebuah public relation stunt yang cantik untuk merengkuh suara publik Jerman.

Perdebatan soal program “multi-kulti” pun semakin memanas lantaran dianggap gagal. Betul Durmaz, seorang guru di Neustadt, sebuah distrik di Gelsenkirchen, menggambarkan bahwa program tersebut sudah benar-benar gagal karena saat ini justru banyak imigran yang kehidupannya makin tak menentu.

Lebih dari 70 persen warga di Neustadt adalah imigran. Bertolak belakang dengan masa lalu, kini para imigran kesulitan mendapatkan pekerjaan, bahkan kesulitan mendapatkan ijazah setelah lulus dari sekolah.

“Para imigran generasi pertama seperti saya, yang bermigrasi ke Jerman pada periode 1970-an dari Turki, justru mampu berintegrasi dengan lebih baik. Mereka bisa bekerja dan hidup berdampingan dengan orang-orang Jerman, berbicara bahasa Jerman, dan mereka ingin anak-anaknya sukses,” tegas Durmaz.

Selama bertahun-tahun, pemerintah Jerman membuka pintu gerbangnya bagi pekerja asing. Impian multikultur menjadi salah satu kampanye yang terus didengungkan. Namun, sayangnya, program tersebut tak berjalan dengan sepatutnya, dan kesuksesan Ozil, dan beberapa pemain sepak bola berdarah imigran lainnya, mengaburkan kenyataan sebenarnya.

Di balik kesuksesan Ozil, ada sebuah narasi yang tak tertulis, tentang para imigran yang tidak terintegrasikan di masyarakat Jerman, para orang tua miskin, dan pemuda pengangguran.

Seperti Affenkäfig, kandang monyet yang membuat Ozil semakin apik, para imigran seperti hidup dalam “kandang imajiner”, di mana hidup semakin susah dan ketergantungan kepada pemerintah semakin meningkat. Mereka datang dan disambut, diberi “makan” dengan kesempatan bekerja, namun tak sepenuhnya diperhatikan.

Pada akhirnya, manusia (imigran), harus “menjadi Ozil” untuk menghadapi kesulitan hidunya. Lincah menghindari bahaya dan tahan terhadap tekanan lawan di “kandang” masing-masing.

Author: Yamadipati Seno
Koki @arsenalskitchen