Kolom

Francesco Totti, Sang Marcus Aurelius dari Kota Abadi

Di dalam studi sejarah Romawi, era Kekaisaran Romawi dimulai dengan wafatnya Julius Caesar yang menandai berakhirnya sistem republik yang dianut Romwi. Gelar emperor kemudian disematkan kepada  penerus Caesar sekaligus menandai dimulainya era monarki. Sederhananya, era baru inilah yang menandai pertumbuhan pesat Romawi sebagai entitas yang kemudian menguasai dunia dan menancapkan hegemoninya, bahkan, hingga saat ini.

Dari puluhan emperor yang sempat memimpin Kekaisaran Romawi, hanya beberapa nama yang dirasa banyak pengamat sejarah Romawi pantas disebut sebagai “The Good Emperor”. Dari sekian nama, nama Marcus Aurelius adalah yang paling fenomenal. Level fenomenalnya berbeda dibanding, misal, Kaisar Hadrian yang membangun tembok tangguh yang mengelilingi Konstantinopel dan membuat Kota Abadi sulit ditembus lawan. Marcus adalah kaisar yang gemar menulis dan dengan jalan literasi tersebut, ia menjadi abadi.

Dalam suatu campaign panjang di Yunani, di tengah situasi perang yang berkecamuk dan sedang didera suasana pelik, Marcus menulis bukunya yang terkenal, Meditations, yang kemudian dipakai pegangan para filsuf-filsuf masa lampau untuk mendalami filosofi Stoic. Ia mungkin tak sebijak Kaisar Augustus, kaisar terbaik di era Kekaisaran Romawi, namun Marcus melegenda karena ia meninggalkan pemikirannya lewat tulisan. Legacy yang menurut Pramoedya Ananta Toer, jalan menulis adalah jalan keabadian.

Dan begitulah seharusnya kita mengenang Francesco Totti (nanti di akhir musim), ketika sang kapten abadi kesayangan publik Roma. Totti abadi, seperti Marcus, karena ia meninggalkan jejak karier yang saya rasa, tidak akan mudah diikuti suksesornya, semisal Danielle De Rossi atau Alessandro Florenzi, dua pria Roma yang mengikuti jejak sang kapten di AS Roma.

Totti mudah dicintai, karena ia mewakili generasi 1990-an awal di Serie A yang begitu kental dengan romantisme dan permainan anggun yang tidak akan pernah dimengerti pencinta Vinnie Jones atau Roy Keane. Ia mewakili semangat imajinasi hebat ala Marcus Aurelius yang percaya bahwa Roma, selain dibangun dengan darah dan keringat, perlu diperkuat fondasinya dengan narasi kehebatan dan keagungan sebuah bangsa besar.

Gelar fantasista yang pernah dimiliki Roberto Baggio misalnya, diteruskan dongengnya dengan kehebatan Totti di atas lapangan. Ia melakukan pallonetto semudah seperti kita membalikkan telapak tangan. Ia berlari dengan anggun, melewati lawan dengan elegan, lalu dalam sekejap mencungkil bola ke atas melewati pemain dan kiper lawan, dalam seketika, bola sudah menembus jala gawang lawan.

Ia yang abadi di Roma

Reputasinya cepat menjadi berita di seantero Eropa. Beberapa klub besar langsung berminat menjadikannya pemain hebat di luar Roma. Tapi kita semua tahu bahwa pemain seperti Francesco Totti, tidak akan pernah ada lagi di era modern ini karena loyalitasnya ke Roma tidak tertandingi oleh gelimang harta dan godaan trofi.

Kita ingat kritiknya tentang pemain-pemain yang mengejar trofi dan gelimang harta dan di bawah alam sadar kita, kita menganggukkan kepala dan mengamini sabda beliau. Totti memang tak memiliki trofi sebanyak Zlatan Ibrahimovic atau Cristiano Ronaldo, tapi, dia punya trofi Piala Dunia, dikenang dengan hebat sebagai kapten loyal AS Roma dan ketika pensiun di akhir musim nanti, namanya abadi seperti Roma abadi bagi sejarah panjang Romawi.

Sebutan Re di Roma bukan bualan belaka karena Totti memang raja. Selebrasi selfie-nya di derby kontra Lazio, kelakuan kanak-kanak yang tetap dipeliharanya hingga berusia 40 tahun dan ratusan gol yang ia cetak di karier panjangnya di Roma, membuat sulit bagi anak-anak muda Roma untuk tidak menjadikannya sosok kapten yang ikonik, fenomenal dan sulit dilupakan namanya, seperti Paolo Maldini bagi AC Milan.

Hal yang dikenang dari narasi kehebatan Totti

Bapak saya, fanatik AS Roma dan salah satu orang yang percaya bahwa Totti bukan manusia biasa, menyebut pemain seperti Totti tidak akan pernah ada lagi dalam sepuluh tahun ke depan. Ia menyebutnya di tahun 1999, kala saya masih berusia 7 tahun dan kala itu saya masih percaya bahwa Gabriel Batistuta adalah sosok Yesus di dunia sepak bola.

Opini bapak saya ternyata salah, karena nyatanya ada Dennis Bergkamp, Juan Roman Riquelme dan Lionel Messi, tiga pemain yang sederhananya, tampil sehebat Totti di lapangan dengan kegeniusan dan fantasi sepak bolanya yang seakan tidak ada habisnya. Ketika berambut panjang dan bermain dengan nomor 10 di punggungnya, Totti menjelma sebagai nabi sepak bola hebat yang kariernya terus memukau kawan dan lawan. Ketika di era modern, ia memangkas rambut panjangnya dan tampil lebih rapi dan klimis, tak mengubah fakta bahwa nyatanya ia masih bermain memukau dan  luar biasa hebat.

Anda ingat gol tendangangan first time kaki kirinya ke gawang Sampdoria dulu itu?

Atau tendangannya ke Mario Balotelli yang membuatnya terkena kartu merah? Bahkan ketika kedapatan menendang lawan dan mendapat kartu merah, tidak ada pemain Internazionale Milan yang berani mendekati Totti dan melancarkan protes berlebih.  Dan ya, memang sehebat itu Francesco Totti.

Sebagai pamungkas, saya rasa kutipan dari Gigi Rivera ini pantas untuk dipakai sebagai cara kita melihat dan mengenang Totti di kemudian hari:

“He (Totti) is phenomenon. It seems as if when he was born, the heavenly father said: ‘Go down there and play football and that’s it’.”

Farewell, Tott. The captain, legend and the one and only Emperor of AS Roma.

Author: Isidorus Rio Turangga (@temannyagreg)
Tukang masak dan bisa sedikit baca tulis